[9] Accident

4.7K 309 0
                                    

"Selamat datang Pak Davino. Senang bertemu dengan anda" salah satu pria berjas rapi membungkukkan badannya dan mempersilahkan Davino masuk.

Tentu saja, seperti biasa, Davino tak menggubris sambutan itu karena dirasanya buang-buang waktu dan bakal menguras tenaga.

"Dimana berkas-berkas saya?" tanya Davino selagi mengulurkan tangannya di hadapan Alex. Kontan saja, Alex segera menyerahkan koper kecil berisi dokumen-dokumen yang diperlukan tuannya selama rapat nanti.

"Tunggu saya di mobil"

Kalimat dingin itu mengakhiri perbincangan antara tuan dan asisten. Terlihat Alex mengangguk dan berjalan membelakangi Davino yang sudah memasuki ruangan rapat. Sedetik setelah pintu berbahan kaca tersebut menutup, barulah Alex berlari kearah lift terdekat dan mengeluarkan ponselnya.

Di dalam lift yang tengah berjalan, jemari Alex terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.

Maaf mengganggu Nona Cecil, tapi saya mau menyampaikan sesuatu kalau Tuan Davino ternyata--

Alex menghentikan gerakannya. Ia menggeleng begitu cepat.

Maaf mengganggu Nona Cecil, saya Alex, dan saya mau bilang kalau Tuan Davino sedang--

Kini keringat dingin mulai bermunculan di telapak tangan Alex. Tanpa ingin berpikir lebih lama lagi, laki-laki itu pun akhirnya memutuskan untuk mengklik tombol send disamping papan reply.

From: Alex
Maaf mengganggu Nona Cecil, tapi saya mau menyampaikan sesuatu kalau Tuan Davino sekarang sedang menjalani rapatnya dengan baik. Jadi, anda tak perlu khawatir.

TING

Dengan tergopoh-gopoh Alex menghidupkan ponselnya, yang ia kira balasan dari Nona Cecil, namun ternyata cuman suara dari pintu lift yang terbuka.

"Fiuh..."

Alex bernapas lega kala menyadari hal tersebut. Untung saja bunyi suara lift, kalau tidak--

KRIIIING

Ponsel Alex tiba-tiba berbunyi nyaring, secepat kilat laki-laki itu menggeser tombol telepon berwarna hijau.

"H-Halo nona Cecil"

"Ya. Halo. Alex? Kau disana? Bagaimana keadaan Davino sekarang? Apa dia baik-baik saja?"

Alex menggigit bibir bawahnya takut. Tak usah ditanya lagi, Cecil bakal menanyakan hal ini.

"Y-Ya nona. Tuan baik-baik saja saat ini. Beliau sehat, sangat sehat nona"

"Entah kenapa Alex... dari gaya bicaramu yang seperti itu, kau terlihat sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Apa itu benar?"

"T-Tidak nona. Tidak. Saya tidak pernah menyembunyikan apa-apa dari nona"

"Awas saja kalau sampai ada yang kamu rahasiakan dari saya. Kamu bakalan saya pecat dari perusahaan Davino. Oh... bukan hanya itu, kamu akan saya deportasi ke negaramu, ke Australia"

"I-Iya nona. Saya berjanji."

"Baiklah kalau begitu, sampaikan salamku pada Davino. Bye"

Klik

Aku harus bagaimana?, batin Alex cemas saat mengingat-ingat ancaman dari Nona Cecil yang mengatakan bakal mendeportasi dirinya ke negeri Kangguru tersebut.

Oh Tuhan... bantu aku...

🍁🍁🍁🍁🍁

Ya Tuhan... apa yang terjadi padaku...

Alvaro berdoa di tengah proses penyatuan dirinya dengan pohon besar di balik pot tanaman. Satu koridor lagi dan dirinya bakal terbebas dari penjara bernama 'sekolah' ini. Jam telah menunjukkan pukul 1 lebih 10 menit, itu artinya 5 menit sudah ia berdiri disini semenjak bel pulang sekolah berdering.

"Gue mesti jemput Nayra" protesnya, seakan menyalahkan dirinya sendiri yang telah melahirkan hukuman dari Bu Fenny tersebut.

