Teeeet... teeet... teet...
KLAK
"Halo.... ya, baiklah, saya menyanggupinya. Terima kasih"
Tut~
CKLEK
"Permisi pak Davino, anda sudah di tunggu di ruang meeting"
"Tunggu 2 menit"
"Baik pak"
CKLEK
Pintu menutup perlahan, Davino mulai bangkit dari kursi kantornya. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 2 siang. Seharusnya hari ini dirinya ada janji dengan seseorang, namun mengingat meeting penting perusahaan yang tiba-tiba saja dimajukan, Davino terpaksa membatalkan pertemuannya dengan seseorang tersebut.
Kriet...
Davino membuka lemari khusus disampingnya. Memang, ruang kerja Davino ini menyerupai sebuah kamar VIP yang berisikan sofa empuk, bar kecil, lemari dengan kemeja-kemeja rapi di dalamnya, dan beberapa jendela kaca besar yang menampilkan langsung pemandangan dua gedung bertingkat tinggi hasil jerih payahnya sendiri selama 12 tahun.
Davino mengganti kemeja kerjanya saat ini dengan kemaja hitam yang ia khususkan untuk meeting-meeting tertentu. Hari ini adalah meeting mengenai kerja sama perusahaannya dengan beberapa perusahaan di negara lain, seperti Indonesia, Jepang, Filipina, dan Malaysia.
Perusahaan yang Davino dirikan terletak tepat di pusat kota New York, AS. Tak heran, bila perusahaan dari negara lain ingin bekerja sama dengan perusahaan Davino yang sudah sangat sukses hanya dalam jangka waktu 10 tahun saja.
CKLEK
Davino membuka pintu ruangannya, lalu berjalan kearah lift dan memencet tombol lantai nomer 5. Ruang kantor Davino terletak di lantai 15.
Ziiing... zingg...
Lift melaju turun. Hanya ada Davino di dalam lift ini. Secara, lift ini adalah lift pribadi milik Davino, jadi tak ada seorang pun yang bisa masuk kecuali meminta ijin terlebih dahulu pada Davino.
TING
Pintu lift terbuka, terlihat beberapa pegawainya yang tengah berjalan sejenak berhenti dan menyapa tuan bos nya yang hanya membalasnya dengan anggukan kecil. Beberapa pegawai wanita dari pojok ruangan saling berbisik-bisik satu sama lain membicarakan ketampanan bosnya yang melebihi Dewa Poseidon dari Olympus.
Kret...
Davino menarik pintu kaca di depannya dan berdiri gagah sambil memberi salam kepada semua hadirin meeting saat ini. Tak ada senyuman atau lesung pipi yang timbul di wajahnya, hanya tatapan tajam dan anggukan kecil seperti biasanya. Tak lebih.
"Mari kita mulai saja meetingnya" seru Davino to the point.
Zzzaaaz...
Lampu dipadamkan dan layar proyektor perlahan menyala, menampilkan statistika grafik peningkatan investor saham masing-masing perusahaan.
1 jam kemudian...
Lampu kembali dihidupkan, seluruh hadirin klien sibuk mencatat satu sama lain sebelum akhirnya menatap Davino untuk meminta keputusan akhir.
"Jadi... negara mana yang akan bapak putuskan untuk diadakan kerja sama?" tanya salah seorang klien yang kira-kira berumur 58 tahunan.
Davino membenarkan dasi di kemejanya dan bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan kearah papan di belakangnya yang sudah terpasang peta dunia. Davino pun menunjuk salah satu negara di peta tersebut.
"Indonesia"
🍁🍁🍁🍁🍁
"Maaf aku terlambat"
Davino melenggang duduk di depan seorang gadis yang tengah berpangku tangan dengan kesal. Gadis itu sama sekali tak menjawab apalagi sekedar menoleh kearah Davino di hadapannya.
"Hey. Kau marah padaku ya?" tanya Davino, lalu melambaikan tangannya memangil waitress untuk memesan minuman.
Selesai memesan, Davino kembali menatap gadis di depannya itu. Ia sama sekali masih tak menoleh kearahnya. Tatapannya sayu dan bibirnya amat cemberut. Davino tak tahu apa yang membuat gadis di depannya ini sebegitu marahnya kepadanya.
"Hey... Cecil... liat sini dong" Davino meraih dagu Cecil dan mempertemukan kedua mata mereka dalam satu tatapan. Seketika Davino terlonjak kaget karena menyadari gadis ini tengah menangis.
"H-Hey, kau kenapa? Ada yang menyakitimu?" tanya Davino khawatir. Ia takut bila Cecil kenapa-napa sebelum dirinya sempat datang ke cafe ini duluan.
Cecil hanya menggeleng lesu, lalu menyeka sejenak air mata di kelopaknya. Ditatapnya lagi arah yang sama seperti tadi. Tentu saja hal itu membuat Davino tambah khawatir dan menarik kursinya mendekat kearah Cecil.
"Kau marah ya kalau aku akan pergi ke Indonesia?" Davino mengatupkan kedua tangannya dan menangkup kedua pipi Cecil.
Dan benar saja, gadis itu mengangguk lalu seketika memeluk Davino erat.
"Aku kan sudah bilang kalau aku nggak mau ke negara itu lagi. Kamu tau kan kalau aku pernah trauma di negara itu" ungkap Cecil sambil terisak kecil.
Davino pun mengelus perlahan punggung Cecil "Iya aku tahu. Tapi para klien perusahaan lain sudah setuju kalau pertemuan kerja sama ini berada di negara Indonesia. Ya nggak mungkin dong aku ngebatalin"
Kontan mendengar hal itu, Cecil langsung mendorong tubuh Davino menjauh dari pelukannya "Jahat! Masa permintaan pacarnya sendiri nggak diturutin. Lelaki macam apa kamu!"
Davino tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya mampu menatap gadis di depannya ini dengan tatapan sendu, berharap rasa ketakutan tak lagi menguasai dirinya.
"Kalau kamu mintanya kayak begitu, ya udah, aku turutin. Tapi aku tetap tidak membatalkan kunjungan ke negara Indonesia. Hanya saja hari menginapnya saja yang bakal aku kurangi. Setuju?" tawar Davino, mencoba menenangkan hati Cecil yang rawan rapuh bila tak selaras dengan keinginannya.
Sejenak, Cecil hanya bersedekap tangan kesal, sebelum akhirnya mau tak mau mengangguk dan tersenyum kearah Davino.
Melihat hal itu, Davino pun ikut tersenyum dan meraih gelas berisi coklat milkshake disampingnya dan menyeruputnya perlahan.
Sementara itu, senyuman di wajah Cecil perlahan kian memudar. Tatapan egois dan dendam kini kembali menguasai dirinya.
Ada alasan kenapa aku nggak mau membawamu kembali ke negara itu, Alvaro, batin Cecil lalu ikut menyeruput lemonade disampingnya dengan perasaan penuh dendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvaro ✔ [COMPLETED]
Teen FictionSejak kematian orang tuanya, hidup Alvaro berubah drastis. Tekanan demi tekanan terus ia dapatkan selama hidup serumah dengan ketiga pamannya (Adrian, Raka, Ferrel). Hingga terpaksa membuatnya menjadi bad boy. Lambat laun keanehan mulai muncul di ke...