Di tengah perjalanan, hati Davino tiba-tiba merasa tidak enak. Ia pun sejenak menghentikan langkahnya. Ada perasaan mengganjal yang mengganggu pikirannya. Terpaksa, Davino memutuskan untuk putar balik kembali ke ruangan tempat Alvaro dirawat.
Belum 10 menit Davino meninggalkan Alvaro, pria itu disambut dengan pemandangan yang cukup membuatnya terkejut setengah mati. Terlihat seorang suster membentangkan kain putih ke tubuh Alvaro. Davino pun segera menyibakkan kain itu penuh emosi.
"Apa yang kau lakukan?!!" teriak Davino penuh amarah pada suster tersebut.
"Mohon maaf pak... tapi pasien ini sudah meninggal"
Davino pun menoleh dan mendapati wajah Alvaro yang benar-benar sudah pucat pasi. Mata lelaki itu terpejam dan terlihat masih ada bekas air mata di pipinya. Tak ada lagi alat bantu pernapasan yang terlihat di tubuh Alvaro, bahkan monitor detak jantung di samping Alvaro telah dimatikan oleh sang suster. Sejenak Davino terdiam berdiri mematung kaku, terkejut akan kenyataan yang ada di hadapannya saat ini.
"Anak itu menitipkan surat ini pak. Dia menyuruhku untuk memberikan pada pamannya" suster itu memberikan secarik kertas kepada Davino. Dengan tangan gemetaran, Davino menerima kertas itu. Pandangannya masih tak lepas menatap sosok Alvaro di hadapannya.
Ci.. kenapa kau mengambilnya begitu cepat, batin Davino kemudian terduduk diatas lantai. Lututnya tiba-tiba lemas dan hatinya berkecamuk tak karuan. Yang ada di dalam pikiran Davino saat ini hanyalah penyesalan. Andai saja Davino tidak meninggalkan Alvaro tadi, mungkin Alvaro tidak akan sendirian kesepian disaat terakhirnya. Davino benar-benar bodoh.
Suster tersebut akhirnya menutup tubuh Alvaro dengan kain putih. Kini sosok Alvaro telah menjadi kenangan. Cecil benar, takkan ada lagi 'Alvaro' kedua. Takkan ada lagi penderitaan. Takkan ada lagi dendam. Semuanya telah berakhir. Alvaro telah tenang disana, bersama kedua orang tuanya. Meninggalkan Davino bersama perasaan bersalahnya, seumur hidup.
Sejenak Davino mengusap air mata di pipinya, masih ada satu hal lagi yang harus ia lakukan. Davino pun menatap secarik kertas di tangannya, kemudian berbalik menatap Alvaro sendu.
"Akan kusampaikan pesanmu ini pada pamanmu. Semoga kau tenang disana, Alvaro" Davino mulai mencium kening Alvaro penuh kasih sayang, "Sampaikan salamku pada Ici, katakan bahwa aku sangat merindukannya"
Sedetik kemudian Davino berlari keluar dari ruangan. Sungguh berat rasanya menerima semua kenyataan ini, dimana satu persatu orang yang kau sayangi pergi dari kehidupanmu. Hingga tiada lagi yang tersisa.
🍁🍁🍁🍁🍁
Davino telah sampai di tempat dimana Ferrel dirawat. Terlihat dari balik kaca, Ferrel yang tengah berbincang-bincang santai dengan Adrian dan Raka. Mereka tak sedikitpun menyadari maupun mencari keberadaan Alvaro yang bahkan sudah tak ada lagi di dunia ini. Davino benar-benar kesal dibuatnya.
CKLEK
Davino mulai membuka pintu itu. Nampak Ferrel menghentikan obrolannya dan beralih menatap Davino, begitu pun Adrian dan Raka.
"Kok lo bisa ada disini?" tanya Raka kebingungan. Namun Davino masih diam membisu, mencoba menahan emosinya.
Davino berjalan menuju Ferrel dan memberikan secarik kertas kepadanya. Terlihat Ferrel yang menerimanya dengan wajah kebingungan. Membuat Adrian seketika mengernyit penasaran.
"Apa itu?" tanya Adrian, namun hanya dibalas tatapan datar oleh Davino.
Davino tiba-tiba meneteskan air mata, membuat mereka bertiga semakin menatapnya kebingungan.
"Bacalah baik-baik" ujar Davino kemudian melangkah pergi menuju pintu, "Dan ingat kembali apa yang telah kalian lakukan kepadanya"
KLAK
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvaro ✔ [COMPLETED]
Novela JuvenilSejak kematian orang tuanya, hidup Alvaro berubah drastis. Tekanan demi tekanan terus ia dapatkan selama hidup serumah dengan ketiga pamannya (Adrian, Raka, Ferrel). Hingga terpaksa membuatnya menjadi bad boy. Lambat laun keanehan mulai muncul di ke...