Ia pun kembali celingukan untuk memastikan Bu Fenny dan Flora--si gadis sialan itu-- tak berkeliaran di sekitaran sini. Dan benar saja dugaan Alvaro, koridor di depannya aman.

"Satu... dua... tiga!"

Alvaro berlari secepat kilat melewati tiap lantai koridor yang seolah-olah licin di sepatunya. Namun, perjuangan tetaplah perjuangan, tidak ada kata menyerah sampai--

BRUAAAGH

Alvaro menabrak seseorang lagi.

"Aw!!" rintih Alvaro setelah tubuhnya berguling-guling bak sosis gulung yang telah matang diatas kerasnya lantai koridor. Sebulir cairan kental dari dahinya berhasil merangsek masuk kedalam mulutnya dan memaksa Alvaro untuk mencicipi darahnya sendiri.

Sementara itu, seseorang yang ditabraknya tergeletak tak berdaya diatas lantai, setelah tubuhnya bertabrakan cukup keras dengan tubuh kekar Alvaro. Beberapa tumpukan buku yang tadinya dibawanya pun berserakan dimana-mana, ditambah lagi sebuah kacamata yang terlihat retak di salah satu kacanya.

Melihat hal itu, Alvaro segera memaksakan tubuh linunya untuk melangkah mendekat walaupun dengan posisi merangkak. Sebuah buku tak sengaja ia injak. Alvaro pun meraihnya dan mengamati barisan deret alfabet yang sanggup membuat mata Alvaro mendelik terkejut seketika.

Flora Aeryl Atmaja

Kontan saja Alvaro segera berlari kearah Flora yang ternyata orang yang ia tabrak barusan. Laki-laki itu tak bakal menduga seperti apa keadaan Flora sekarang, mengingat tabrakan itu berhasil membuat tubuh kekar seperti Alvaro berlumuran darah.

Untungnya, gadis itu tak terluka parah seperti Alvaro, mungkin karena tumpukan buku yang melindunginya. Namun tetap saja, Flora tak henti-hentinya mengeluarkan darah dari hidungnya.

"Flora!"

Alvaro menggoyang-goyangkan bahu Flora khawatir. Ia takut bila gadis itu kenapa-napa, apalagi kalau sampai ada cedera atau gagar otak.

"Flo!" panggil Alvaro sekali lagi. Namun gadis itu tetap diam tak bergeming di tempatnya. Kontan saja hal itu membuat Alvaro makin khawatir, ditambah lagi suhu tubuh Flora yang tiba-tiba meninggi tanpa sebab.

Tak lama, terdengar suara langkahan suara sepatu yang hampir menyerupai bunyi klompen pasar malam mendekat kearah mereka berdua. Sosok Bu Fenny terlihat tengah berkacak pinggang di ujung koridor.

"Kalian berdua ini ya, memang selalu saja bikin darah tinggi saya kumat. Ditungguin di ruang BK eh malah--YA ALLAH YA GUSTI!!"

Menyadari kalau ada darah di pelipis Alvaro, Bu Fenny segera mencopot sepatunya dan berlari kearah Alvaro dan Flora secepat kilat. Wanita itu hanya bisa menganga terkejut saat tubuh Flora di hadapannya terbujur lemas, dan berlumuran darah juga.

"C-CEPAT!! BAWA DIA KE UKS!!" ujar Bu Fenny tergopoh-gopoh.

Tanpa berpikir panjang pun, Alvaro segera menggendong tubuh Flora kedalam pelukannya dan berlari kearah UKS yang kedapatan berada di ujung ruangan, ujung koridor, 36° derajat dari sini.

Dengan tergopoh-gopoh dan tangan gemetaran, Alvaro membopong Flora sekuat tenaga melewati panasnya lapangan basket siang hari ini. Beberapa siswa yang belum pulang kontan menoleh kearah Alvaro yang berlarian sambil sesekali meneteskan beberapa lumuran darahnya di tanah lapangan basket. Walau begitu, Alvaro tak menggubrisnya sama sekali, biarpun darahnya mengalir hingga membanjiri lantai sekolahan, yang terpenting gadis yang digendongnya ini tidak kenapa-napa.

Plis Flo... jangan pingsan dulu...

Alvaro ✔ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang