[25] Dia, Alvaro yang Kucari

3.5K 226 1
                                    

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.

KLAK

Raka membanting hp nya kesal. Sudah terhitung lebih dari 20 kali dirinya menghubungi nomer Alvaro, namun hasilnya nihil. Anak itu sama sekali tak mengangkat telfon darinya.

"Ck," Raka berdecak sebal. Terlihat sebuah kerutan senantiasa menghiasi dahinya. Bagaimana tidak? Sekarang sudah pukul 3 pagi namun Alvaro belum juga pulang. Raka khawatir terjadi sesuatu pada keponakannya itu. Lagi.

"Emang seharusnya tuh anak pantes kita kasih pelajaran" Ferrel tiba-tiba menyahuti dari balik anak tangga "tambah lama dia tambah gak tau diri. Padahal dia masih SMA, tapi kelakuannya udah kayak preman pasar"

Ucapan Ferrel bukannya membuat Raka tenang malah membuat kuping Raka panas. Ia pun menatap abang yang satu itu dengan tatapan berkabut emosi.

"Itu juga karena elo bang. Kalo lo gak ngebentak dia tiap hari, dia juga gak bakal jadi kayak gini. Dia cuman butuh kasih sayang kita bang. Perhatian kita" ujar Raka. Membuat Ferrel yang jadi lawan bicara mendecih sinis.

"Idih... butuh kasih sayang kata lo? Woy Rak, sejak dia masih bayi sampe segede gini yang selalu ngasih makan siapa? Saat lo lagi ada urusan kerjaan, yang selalu mandiin dia siapa kalo bukan gue? Dan sekarang lo bilang kalo dia kurang kasih sayang? Kurang perhatian? Ya emang tuh anak aja yang gak tau diri"

BRAK

"Cukup bang! CUKUP!!"

Raka menggebrak meja ruang tamu dengan cukup keras. Seketika membuat Ferrel yang sedang mencuci piring di wastafel terdiam menghentikan aktivitasnya. Ferrel tahu kalo adiknya itu sangat menyayangi Alvaro. Namun kasih sayang yang Raka berikan malah membuat Alvaro menjadi anak yang manja. Sering bolos sekolah, pulang larut malam, dan kadang-kadang Ferrel pernah memergoki Alvaro sedang merokok di balkon kamarnya.

"Gue tau lo bersikap kayak gini ke Alvaro semenjak kejadian itu kan? Gara-gara kejadian yang menimpa istri lo 4 tahun lalu, lo jadi benci ke Alvaro. Lo gak mau menganggapnya sebagai keponakan lagi. Malahan lo tega maki-maki dan ngejelekin Alvaro di depan Bang Adrian. Dan gara-gara kelakuanmu itu Bang Fer, Bang Adrian jadi gak betah tinggal disini dan mutusin buat tinggal di kantor cabangnya di USA" ungkap Raka lalu menatap punggung Ferrel yang mulai bergetar naik turun, menahan amarah.

Raka tak peduli dengan kemarahan abangnya. Kini ia mulai memakai jaket kulitnya dan meraih kunci mobil diatas laci. Sejenak ia menatap abangnya yang masih bergeming membelakangi dirinya.

"Gue pergi nyari Alvaro" Raka mulai membuka engsel pintu di depannya "Dan gue harap lo juga mau ikut nyari anak itu bang. Sebagai kakaknya Ici, bukan sebagai paman lagi"

Raka pun keluar dari rumah. Meninggalkan Ferrel yang masih termenung menatap kosong wastafel di depannya. Terlihat sebulir air mata turun di pipi laki-laki itu. Ferrel menangis.

🍁🍁🍁🍁🍁

Mobil sport Raka melaju membelah jalan raya yang masih sepi dan lengang. Fajar pun masih belum menyingsing. Hanya terlihat beberapa siluet seseorang yang tengah berjalan kaki usai berjamaah shubuh di masjid.

Dinginnya udara pagi tak membuat Raka lantas memperlambat laju mobilnya. Malahan setiap kali ia frustasi memikirkan Alvaro, kecepatan mobilnya justru makin bertambah. Ia bingung harus merasa marah, sedih, atau khawatir terlebih dahulu.

Pikiran Raka berkecamuk antara khawatir dengan Alvaro atau kesal dengan kelakuan Bang Ferrel. Makin lama abangnya itu makin keterlaluan. Seharusnya sebagai paman, Bang Ferrel harus paham akan tanggung jawabnya sebagai pengganti orang tua Alvaro. Apalagi Alvaro sekarang adalah anak yatim piatu. Tentu, butuh perhatian yang ekstra. Terutama dari ketiga pamannya ini. Bukan justru malah membencinya karena sebuah kesalahan yang bahkan tak Alvaro perbuat.

Lama bergelut dengan pikirannya, membuat mobil Raka sampai di depan gedung sekolah Alvaro. SMA Cakrawala. Sekolah itu masih sepi, wajar karena hari ini bukan hari Senin dan matahari sepertinya terlambat untuk membangunkan murid-murid disini.

1 jam telah berlalu, kini satu persatu murid berdatangan memasuki area sekolah. Raka berharap bisa mendengar desingan suara knalpot motor Alvaro memasuki area sekolah. Namun... sampai gerbang ditutup oleh satpam, Alvaro tak kunjung datang juga. Membuat Raka geram dan memutuskan untuk turun mencari keberadaan keponakannya itu.

🍁🍁🍁🍁🍁

Usai menjenguk Alvaro di rumah sakit pagi ini, Davino memutuskan untuk mendatangi SMA yang terdapat di name tag-nya Alvaro, SMA Cakrawala. Tentunya diantar oleh Alex seperti biasa.

"Tuan... tuan belum sarapan pagi ini. Apa tuan tidak mau sarapan dulu?" Alex bertanya disela kegiatan menyetirnya. Namun sayangnya Davino menggeleng menolak tawaran dari Alex.

"Saya tidak lapar" jawab Davino singkat. Membuat senyuman kecil di bibir Alex memudar. Kini Alex fokus menyetir lagi.

Sedangkan di seat belakang mobil, terlihat Davino sibuk memutar-mutar name tag Alvaro.

"Alvaro..." Davino bergumam sembari sesekali mengelus name tag itu dengan jempolnya. Ia pun iseng mencoba memakai name tag itu di jas nya. Kini name tag itu terpasang rapi di dada sebelah kiri Davino.

Sejenak Davino tersenyum, memikirkan bagaimana rasanya menjadi seorang anak SMA lagi. Memakai seragam putih abu-abu lagi. Merasakan pengalaman jatuh cinta tuk pertama kalinya.

Davino terkekeh bahagia, kemudian menatap name tag itu lagi. Entah kenapa rasanya ada yang aneh. Davino yakin kalo sebelumnya nama di name tag itu adalah Alvaro Pradipta Aldana, namun saat dilihat lagi... nama di name tag itu tiba-tiba berubah. Berubah menjadi nama yang tak asing bagi Davino.

Alvaro Fernandes.

Seketika kepala Davino berdenyut, rasa pusing mulai menjalar ke otaknya. Membuat Alex yang tengah menyetir segera menghentikan laju kendaraan itu.

"Tuan! Tuan kenapa?!" Alex berpindah ke seat belakang dengan khawatir. Perlahan ia membangunkan tubuh Davino yang terbaring lemah di seat mobil.

"S-Saya... Saya tidak apa-apa. Kamu lanjut menyetir saja. Tak usah perdulikan aku" ucap Davino dengan tangan yang masih memijit kedua pelipisnya.

"T-Tuan yakin beneran tidak apa-apa?"

"Iya Alex. Aku tak apa-apa. Kau lanjutkan saja"

Dengan setengah hati, Alex pun kembali ke tempat duduknya. Mobil mulai melaju sedikit demi sedikit. Cahaya matahari pagi mulai merangsek masuk menembus kaca jendela mobil Davino. Dengan tangan gemetar, Davino melepas name tag itu dari dadanya. Sejenak Davino menghela napas bersandar di seat mobil sambil menggenggam name tag tersebut. Tak pernah terpikir oleh Davino bahwa sebuah name tag sanggup tuk mengungkit seluruh kenangan memori masa lalunya.

Alvaro ✔ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang