Bulir bening air mata tak terasa menetes disela Alvaro melangkahkan kakinya menyusuri jalanan. Rasanya dunia sudah tidak adil kepadanya. Entah sampai kapan penderitaan ini harus Alvaro tanggung sendirian.
"Mereka bertiga adalah pamanmu. Selama aku hidup, tak ada yang bisa menggantikan kasih sayang mereka. Ibu yakin... mereka akan menyayangimu dan selalu ada untukmu, kapanpun."
Suara Ici kembali terngiang di pikiran Alvaro. Sejenak lelaki itu menghentikan langkahnya.
"Tidak.. ibu salah. Mereka tak pernah menyayangiku. Mereka pura-pura menyayangiku di depan ibu. Mereka hanya menyayangi ibu" gumam Alvaro. Kemudian melanjutkan langkahnya lagi seolah kesedihan ini hanyalah angin lalu semata.
Kembali langkah Alvaro terhenti saat dirasakan tubuhnya tiba-tiba bergejolak. Napasnya memburu dan jantungnya berdegup sangat kencang. Sesaat Alvaro merasakan sakit yang teramat sangat di dada nya. Tepatnya di bagian luka bekas tembakan. Ia pun mengecek bekas luka itu dan mendapati noda darah telah menghiasi baju pasiennya.
Namun Alvaro tetap memaksa untuk berjalan, mengingat di ujung seberang sana sudah nampak siluet gedung SMA nya. Tetapi tetap saja, kaki Alvaro terlalu lemas untuk menopang beban tubuhnya sekarang ini. Alhasil, tak beberapa lama tubuh Alvaro limbung ke jalan.
BRUGH..
Seketika seluruh pandangan Alvaro menggelap. Tubuhnya serasa mati rasa. Hanya suara deruan mesin mobil yang menghiasi pendengarannya.
BRUUM
Alvaro mendengar mobil itu berhenti di dekatnya. Terdengar suara pintu mobil yang terbuka sukses membuat Alvaro terpaksa harus membuka mata. Dilihatnya sekilas sosok di depannya samar-samar sebelum akhirnya kesadaran Alvaro menghilang sempurna.
🍁🍁🍁🍁🍁
"Apakah kau yakin ini rumahnya?"
Davino memandang sekilas mansion tua di depannya. Tak ada yang istimewa, hanya rerumputan liar yang terlihat mendominasi. Sesaat pria berbahu lebar itu menatap Flora yang berdiri di sampingnya, meminta kejelasan.
"Udah bener kok..." Flora sesekali mengecek google map di ponselnya.
Alex yang tak kuasa melihat dua orang di depannya kebingungan itu segera melangkah mendekat ke mansion. Diketuknya pintu kayu tua di depannya berkali-kali. Kesabaran Alex sudah habis.
"Haloo!!"
Alex berteriak kala tidak ada sahutan dari ketukan pintu nya tadi. Lelaki itu heran, bagaimana bisa ada seseorang yang masih betah tinggal di mansion tua seperti ini.
CKLEK..
Pintu tiba-tiba terbuka dan menampakkan sesosok laki-laki bertubuh tinggi semampai dengan kulit yang putih kepucatan. Laki-laki itu nampak seumuran dengan Alex.
"Siapa kamu?" Laki-laki itu menatap Alex keheranan dengan kedua alis yang saling bertautan.
"Kak.. ini aku, Flora" ujar Flora tiba-tiba menimpali. Kontan lelaki itu beralih menatap Flora kebingungan.
"Clinn... sepertinya ada tamu! Kenapa tidak kau suruh masuk?"
Suara serak bak bariton terdengar menggema di dalam mansion itu. Seketika lelaki bernama Clinn yang masih berdiri di ambang pintu tadi segera membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan ketiganya masuk.
Usai Alex dan Davino duduk di sofa, Clinn segera menghampiri Flora dan terlihat membisikkan sesuatu.
"Siapa mereka? Kenapa kau membawa mereka kemari?"
Pertanyaan Clinn hanya dibalas gelengan kepala oleh Flora. Sejenak lelaki itu beralih menatap Alex dan Davino curiga. Ditatapnya tubuh Davino dari atas sampai bawah. Rasanya tidak asing.
Disisi lain terdengar suara langkahan kaki yang menuruni anak tangga. Terlihat seorang pria paruh baya melangkah turun sambil membenarkan pinggiran lengan kemejanya.
"Paman Felix!!" Flora tiba-tiba berteriak dan langsung berlari memeluk Felix yang masih belum selesai menuruni anak tangga. Felix yang melihat Flora memeluknya langsung membalas dengan pelukan juga.
"Kenapa kau datang kemari, hm?" tanya Felix sambil sesekali merapikan rambut Flora.
Felix sangat terkejut saat pandangannya tak sengaja tertuju pada Davino. Segera pria itu mengurai pelukan Flora dan beralih mendekat kearah ruang tamu.
"K-Kau..."
Suara Felix serasa tercekat di tenggorokan kala dirinya menatap Davino lekat-lekat. Rasanya seperti mimpi yang terulang kembali.
"Selamat datang kembali, Tuan Muda Alvaro"
Tiba-tiba Felix membungkukkan badannya 90° ke hadapan Davino. Tentu saja hal itu membuat Davino terkejut dan langsung berdiri menghentikan Felix.
Sementara Clinn, Flora, dan Alex hanya bisa tercengang lebar melihat pemandangan di depannya ini.
"Aku bukan Tuan muda Alvaro. Aku Davino" ujar Davino sembari mendudukkan Felix di sofa. Namun tiba-tiba Felix memeluk Davino erat.
"Sudah lama sekali paman menunggumu Alvaro. Sudah lama sekali keluarga fernandes merindukanmu. Terutama kakekmu, Abraham Fernandes"
Ucapan Felix membuat Davino lantas mengurai pelukan dan memberikan tatapan kebingungan. Kedua alisnya bertautan tanda ia sedang tak baik-baik saja. Alex yang menyadari hal itu mulai bangkit berdiri namun dicegah oleh Clinn.
"Jangan kau coba-coba.." desis Clinn pada Alex. Membuat Alex terduduk di sofa lagi sambil mencebik kesal.
"Apa yang kau bicarakan?" Davino terkekeh kecil "Aku Davino... bukan Alvaro"
Langsung saja Felix memutar tubuh Davino dan mengecek sesuatu di sekitar tengkuk lelaki itu. Benar saja, terdapat segores tanda lahir di leher jenjang Davino.
"Kau lihat kan tanda lahir ini? Kau benar-benar tuan muda keluarga fernandes yang hilang. Kau Alvaro Fernandes"
Seketika kepala Davino terasa berat. Pandangannya mulai mengabur dan rasa pusing itu kembali mulai menjalar. Sekilas Davino mengingat memori-memori masa lalunya, ketika bermain bersama Felix di taman bermain dan berlarian diatas deburan pasir pantai yang lembut.
Memori itu serasa terus berjalan seperti rekaman yang dipercepat. Hingga memori itu terhenti pada kenangan yang takkan pernah Davino lupakan. Wajah itu. Senyum polos itu. Dan tatapan mata itu. Seakan jiwa Davino hanyut kedalamnya.
"Ici..."
Davino tiba-tiba menggumam. Kini kesadarannya mulai kembali. Kenangan itu seakan menjadi jawaban dari keraguannya selama ini. Sosok wanita yang selalu berada di pikirannya setiap malam. Davino yakin, ternyata selama ini bukan Cecil yang membuatnya bertahan hidup, melainkan perempuan itu. Ici.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvaro ✔ [COMPLETED]
Teen FictionSejak kematian orang tuanya, hidup Alvaro berubah drastis. Tekanan demi tekanan terus ia dapatkan selama hidup serumah dengan ketiga pamannya (Adrian, Raka, Ferrel). Hingga terpaksa membuatnya menjadi bad boy. Lambat laun keanehan mulai muncul di ke...