[7] Different World

5.6K 339 3
                                    

"Fiuh... akhirnya gue bisa kabur juga"

Alvaro mengelus dadanya lega. Setelah sekian lama dikurung di ruangan laknat tersebut, akhirnya dirinya bisa terbebas juga dari sana, dan hidungnya sanggup menghirup udara segar lagi.

"Tapi, kenapa gue ngerasa bersalah ya sama tuh anak?" gumam Alvaro dalam hati. Langkahnya terhenti sejenak dan kepalanya menoleh kearah koridor tempat gadis itu masih terduduk menung di salah satu bangku.

Alvaro menggelengkan kepalanya cepat "Whatever lah. Yang penting gue udah kasih tau dia nama dan kelas gue. Mau dia marah-marah kek, mau dia gak terima kek. I dont care" ia pun melanjutkan langkahnya lagi menuju kelas XI IPA 5 yang plang-nya sudah terpampang jelas di sudut koridor lantai dua ini.

"Fisika, I'm comiiiing" seru Alvaro kemudian berlari kegirangan saat mengetahui jam pelajaran kelasnya saat ini adalah Fisika, mata pelajaran yang paling disukainya. Mungkin, kepintaran Arkan akan mata pelajaran IPA dulu sepertinya telah menurun kepada generasinya, yaaa walaupun Alvaro sedikit bandel dan suka mengkarate orang. Sama seperti ibunya.

🍁🍁🍁🍁🍁

"Bagaimana dok? Tuan saya sakit apa?" tanya asisten pribadi Davino, yang bernama Alex, dengan raut wajah khawatir.

Sang dokter dengan santai melepas stetoskop di telinganya, lalu menatap Alex dengan tatapan sayu.

"Apakah Pak Davino pernah mengalami kelainan otak sebelumnya?" tanya dokter tersebut, sambil sesekali menatap Davino yang masih terkulai lemas tak sadarkan diri diatas tempat tidur.

Alex hanya menggeleng kecil, karena dirinya tak tahu bahkan tak ingin ikut campur tentang kehidupan pribadi tuannya

"S-Saya kurang tahu dok. Tuan saya hanya pernah mengalami kecelakaan mobil kecil ketika di New York, tapi saat itu dokter disana hanya mengdiagnosanya mengalami luka benturan ringan di kepala, tidak sampai gagar otak" jelas Alex, dokter tersebut hanya mengangguk-angguk paham.

"Hmm... saya mengerti. Luka dari kecelakaan itu mungkin saja tidak bisa di deteksi secara spontan, namun setelah beberapa hari kita bisa mengetahui indikasi dari penyakit yang disebabkan dari luka benturan tersebut. Seperti, yang Pak Davino alami sekarang ini" jawab dokter tersebut lalu melangkah kearah ranjang tempat Davino berbaring.

Kontan saja hal itu membuat Alex dirundungi rasa penasaran yang tinggi dan berusaha untuk menanyakan lebih dalam kepada dokter tersebut akan keadaan tuannya saat ini.

"Jadi dok... tuan saya sebenarnya sakit apa?"

Dokter tersebut menoleh perlahan kearah Alex. Namun, tatapannya masih sigap memandang wajah pucat Davino. Sesekali dokter tersebut menghela napas berat sebelum akhirnya mau untuk membuka suara pada Alex.

"Pak Davino mengalami amnesia berat. Hal itu membuatnya selalu merasa pusing yang amat berlebihan setiap kali mengingat memori-memori yang berhubungan dengannya terdahulu. Dan, saya tidak menyarankan anda untuk mengingatkan Pak Davino dengan memorinya, karena semakin Pak Davino mengingat memorinya terdahulu, semakin kuat pula rasa sakit yang menjalar di kepala Pak Davino. Dan hal itu dapat berdampak buruk nanti" jelas dokter tersebut dengan lugas, sebelum akhirnya pamit ijin pergi karena ada panggilan dari kepala rumah sakit tempat dimana ia bekerja.

"Terima kasih, dok" ujar Alex dan dibalas anggukan tulus dari dokter tersebut.

CKLEK

Pintu menutup rapat. Kini, hanya ada dirinya dan Davino disini. Alex tak tahu apa yang harus ia perbuat sekarang. Haruskah dia memberitahu nona Cecil mengenai hal ini? Atau, langsung bicara blak-blakan ke Pak Davino?

