[31] Last Chance

2.8K 196 0
                                    

Tubuh Davino seketika melemas. Kedua lututnya seakan tak bertenaga kala kenyataan pahit itu keluar dari mulut Bang Raka.

"Ici sudah meninggal"

Berkali-kali Davino membenturkan kepalanya ke arah lemari tempat ia bersandar sekarang. Tak terima atas kematian wanita yang sangat ia cintai itu. Kenapa waktu begitu cepat merenggut Ici darinya?

Sejenak Davino menengadah menatap langit-langit kamar, berusaha menahan air mata yang mulai memenuhi pelupuk matanya. Tes, sebuah bulir bening air mata akhirnya jatuh membasahi pipi Davino, diiringi isak tangis yang membuat dada lelaki itu terasa sesak.

Disisi lain, Raka hanya bisa menghela napas berat melihat Davino yang masih terpuruk di lantai kamar Ici. Tak ada yang bisa ia perbuat selain memberitahukan kenyataan ini kepada Davino bahwa Ici dan Arkan telah meninggal karena kecelakaan.

"Ci... apa yang harus abang lakuin sekarang? Sudah terlalu banyak orang yang menderita karena kematianmu" gumam Raka mulai menyeka air mata di pipinya, "Seandainya kamu masih hidup Ci, mungkin keinginanmu untuk bertemu dengan cinta pertamamu bisa terwujud"

Tak ingin berlarut lama dalam kesedihan ini, Raka pun menutup pintu kamar Ici dan meninggalkan Davino sendirian di ruangan penuh kenangan itu.

Perlahan Davino bangkit dan mulai mencari kenangan-kenangannya bersama Ici yang masih bisa ia temukan di kamar ini. Hingga sebuah buku diary di bawah tempat tidur menarik perhatian Davino. Dengan segera lelaki itu membaca halaman demi halaman.

'Hari ini adalah hari pernikahanku. Aku sangat senang, dan aku juga sangat takut. Aku senang karena pria yang aku nikahi adalah sahabat baikku sendiri. Tetapi aku juga mulai takut... aku tak bisa menafsirkan perasaan ini semenjak kepergiannya. Seakan aku masih tidak terima kalau dia sudah mati. Dan hal yang kutakutkan pun benar-benar terjadi. Aku tak bisa tidur dan terus memikirkan dia tiap malam. Seakan ada suara bisikan-bisikan yang menyuruhku untuk menunggunya. Aku tak tahu harus bagaimana. Oh Tuhan... kalau waktu bisa diputar, hanya satu keinginanku untuk melihat wajahnya sekali saja sebelum pernikahanku ini dimulai'

Tak terasa Davino meneteskan air matanya. Segera ia membuka halaman terakhir, sebelum tubuhnya melemas tak sanggup menahan kenyataan ini.

'Siapapun... yang membaca ini, kumohon tolong aku dan keluargaku. Wanita itu kembali lagi membalaskan dendamnya. Aku tak tahu harus berbuat apa... aku tak tahu harus meminta tolong ke siapa. Mereka terus mengincar keluargaku, mereka terus mengincar anakku. Cecil kumohon berhentilah mengusik kebahagiaan keluarga kecilku. Aku minta maaf atas kematian kakakmu. Tolong hentikan semua drama ini, aku sudah tidak kuat lagi'

"C-Cecil?!" Sontak kepala Davino terasa pusing dan memori-memori itu kembali teringat. Memori dimana insiden penyekapan Ici yang merenggut nyawa Rey, kakaknya Cecil. Memori itu kembali dipercepat hingga terhenti pada memori dimana sebuah peluru menembus dada Davino demi melindungi Ici.

"SIAL!!"

Davino mulai mengepalkan tangannya dan memukul dinding disampingnya dengan keras. Tak bisa ia terima bahwa selama ini dirinya telah ditipu oleh wanita gila itu. Davino telah masuk kedalam perangkap Cecil.

Tanpa basa basi Davino langsung meraih ponselnya dan menghubungi nomer Cecil.

Tuut tuut~~

"HALO!"

"Oh hai honey... udah lama kau nggak menelponku. Gimana kabarmu sekarang? Kau baik-baik saja kan?"

"Dasar wanita gila! Apa yang telah kau lakukan pada Ici?!"

"Oh.. rupanya ingatanmu sudah kembali. Selamat~~"

"HASH!! Sialan!"

"Ada apa sayang? Kenapa kau terlihat marah? Bukankah seharusnya kau senang karena ingatanmu telah kembali?"

"Berhenti memanggilku dengan ucapan itu... atau aku akan membunuhmu!"

"Ah.. kau sudah berani rupanya kepadaku. Baiklah, coba saja... aku tak peduli. Karena aku telah menemukan mangsa yang selama ini aku cari"

Tut~

Panggilan terputus secara sepihak. Davino spontan membanting ponselnya dan langsung berlari keluar dari kamar Ici. Berharap masih ada waktu untuk menyelamatkan satu-satunya keluarga Ici yang tersisa, yaitu Alvaro.

🍁🍁🍁🍁🍁

Cecil mematikan ponselnya. Sejenak ia menatap wajah Alvaro yang tengah rebahan di sofa dengan tatapan bengis.

Suatu kehormatan bisa bertemu lagi dengan anakmu Ci, batin Cecil lalu tersenyum kecil. Ia mulai mendekat kearah sofa dan duduk tepat disamping Alvaro yang tengah tertidur. Cecil terus memperhatikan Alvaro hingga membuat laki-laki itu terbangun.

"Tante ngapain?" tanya Alvaro bingung saat melihat Cecil yang terus menatapnya. Alvaro jadi tak nyaman dilihatin terus.

"Ah.. maafkan aku. Kau begitu mirip dengan Ici dan Arkan, sahabat baikku waktu SMA dulu" jawab Cecil berbohong.

Alvaro langsung menghela napas dan melipat kedua tangannya diatas kepala, "Kan mereka orang tua ku. Gimana sih"

Kalau bukan karena di rumah Revan, Cecil pasti sudah membunuh Alvaro sekarang karena telah membuat dirinya kesal.

"Ah oke... tante minta maaf"

Alvaro beralih menyeruput jus jeruk yang dibuatkan bibinya Revan daripada menggubris Cecil disampingnya.

"Lain kali kalo orang ngomong di dengerin ya tan. Aku capek ngeladenin orang yang banyak nanya" jawab Alvaro ketus. Membuat Cecil sekali lagi terpaksa menahan amarahnya.

"Nih cemilannyaaa!!!"

Terlihat Revan kembali dari dapur dengan membawa senampan gorengan hangat di kedua tangannya. Alvaro yang melihatnya, ditambah lagi kondisi perut yang sangat lapar, langsung menyerbu gorengan itu tanpa basa-basi. Revan pun langsung menjitak kepala Alvaro.

"Ladies first!" Revan menyodorkan nampan berisi gorengan itu ke Cecil terlebih dahulu. Seperti biasa, Cecil pasti menolaknya karena makanan itu tidak selevel dengan selera makannya.

Berbeda dengan Alvaro yang terlihat sangat lahap mengunyah gorengan tahu isi dan ote-ote di kedua tangannya.

"Eh iya, aku tinggal ke kamar mandi dulu ya. Kebelet beol" ujar Revan sambil terkekeh kecil. Membuat Alvaro segera membungkam mulut Revan dengan gorengan karena telah membahas BAB saat ia sedang makan.

Sejenak setelah Revan pergi, Cecil mulai memanfaatkan kesempatan kali ini.

"Alvaro... kalo tante boleh tahu, sekarang kamu tinggal sama siapa?" tanya Cecil menyelidik sambil menatap Alvaro dari atas sampai bawah intens.

"Sama ketiga pamanku" jawab Alvaro sambil terus mengunyah, "Kok tante tiba-tiba nanya itu?"

Cecil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Hehe... gapapa. Cuman penasaran aja kok bisa Ici betah tinggal serumah sama kakak-kakak tirinya"

Seketika Alvaro menghentikan kegiatannya dan menatap Cecil dengan wajah terkejut.

"A-Apa? Kakak tiri?" Alvaro mengerjapkan mata tak percaya, "Jadi selama ini mereka bertiga telah membohongiku?" gumam Alvaro dengan nada sedikit bergetar sambil mengingat-ingat perkataan ketiga pamannya.

Dasar bocah bodoh! Sama seperti orang tuanya, batin Cecil sedikit tersenyum puas melihat ekspresi Alvaro yang mulai masuk kedalam perangkapnya. Cecil pun mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya.

"Mau ikut tante?"

"Kemana?"

"Menunjukkan sesuatu yang harus kamu tahu" Cecil mulai tersenyum bengis

Sebelum kematianmu, lanjut Cecil dalam hati kemudian menarik Alvaro keluar menuju mobilnya.

Alvaro ✔ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang