Flashback
Kret... kret... kret
Dari ujung lorong yang gelap terdengar bunyi deritan roda yang tengah beradu cepat dengan ubin lantai. Dua sosok pria berpakaian serba putih terlihat tergopoh-gopoh mendorong ambulance stretcher di sampingnya. Beberapa orang yang mengikutinya ikut membantu mendorong dari belakang walaupun dapat dilihat dengan jelas kesedihan tengah mengukir urat wajah mereka.
BRAK
Pintu ruang gawat darurat terbuka dengan keras. Beberapa perawat keluar dengan kaget dan segera menarik masuk ambulance strecher tersebut kedalam ruang gawat darurat. Salah seorang mencoba menerobos masuk, namun sang dokter menahan langkahnya dengan memegang pundak sosok tersebut untuk meminta pengertian.
KLEK
Pintu ruangan menutup rapat. Ici bersimpuh lemas diatas lantai rumah sakit yang dingin. Lututnya tak kuasa lagi menahan dirinya untuk bangkit berdiri. Air mata terus saja bercucuran membasahi kerah baju seragamnya yang sudah lusuh dan penuh percikan darah.
"K-Kenapa... kenapa harus dia Tuhan... KENAPA HARUS DIA!!!'
Ici menjerit sekeras mungkin. Ia tak peduli lagi jika pasien atau orang-orang disekitarnya bakal mendengar jeritannya. Ia tak peduli.
Kesedihan yang berhasil menguasainya sudah tak mampu lagi ia cegah. Kini, ia hanya ingin satu hal...
Bahwa, Alvaro bakal membuka kedua matanya dan memeluk tubuhnya erat, seraya mengucapkan...
I Love You
Namun sayangnya, angan itu mustahil untuk terjuwud. Mustahil.
Sekarang, Ici hanya mampu tuk berharap bahwa Alvaro akan tetap menghembuskan napasnya.
KLEK
Pintu ruangan terbuka tiba-tiba. Ici segera bangkit dan menyeka air mata di pipinya. Ditatapnya sang dokter dengan tatapan cemas dan khawatir.
"B-Bagaimana dok? Dia selamat kan, dok? Dia masih hidup kan, dok?" tanya Ici berharap cemas sambil menggenggam kedua telapak tangannya erat di hadapan sang dokter.
Sang dokter justru melepas masker di wajahnya dan memegang kedua pundak Ici dengan tatapan berberat hati.
"Kami sudah berusaha sebaik mungkin"
Tangisan Ici pecah seketika. Membuat Arkan yang terduduk lesu di bangku tunggu segera bangkit dan memeluk tubuh Ici.
"Lo yang kuat Ci" lirihnya tepat di telinga Ici, mencoba untuk menguatkan gadis yang hampir rapuh tersebut.
Arkan pun segera menuntun Ici untuk menjauh dari ruang gawat darurat, karena ia tahu gadis itu perlu waktu sejenak untuk melepas rasa kehilangannya.
Pukul 11 malam...
Terlihat keadaan rumah sakit yang sangat sepi dan hening. Para pasien nampak sudah terlelap kurang lebih 2 jam yang lalu.
Drap... drap... drap
Seseorang tengah berjalan menuju koridor area belakang. Dengan berbekal senter dan hodie yang dipakaianya, ia berjalan dibawah kegelapan sang malam.
KLAK
Pintu ruang mayat terbuka, membuat beberapa cercah cahaya remang berhasil menerangi ruangan yang sedingin es tersebut.
Sosok itu berjalan melewati tubuh-tubuh yang terbujur kaku di sekitarnya. Hingga, sampailah ia pada tujuannya.
Sebuah mayat yang terlihat belum sebegitu kaku dengan yang lainnya. Sepertinya, mayat ini adalah pasien yang baru saja meninggal sekitar 1 jam yang lalu.
Tanpa basa-basi, sosok itu menyibakkan kain putih yang menutupi tubuh mayat di depannya. Terlihat, wajah yang hanya mampu menampakkan rahang kokoh yang kini hampir sedingin es.
"Aku tau kau masih hidup. Peluru yang kutembakkan adalah peluru kejut, yang membuat jantung berhenti bekerja selama 1 jam. Intinya, kau hanya mati suri."
"Jadi, mulai hari ini... kau akan menjadi milikku. Selamanya."
Dan...
Jari-jari Alvaro pun mulai bergerak perlahan dengan sendirinya.
Flashback off
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvaro ✔ [COMPLETED]
Teen FictionSejak kematian orang tuanya, hidup Alvaro berubah drastis. Tekanan demi tekanan terus ia dapatkan selama hidup serumah dengan ketiga pamannya (Adrian, Raka, Ferrel). Hingga terpaksa membuatnya menjadi bad boy. Lambat laun keanehan mulai muncul di ke...