Huh, memang benar, menjadi asisten pribadi sungguh merepotkan. Andaikan Alex dulu tak meninggalkan sekolah peguruan tingginya, mungkin sekarang ia sudah menjadi bos besar di umurnya yang ke-20 ini, bahkan melebihi perusahaan Pak Davino sendiri.

Tapi yah sudahlah, takdir seseorang memang tak bisa ditentukan. Alex hanya bisa berharap bahwa suatu saat nanti nasib baik akan mendatanginya. Sudah untung dirinya bisa menjadi asisten yang dipercaya Pak Davino untuk menangani segala tugas-tugas bila laki-laki itu sedang kewalahan.

🍁🍁🍁🍁🍁

"Berani-beraninya kamu melanggar perintah saya?!" teriak Bu Fenny nyolot, jari telunjuknya menunjuk-nunjuk hidung Alvaro gemas.

Yang ditanya justru terdiam kikuk sambil sesekali menggaruk tengkuk.

"Sekali lagi saya melihat kelakuanmu seperti ini lagi... ibu nggak akan segan-segan memanggil kedua orang tuamu datang kesini" ancam Bu Fenny. Alvaro segera mendongakkan kepalanya perlahan.

Ia menatap mata hitam Bu Fenny sendu. Sedetik kemudian wanita itu terjengat kaget, lupa akan sesuatu.

"M-Maksud ibu, paman-pamanmu. Ibu akan memanggil pamanmu bila kelakuanmu masih bandel seperti ini lagi" Bu Fenny mengusap keningnya gugup lalu menepuk bahu Alvaro tegar.

"Ibu tidak bermaksud seperti itu. Ibu minta maaf."

Alvaro masih diam tak bergeming di tempatnya. Tatapannya terpaku menekuri tanah dibawahnya dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Bukan maksud dirinya untuk mengacuhkan Bu Fenny, namun jiwanya serasa seperti ditarik kembali oleh ribuan kenangan-kenangan kelam itu.

"Alvaro..." Bu Fenny mengelus bahu Alvaro perlahan. Kini, laki-laki itu pun akhirnya menoleh walaupun masih dengan tatapan dingin.

Bu Fenny segera menarik lengan Alvaro menjauh dari sisi lapangan, menuju ruang UKS untuk membuatkan siswa 'spesial'nya ini teh hangat. Hanya sekedar untuk menjernihkan pikirannya, setelah itu Bu Fenny akan lanjut menghukum Alvaro lagi, tanpa ampun.

Namun, tanpa diduga Bu Fenny kedatangan tamu, beliau berpapasan dengan siswi baru kelas X nya. Ya, siswi yang sama yang menolong Alvaro kemarin.

"Ada perlu apa ya anak manis?" tanya Bu Fenny gemas sambil mengelus rambut kepang gadis itu. Ingin rasanya beliau mempunyai seorang anak perempuan seperti gadis ini. Cantik, lucu, dan imut. Namun sayangnya, Tuhan berkehendak lain dan hanya mengkaruniai Bu Fenny 4 orang anak laki-laki.

"Eummm... gini bu saya mau tanya soal kunci--" gadis itu terkejut saat menyadari ada Alvaro yang berdiri dibelakang Bu Fenny. Kontan saja gadis itu gelagapan takut. Takut kalau Alvaro marah karena dirinya telah jujur di hadapan Bu Fenny sehari yang lalu.

"Kunci apa ya Flora? Kunci motor? Kunci mobil?" Bu Fenny mengerutkan alisnya bingung.

Sementara itu, Flora masih tak henti-hentinya memandang Alvaro, walaupun laki-laki itu tengah sibuk melamun menekuri lantai ubin dibawahnya. Seakan-akan tak ada hal penting lainnya selain membayangkan masa lalu.

"Floraaa, kau dengar ibu nak?" panggil Bu Fenny saat menyadari bahwa murid di depannya ini tak memperhatikan selagi dirinya berbicara.

Segera, Flora memalingkan pandangannya dan menatap raut muka Bu Fenny yang sudah mulai kehilangan kesabaran, menanti jawaban.

"S-Saya mau tanya soal kunci loker bu. Tapi kalau sekarang ibu sedang sibuk, nggak apa-apa nanti saja saya datang ke ruangan ibu" sahut Flora, sesekali matanya melirik kearah Alvaro yang masih enggan untuk menoleh, dan tak menyadari keberadaannya disini.

Kau kenapa? Kenapa kau tiba-tiba dingin seperti ini?

Alvaro ✔ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang