Utusan Kethlen Wulandari

173 10 1
                                    

Knock, Knock, Knock...

Aku menunggu. Kemudian pintu berwarna hijau muda itu dibuka oleh seorang pria tinggu kurus bersetelan kemeja eropa, hidung merah, janggut tipis pirang, wajah pucat, dan bibirnya yang agak merah muda tersenyum dengan mata hijau berkaca-kaca.

Aku mengenalkan diriku, "Selamat pagi Sir, Saya Tara Roxette."
kukeluarkan kartu tanda pengenal ku untuk ditunjukan padanya.

"Selamat pagi Mrs. Roxette, Saya Robert William."

"Saya konsultan perusahaan Roxette and co. untuk cabang Java.  Saya ingin menemui utusan Kethlen Wulandari."

Pria itu menggaruk telinganya, "Belum pernah dengar, perusahaan Inggris?" tanyanya.

"Anda bukan utusan Kethlen?" tanyaku to the point.

"Saya? bukan... bukan," katanya sambil menggeleng, "Saya juru tulis pegawai negeri... Saya mendapat pesan dari Swety waber tentang kehadiran anda sebelumnya--Mohon maaf belum mempersilakan masuk; mari kita berbicara didalam disofa yang nyaman Nona."

Lalu dia membuka pintu lebih lebar, dan aku melangkah untuk masuk--
"Maaf Nona! tolong lepaskan sepatu anda, tanah disini sangat sulit dibersihkan."

Aku hanya tersenyum sambil membungkuk melepas tali sepatu bot putih ku yang belum apa-apa sudah agak belepotan lumpur kering. Lalu aku menapakkan kaki pada lantai keramik yang dingin dan terpaan udara dingin didalam ruangan itu.
"Maaf sekali Nona." Pria itu menambahkan lagi.

Akhirnya aku duduk di sofa berkerangka kayu yang dipoles dan diukir bentuk kepala elang diatasnya. Ruangan depan ini tidak terlalu besar, ada tiga tombak bersandar disebelah jendela, lukisan seorang serdadu belanda, Jam dinding dari besi, dan berbagai hiasan-hiasan dari kerajinan tanah liat.

"Tuan William, apa anda bekerja untuk koperasi?" aku bertanya. Meski hanya basa-basi, tetapi aku lumayan penasaran juga.

"Tidak juga, saya juga penerjemah selain juru tulis. Jadi meski Koperasi membutuhkan jasa saya, tapi saya masih bekerja untuk pemerintah Belanda. Saya punya kontrak disini 10 tahun." terangnya.

"O..." aku mengangguk sambil menyeruput teh.

"Saya khawatir anda harus menunggu sendiri, saya harus pergi keluar untuk sedikit urusan pekerjaan." kata William, lalu dia pamit dan mengambil topi di gantungan topi dekat lemari berisi koran-koran dan majalah.

Jadi aku disini menunggu sendirian, untuk menghilangkan bosan aku berdiri dan berjalan-jalan memeriksa setiap benda yang ada diruangan itu. Aku memperhatikan sebuah guci putih berpola naga timbul melilit. Kelihatannya barang dari China, aku memperhatikan bingkai-bingkai yang dipasang didinding diatas meja kecil yang diatasnya ada sesisir pisang matang.

Ada foto hitam-putih proyek pembangunan jembatan, foto orang-orang terpelajar, foto kapal layar, foto sebuah pesawat dan pilotnya, dan sebuah sertifikat untuk koperasi... aku perhatikan sertifikat apa yang dipajang itu. Rupanya semacam penghargaan untuk meningkatkan perekonomian mikro yang tadinya tersisih oleh sistem feodal kaum konservatif.

Kucoba membuka lemari untuk mengambil majalah, tetapi terkunci. Jadi aku duduk lagi dimeja dan membaca sebuah pamflet baru berjudul :

SEMANGAT KOPERASI

kali ini ditulis dalam bahasa Inggris, sepertinya propaganda Kethlen untuk memanfaatkan keuntungan dari sistem monopoli Belanda. Memang koperasi meningkatkan kesempatan rakyat kecil untuk mendapat keuntungan lebih yang lebih layak, namun Kethlen menghisap lebih dalam daripada itu... dan tak ada satupun yang menyadari pengaruhnya. Sebagian karena para kaum bangsawan pribumi lain yang sibuk mencolokan diri mereka dan seolah ingin diakui keberadaannya yang terhormat.

Aku ternyata harus menunggu sampai malam... aku bahkan sempat duduk-duduk dipelataran bangunan ini. Memandangi orang-orang berlalu lalang, kadang ada yang membawa gerobak, anak-anak, pedagang, ibu-ibu dengan sebuah nampan diatas kepala dan berbagai wajah asing lainnya.

Aku kembali lagi kedalam setelah agak gelap.

Pengurus ditempat itu sudah menyalakan lampu dan membuat makan malam untukku.

Setelah itu barulah kemunculan kereta kuda bergemerincing memasuki pekarangan, lentera yang digantung diatap kereta itu menyapukan cahaya kehamparan pekarangan.

Lewat jendela aku menjenguk, ada tiga orang berpakaian sarung turun dari kereta, dan William yang terakhir.

Tapi pemandangan yang salah adalah, William turun dari kereta menggunakan tandu.

Sepertinya ada sesuatu mencuat ditubuhnya, semacam ekor panah.

The Ersatz Perished (kematian palsu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang