Berlabuh ke Surabaya

167 8 0
                                    

Setelah mendarat di sebuah bandara komersial Singapura, aku harus berganti transportasi dari pesawat menggunakan kapal uap. Bukan karena tidak ada penerbangan ke Batavia, tetapi karena aku harus ikut dengan rombongan klien dari perusahaan cabang Hindia ini. Jarang-jarang aku kesini menemui langsung Klien ku.

Jadi, aku mengangkut sebuah mobil mercedes dengan kapasitas enam penumpang, kereta tobogan untuk kuda, beberapa koper berisi berkas yang bisa kukerjakan saat diperjalanan, mesin ketik pribadi, dan tentunya sebuah pistol berizin.

Aku tiba dipelabuhan Surabaya dini hari saat air gelombang tenang gemerlapan bak kristal, terpaan panas matahari yang bercampur bau angin iklim tropis.
Meskipun pagi aku merasakan hawa hangat membuat leher dibalik kerah bajuku agak basah. Jadi aku tak memakai Jas biru yang biasa kukenakan saat malam dikapal, aku menggantinya dengan rompi rajut berwarna merah buatan China, kemeja putih dengan lengan pendek digulung, dan celana putih ketat menyelip didalam sepatu bot cokelat yang kupakai.

Banyak seru-seruan, dan logat-logat yang asing. Para pekerja buruh dan nelayan berkulit cokelat-cokelat dan kekar, namun pendek.

Orang-orang nampak sibuk di pelabuhan pantai ini.

"Woi! Tandu tukang tandu tukang!..."
Kapten kapal yang memakai baju kaos bergaris-garis dan menggunakan jas kelabu compang-camping dengan ujung lengan berumbai karena kainnya usang--berteriak kepada salah satu buruh yang lewat sambil memikul karung.

"Tukang--Tandu tukang!" teriaknya lagi.

Dengan agak terburu-buru orang itu menjawab, "Nggih toh."

Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan, kapten bisa sedikit bahasa Inggris, aku sempat dipinjami buku kamus dan panduan bahasa melayu untuk sedikit dipelajari saat dikapal.
Tapi setiap daerah kelihatannya memakai bahasa yang berbeda, jadi aku agak frustasi mencoba sedikit belajar bahasa disini.

Tidak lama beberapa pria yang tak mengenakan baju dengan punggung kekar dan berkulit agak gelap datang membawa semacam tandu.

"Please, comfort yourself," kata kapten melayu itu sambil menyungging senyum.

Aku agak risih sebenarnya, meskipun lahir dari keluarga kaya, selalu dihormati dan punya banyak pelayan di rumah mansion ku, kukira tandu ini agak berlebihan.

Aku ingin menolak tapi... aku menatap senyum kapten, lalu memandangi gelombang air dibawah kapal yang masih dangkal--well, aku tidak bisa turun kesana, celana dan sepatuku pasti basah.
Jadi aku naik ketandu itu dan duduk disana, rasanya seperti orang sakit saja ditandu seperti ini... aku agak malu.

"Ayo." aku mengucapkan salah satu kata dalam bahasa melayu yang aku ketahui (Yang berarti "Go" atau "persuading".

Kelima pria yang menggotong tandu itu berlari kecil membawaku ketepi pantai, sampai agak jauh ketempat yang kering mereka menurunkan tandu perlahan.

"Terima--Kasih." kataku dalam aksen Inggris yang terlalu kental. Kedengarannya pasti aneh.
Tapi kelima orang tadi menunduk-nunduk sambil ribut membalas ucapan terimakasihku lalu pergi membawa tandu.

Sampai disini aku memulai pengalaman yang lainnya di tanah Archipelago (Nusantara).

The Ersatz Perished (kematian palsu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang