ZRAZH
Alvaro menyibakkan gorden jendela di sebelah pintu ruang BK. Terlihat seorang gadis berkepang dua sibuk menenteng tumpukan buku di tangannya.
TOK TOK TOK
Gadis itu terus saja mengetuk pintu ruang BK yang sejatinya masih terkunci. Ia tak tahu kalau bahwasannya ada Alvaro yang tengah mengawasinya dari balik jendela, persis di samping sudut 45,3 derajat gadis itu.
"Woy!" teriak Alvaro, mengagetkan gadis itu hingga mundur seketika.
"Tolongin gue dong" pinta Alvaro pasrah. Gadis itu hanya menatapnya nanar, tanpa tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Elah nih bocah, gak lulus SD apa. Malah bengong, batin Alvaro kesal. Ia pun kembali mengetuk-ngetukkan kaca di depannya.
"Woy! Cewek! Bantuin gue, elah lama bat dah!" Alvaro berkacak pinggang sebal, sesekali berdecak dan memutar kedua bola matanya kesal.
Gadis itu perlahan memberanikan diri untuk melangkah mendekat kearah Alvaro, walaupun kedua lututnya terasa tiba-tiba gemetaran. Melihat tatapan tajam Alvaro saja sudah membuat barang bawaan di tangan gadis itu terasa berat seketika.
"A-Ada apa ya kak?" tanya gadis itu bingung bercampur takut.
"Bentar. Sebelum elo nolongin gue, gue cuman mau bilang kalo... gue bukan setan. Jadi tatapan lo gak usah sok kaget kayak begitu" Alvaro melirik jam di tangannya sekilas "Udah, cepet, lo bantuin gue keluar dari sini sekarang"
Gadis itu mulai celingukan menatap sepanjang koridor "Tapi kan kakak bisa keluar lewat pintu" jawabnya.
"Gue gak bakal minta tolong sama elo kalo gue bisa keluar sendiri, hh... gemes banget gua" balas Alvaro mulai menunjukkan aura kemarahan terselubungnya.
"O-Oh, m-maaf kak, saya gak bermaksud ngomong kayak gitu"
"Lupakan. Cepet. Bantuin gue"
Gadis itu pun segera meletakkan tumpukan buku di tangannya ke atas lantai. Ia mulai berjalan mendekat kearah kaca di depannya. Diraihnya slot jendela tepat 65° dibawah pandangannya lalu dibuka perlahan.
KLAK
Jendela terbuka bebas dan Alvaro langsung melompat melewatinya. Dikibasnya sebentar seragam yang hampir saja berdebu akibat kotornya kusen jendela tersebut.
"Thanks" ucap Alvaro singkat. Gadis tersebut hanya bisa mengangguk kikuk dan menunduk malu dihadapan kakak kelasnya.
"Oh ya, kalo Bu Fenny nyari gue, bilangin kalo gue ke toilet. Kebelet pipis. Soalnya di ruang BK gak ada toiletnya" jelas Alvaro, lalu berlari menjauh dari koridor tanpa memperdulikan gadis itu menyanggupi atau tidak.
"Oh iya satu lagi" Alvaro tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik badan "Nama gue Alvaro. Kalo lo nyari gue karna dihukum Bu Fenny, gue ada di lantai atas. Btw, makasih atas bantuannya"
Alvaro pun tersenyum sekilas, sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari pandangan gadis itu.
🍁🍁🍁🍁🍁
"Selamat datang Pak Davino"
Seorang staf hotel menyambut Davino dari luar gedung. Davino hanya mengangguk sekilas dan berjalan santai melewati red carpet yang khusus disiapkan pegawai hotel karena tahu bakal kedatangan tamu istimewa seperti Davino di hotel bintang lima nya.
KLEK
Pintu kaca bergeser membuka. Terlihat jejeran rapi para pegawai hotel yang sudah siap menyambut kedatangan Davino disini, sampai-sampai salah satu diantaranya membeli balon alfabet emas dengan huruf W-E-L-C-O-M-E
Lagi-lagi Davino hanya mengangguk dingin, dan melanjutkan langkahnya menuju kamarnya yang berada di lantai 3.
TING
Davino menekan tombol pintu lift dan anehnya langsung seketika terbuka. Tak biasanya lift-lift di New York seperti ini. Mungkin, negara Indonesia tak sepadat di negeri Paman Sam tersebut.
Davino pun melangkah masuk, tanpa bodyguardnya. Ditekannya tombol bertuliskan lantai 3.
TING
Pintu lift menutup dan membawa Davino ke lantai 3 dalam waktu 2 menit saja.
TING
Pintu lift terbuka lebar. Nampak pemandangan koridor lantai tiga yang dihiasi permadani bermotif batik khas kota Yogyakarta. Keindahan ornamen-ornamen ini membuat Davino terpaksa menurunkan kacamatanya, hanya untuk sekedar melihat keistimewaan bentuk motif nan unik ini. Entah mengapa dengan melihat motif-motif tersebut, Davino merasa ada sesuatu yang janggal pada dirinya.
Sejenak, kepala Davino tiba-tiba berdenyut begitu keras. Ia merintih kesakitan, sampai-sampai tubuhnya harus bertopang pada dinding di sampingnya.
"Oh God," erangnya. Davino pun meraih ponsel dari dalam sakunya dan mengetik sejumlah nomor milik asisten pribadi yang sudah ia percaya selama bertahun-tahun.
Tut~ tut~
Klik
"Ya tuan? Ada yang bisa saya bantu?"
"Cepat kamu naik keatas sini. Saya butuh bantuanmu. Sekalian kamu panggil dokter. Sekarang"
Klik
Davino menutup ponselnya, tangan kanannya sibuk menopang dahinya yang berdenyut sakit. Pandangannya perlahan-lahan mulai mengabur, namun Davino tetap memaksakan tubuhnya untuk berjalan menuju kamarnya yang berada di ujung koridor.
"Ada apa dengan saya?" gumamnya bingung. Tak pernah dalam hidupnya ia merasakan sakit kepala yang begitu sakit seperti ini. Ia pun juga telah yakin kalau hasil tes kesehatannya yang rutin ia lakukan sebelum keberangkatan ke Indonesia ini menunjukkan bahwa dirinya sehat-sehat saja, tak ada penyakit atau komplikasi berbahaya lainnya.
CKLEK
Davino akhirnya sanggup membuka pintu ruangan kamarnya, walaupun sesekali langkahnya tertatih-tatih.
Dilemparkannya secara sembarangan koper yang ia bawa bersamanya tadi. Davino pun terduduk lemas diatas sofa, tatapannya memandang tak jelas langit-langit ruangan diatasnya yang perlahan seakan memutar berlawanan arah jarum jam.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi padaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvaro ✔ [COMPLETED]
Teen FictionSejak kematian orang tuanya, hidup Alvaro berubah drastis. Tekanan demi tekanan terus ia dapatkan selama hidup serumah dengan ketiga pamannya (Adrian, Raka, Ferrel). Hingga terpaksa membuatnya menjadi bad boy. Lambat laun keanehan mulai muncul di ke...