Alvaro terus melajukan mobil sport nya dengan kecepatan tinggi. Sesekali ia terkekeh kecil membayangkan pamannya Raka dikeroyok satpam-satpam tadi. Bukan bermaksud durhaka karena tiba-tiba meninggalkan pamannya, tapi Alvaro yakin satpam-satpam tadi bukanlah tandingan untuk Raka. Tandingan Raka itu sekelas Mike Tyson dan Muhammad Ali. Dan juga, maksud Alvaro meninggalkan Raka adalah agar pamannya itu mengurusi biaya administrasi rumah sakitnya.
Ntar kalo paman Raka udah sampe rumah, baru gue minta maaf. Hehehe, batin Alvaro sambil tersenyum gemas. Ia begitu senang dengan pelukan yang Raka berikan tadi. Rasanya seperti dilindungi oleh seseorang yang selalu memperhatikanmu. Alvaro rindu masa-masa dimana ketiga pamannya masih menyayangi dan memperhatikannya.
Drrrrt... Drrrttt...
Bunyi getar sebuah telepon menarik perhatian Alvaro. Segera lelaki itu menepikan mobilnya dan mulai mencari-cari keberadaan benda kecil itu. Sebuah saku jaket milik Raka menjadi tempat yang Alvaro curigai. Benar saja, ponsel milik Raka bergetar menampilkan panggilan masuk dari seseorang.
"Halo?"
"Halo Rak... ini Bang Adrian. Maaf abang tadi belum sempet bales pesanmu. Kebetulan pekerjaan abang di US udah selesai dan emang sengaja abang rencanain buat pulang ke Indonesia. Kamu nelpon waktu abang perjalanan terbang kesini. Ini abang udah di bandara, tolong kamu jemput kesini, sekalian kita njenguk Alvaro bareng-bareng sama Ferrel juga"
Klik~
Alvaro memutus panggilan itu secara sepihak. Terlihat raut wajahnya yang semula bahagia berubah menjadi kesedihan. Alvaro jadi teringat hari itu, hari dimana Adrian marah besar kepadanya sehingga memutuskan untuk pindah ke US bersama istrinya. Benar, semua kekacauan ini terjadi akibat ulah Alvaro 2 tahun lalu yang membuat Adrian dan Ferrel murka kepadanya. Hanya Raka lah yang selalu ada disamping Alvaro sampai sekarang.
BRUM...
Mesin mobil kembali menyala, Alvaro pun melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sudah Alvaro putuskan, hari ini dia harus berbicara empat mata dengan Adrian, berharap ada titik terang dari permasalahan diantara keduanya.
🍁🍁🍁🍁🍁
"Btw nih anak tumben lama banget" Adrian mengomel selagi terus memandangi mobil-mobil yang berlalu lalang di halaman bandara. Tak biasanya Raka telat menjemputnya, malahan adiknya itu selalu menunggu duluan.
Cukup lama menunggu hampir 30 menit, akhirnya sebuah mobil sport merah nampak melaju kearah Adrian dan berhenti tepat di hadapannya. Sambil sedikit mengomel, Adrian berjalan kearah bagasi untuk meletakkan koper dan beberapa barang bawaannya. Ia pun kembali berjalan ke depan dan mencoba membuka knop pintu mobil. Anehnya, pintu mobil itu tak mau terbuka walau Adrian sudah berusaha keras untuk menariknya. Lantas lelaki itu mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil dengan kesal. Bisa-bisa nya Raka mempermainkan dirinya seperti ini.
"Liat aja, sampe rumah gue cincang lo jadi bakso" geram Adrian.
Sementara itu, Alvaro tengah terdiam mematung kaku di tempatnya. Ia melihat siluet wajah Adrian dari balik kaca mobil. Hatinya masih ragu untuk bertatapan langsung dengan pamannya itu. Alvaro takut bila Adrian masih memandangnya dengan tatapan yang sama 2 tahun lalu.
"Raka cepetan! Bukain gak?!"
Pintu mobil itu pun akhirnya terbuka. Adrian segera melenggang masuk tanpa menyadari keberadaan Alvaro di sampingnya. Sembari sibuk memasang seatbelt, Adrian terus mengomel.
"Dasar adek gak tahu diri! Udah tahu abangnya capek kepanasan nungguin, eh malah--"
Sorot mata itu pun saling bertemu untuk pertama kalinya. Adrian dan Alvaro saling menatap satu sama lain. Yang satu menatap dengan wajah nanar, sedangkan yang satu lagi memasang wajah terkejut.
"H-Halo paman..." Alvaro menyapa dengan ekspresi gugup bercampur takut.
"Oh, kau rupanya" jawab Adrian dingin lalu berpaling kearah sebaliknya.
Memang benar dugaan Alvaro, Adrian masih sama seperti yang dulu ketika bertemu dengannya. Seperti barusan, yang awalnya raut wajah Adrian lucu seperti anak kecil yang marah-marah, sekarang berubah menjadi tatapan acuh tak acuh.
TIIIIN TIIIIIN
Suara klakson mobil dari arah belakang mengagetkan Alvaro. Alhasil lelaki itu pun mau tak mau melajukan mobilnya meninggalkan bandara ini.
Selama perjalanan, suasana masih benar-benar canggung. Baik dari Adrian maupun Alvaro tak ada yang mau membuka suara. Hingga suara dehem Adrian berhasil memacu jantung Alvaro berdegup begitu kencang.
"Dimana Raka?" Adrian mulai membenarkan seatbelt nya, "Bukankah kau seharusnya dirawat di rumah sakit?"
Alvaro hanya bisa menggaruk tengkuknya bingung menanggapi pertanyaan Adrian. Rasanya seperti sedang dicecari pertanyaan oleh dosen sidang skripsi.
"P-Paman Raka ada di rumah sakit. Aku kabur pake mobilnya paman Raka"
Jawaban Alvaro membuat Adrian melayangkan tatapan tajam kepadanya. Segera laki-laki paruh baya itu menyuruh Alvaro untuk menepikan mobil.
"Dimana sopan santunmu? Dia pamanmu! Bagaimana bisa kau tega meninggalkannya sementara kau asyik dengan duniamu sendiri?!"
Adrian tiba-tiba emosi tak terkendali. Menatap Alvaro dengan tatapan berkabut amarah.
"Apakah kau menyalahkan kami atas kematian kedua orang tuamu? Kau selalu mempermainkan kami, menyusahkan kami bertiga!"
Alvaro terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari mulut pamannya sendiri. Tak pernah ia sangka pamannya ini bakal berkata sekasar itu kepadanya. Apalagi sampai mengungkit kematian kedua orang tuanya.
Sejenak Alvaro tersenyum tipis dengan raut wajah sedih hampir menangis, "Emang udah seharusnya aku mati aja waktu kecelakaan itu. Buat apa aku hidup kalo paman-pamanku saja tak pernah menganggapku ada"
Alvaro pun turun dari mobil dan melenggang pergi meninggalkan Adrian sendirian. Sejenak pria itu terdiam menyesali segala perkataan yang seharusnya tak ia ucapkan kepada keponakannya.
Rasa bersalah mulai menyelimuti Adrian karena ia tahu Alvaro tak pernah mendapatkan kasih sayang darinya semenjak kecelakaan yang menimpa Ici dan Arkan. Yang Adrian berikan hanyalah omelan dan bara-bara api emosi sehingga tak salah bila Alvaro jadi berkelakuan seperti ini.
"Kumohon bunuh aku sekarang Ci"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvaro ✔ [COMPLETED]
Teen FictionSejak kematian orang tuanya, hidup Alvaro berubah drastis. Tekanan demi tekanan terus ia dapatkan selama hidup serumah dengan ketiga pamannya (Adrian, Raka, Ferrel). Hingga terpaksa membuatnya menjadi bad boy. Lambat laun keanehan mulai muncul di ke...