Bertemu Informan

77 3 0
                                    

Kami mengetuk lewat belakang bangunan, seorang pria tua menggigit daun kinangan dimulut muncul dijendela.

Tukang becak bicara sesuatu padanya. Akhirnya Mbah Bumi Bajeng menutup pasak dipintu teras depan, mengumumkan tempat praktek dukunnya tutup lebih awal.

Orang-orang menggerutu sambil beranjak dengan kekecewaan. Beberapa berteriak-teriak menengadahkan tangan sambil mendoakan Mbah Bumi panjang umur... tapi Mbah Bumi tak menghiraukan dan tetap menutup pintu dan jendela. "Mbah! panjang umur Mbah!"

Aku melongo duduk bersila dihadapan mbah Bumi yang matanya kelihatan seperti terpejam karena faktor usia.

Mbah bumi memakai pakaian serba hitam dan celak hitam, dilehernya dikalungkan semacam kalung kuningan yang permanen tak bisa dilepas, melingkar dengan rapat dilehernya, mungkin dipakai sejak kepalanya masih kecil.  Ada mangkok, dan sesajen-sesajen asap dupa dihadapannku.

Tukang becak itu menjadi juru bicara translator antara aku dan dukun tua itu. "Jadi, apa keluhannya saudari?"

Aku tidak percaya harus percaya dengan orang ini, "Tolong Mbah Bumi Bajeng, Aku mencari informasi."

"Boleh, silakan pulus nya dulu."

Sesaat aku menoleh kearah Tukang becak, dia mengangguk--lalu aku mengeluarkan buntelan berisi uang koin perak. Mbah dukun menimbangnya diujung jari kelingking.

"Apa kelemahan Koperasi?" tanyaku.

Mbah Bumi Bajeng komat-kamit, "hmmm... hmmm..." lalu mengunyah kelopak kembang sambil minum kopi hitam. "hmmm... hmmm..."

"Mbah sedang bertanya pada jin timur dan utara yang telah berkelana jauh." Dia berdiri sambil meludahkan kinangannya kebaskom dan mengangkat sarung kainnya.
Dia masuk kedalam bilik tirai kain hitam, Hening... aku tak tahu apa yang dia lakukan disana.

Tukang becak menangkap tanganku ketika aku mulai tidak sabar menunggu dan hampir berdiri untuk merengut kain tirai hitam itu. Ini konyol!

"Apa sih? aku kan sudah bayar, aku ingin pelayananku ini jelas!" kutarik tanganku dari genggamannya.

"Jangan Missy, aduh jangan--tolong. Nanti bisa kena kualat, nanti bisa kena kutuk kalau mengganggu Mbah lagi ritual sama jin." orang ini benar-benar serius memperingatiku.

Kuindahkan dia dan kutarik tirai hitam itu sampai lepas, "Nah, sedang apa kau Bumi Bajeng,"
tapi kemudian aku melongo.

Tak ada siapa-siapa dibalik tirai... dia hilang entah kemana, hilang secara ajaib.

Dibelakangku tukang becak langsung bersujud-sujud sambil meraung-raung seperti anak kecil, "Ampuuun, gusti... ampun datuk! saya tidak sengaja datuk... jangan ganggu saya datuk! ampuuun." dan si tukang becak ini menyerukan tobat bercampur bahasa Inggris dan melayu.

Untuk sesaat aku mengutuk pelan diriku dalam hati karena nyaris percaya kalau Mbah Bumi Bajeng bodoh ini menghilang secara ghaib. Kalau kuceritakan pada Tara nanti di rumah pasti dia akan meledekku habis-habisan.

Aku melangkah kedepan, lalu menghentakan kaki kebeberapa titik di lantai papan. Lalu kusingkap karpetnya.
Dan benar saja, ada ruang dibawah lantai ini... kemudian aku teringat bangunan padepokan ini yang ditopang tiang setinggi tiga meter dari tanah, semacam rumah panggung. Jadi pasti lubang palka berengsel ini mengarah kesuatu ruang rahasia.

Kutarik tali dilantai itu dan papannya terangkat membuka semacam lubang palka, ada tangga menuju kebawah, jadi aku turun saja kesana tanpa ragu. Aku telah memasuki semacam ruangan memanjang dipenuhi deretan kabinet dari besi yang membuat ruangannya sesak.
Aku mendengar suara kasak-kusuk diujung ruang; dan itu adalah Mbah Bumi. Dia sedang berjongkok membuka laci lemari kabinet besi yang penuh berkas-berkas dan file.

"Aha!" aku berseru, "Sedang asik ngobrol sama jin didalam laci!"

Dukun itu nampaknya terkejut aku mengikutinya kedalam sini dan menggaruk-garuk kepalanya sambil membawa beberapa berkas; Tukang becak cepat-cepat ikut turun kedalam dan menterjemahkan apa yang baru kuucapkan barusan.

The Ersatz Perished (kematian palsu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang