Hari ini adalah hari terburuk bagi Raka. Sudah Alvaro menghilang ditambah lagi Bang Ferrel yang keras kepala. Raka tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan dalam penderitaan ini sendirian. Abang-abangnya pun juga seakan tak peduli kepadanya, terutama kepada Alvaro. Dan hari ini, Raka merasa sangat bersalah karena sebagai paman ia telah gagal menjaga Alvaro keponakannya seperti janji yang ia ucapkan kepada Ici waktu itu.
"Hashss!"
Raka memukul setir mobilnya kesal. Andaikan kecelakaan itu tak pernah menimpa Ici dan Arkan, mungkin hari ini Raka sudah berlibur bersama mereka, menghabiskan waktu yang tak pernah mereka rasakan sewaktu SMA dulu.
Kita benar-benar keluarga kan?
Raka membatin selagi menatap foto di ponselnya. Terlihat di foto itu Raka, Bang Ferrel, dan Bang Adrian tersenyum bahagia sambil memeluk Ici dan Arkan yang tengah menggendong bayi Alvaro. Hari itu merupakan hari paling bahagianya, karena untuk pertama kalinya ia menjadi seorang paman muda.
Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Raka pun menutup galeri ponselnya dan beralih menelpon seseorang.
"Halo?"
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif"
Sejenak raut wajah Raka berubah murung. Ia pun beralih ke mode pesan suara.
"Halo Bang Adrian... ini Raka. Gimana keadaan abang disana? Kapan abang pulang? Alvaro lagi dirawat di rumah sakit bang. Kumohon abang cepet pulang. Raka udah gak tau harus gimana lagi semenjak Bang Adrian gak ada disini. Raka harap abang bener-bener dengerin pesan ini. Raka tunggu telpon dari abang"
Raka pun mengirimkan pesan suara tersebut ke nomor Bang Adrian. Sejenak, lekaki itu terdiam sebentar lalu merogoh saku jaketnya. Dibacanya lagi alamat rumah sakit yang diberikan Davino tadi. Segera, Raka menstater mobilnya dan melaju menuju rumah sakit tempat Alvaro dirawat.
"Kumohon bertahanlah..."
🍁🍁🍁🍁🍁
Seorang suster terlihat memasuki sebuah kamar pasien di ujung ruangan. Kamar itu terlihat sepi dan hening, berbeda dengan kamar pasien lain yang cukup ramai karena sekarang waktunya jam jenguk.
Bunyi suara BIP dari monitor detak jantung senantiasa melantun memecah keheningan ruangan tersebut. Terlihat Alvaro yang masih terbaring lemas diatas ranjang pasien dengan alat bantu pernapasan dan infus yang masih tertancap. Suster tersebut berjalan mendekati Alvaro dan mulai mengganti infusnya.
Perlahan, Alvaro mulai mengerjapkan matanya. Pandangannya yang mengabur hanya bisa menangkap sosok siluet di hadapannya samar-samar. Dengan sedikit mengerang kesakitan, Alvaro sukses membuat suster tersebut terkejut.
"Kau sudah siuman rupanya" ucap suster itu usai mengganti infus Alvaro. Ia pun segera mencatat hasil kondisi Alvaro lalu berjalan keluar mencari dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut, mengingat Alvaro sudah siuman.
Saat sang suster sudah keluar dari ruangan, Alvaro mengerjapkan matanya lagi. Perlahan kesadarannya mulai kembali. Sejenak Alvaro terdiam memandangi tiap sudut ruangan tempatnya berbaring saat ini. Begitu sunyi dan dingin. Ditambah lagi bunyi BIP dari suara monitor yang terus mengganggu pendengarannya. Alvaro tersadar kalau tempat ini bukanlah kamar tidurnya.
Alvaro berusaha bangkit dari posisi berbaringnya. Ia mendapati sebuah rangkaian infus tertancap manis di punggung tangan kanannya. Tanpa basa-basi, Alvaro langsung mencabut infus tersebut secara paksa.
"Argh!"
Kontan rasa sakit itu datang menghampiri. Darah mulai keluar dari punggung tangan Alvaro dan ia langsung mengusapnya tanpa ragu-ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvaro ✔ [COMPLETED]
Teen FictionSejak kematian orang tuanya, hidup Alvaro berubah drastis. Tekanan demi tekanan terus ia dapatkan selama hidup serumah dengan ketiga pamannya (Adrian, Raka, Ferrel). Hingga terpaksa membuatnya menjadi bad boy. Lambat laun keanehan mulai muncul di ke...