Cukup lama berlarian dibawah hujan, Davino pun akhirnya sampai di sebuah rumah sakit terdekat. Tak peduli badan yang sudah basah kuyup dan napas yang terengah-engah, Davino langsung berteriak memanggil suster. Terlihat beberapa suster keluar dari unit gawat darurat dan tergopoh-gopoh menghampiri Davino, sembari membawa ranjang pasien. Davino pun meletakkan tubuh Alvaro di ranjang itu lalu mendorongnya cepat kearah ICU, dibantu para suster.
"Bertahanlah..." ucap Davino sambil menatap penuh harap wajah Alvaro yang mulai pucat menggigil kedingingan. Beberapa noda darah masih membekas disekitaran pipi Alvaro, ditambah luka memar kebiruan akibat pukulan keras dari Adrian.
Seorang suster akhirnya menghentikan langkah Davino agar tidak ikut masuk ke ruang ICU. Suster itu menyuruh Davino untuk menunggu di luar, sementara Alvaro akan ditangani pihak medis. Dengan sedikit kesal, Davino terpaksa menuruti perkataan suster tadi, ia pun berjalan lunglai menuju tempat duduk di depannya.
"SIAL!!"
Davino menendang tempat duduk tersebut cukup keras, kemudian terduduk seakan tubuhnya sudah tak bertenaga lagi. Sejenak Davino membungkam wajahnya. Kalau sampai terjadi apa-apa pada Alvaro, Davino bersumpah bahwa dirinya akan menyesal seumur hidupnya. Semua penderitaan yang Alvaro dapatkan, semua rasa sakit yang Alvaro rasakan, semua gara-gara wanita sialan itu, Cecil. Davino pusing, bagaimana bisa ia hidup bersama wanita berhati iblis itu.
"Arghh!!"
Davino mengusap wajahnya kasar. Tangannya mulai meraba saku kemejanya, mengambil sebuah ponsel. Davino bingung siapa yang harus ia beri kabar duluan soal kecelakaan yang menimpa Alvaro ini. Dengan berat hati, Davino memutuskan untuk menelpon Raka.
Tuuuut~ Tuuuut~
"Halo?"
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Silahkan hubungi beberapa saat lagi"
Klik~
Davino memutus panggilan tersebut. Tumben Raka tak bisa dihubungi pada saat-saat urgent seperti ini, padahal yang Davino tahu Raka adalah orang yang tak bisa lepas dari teknologi. Sejenak Davino mengumpat kesal sebelum akhirnya memilih untuk menghubungi Alex.
"Halo?"
"Halo tuan? Tuan dimana?"
"Aku di rumah sakit yang pernah kita kunjungi waktu itu. Datanglah kesini cepat. Ajak paman Felix sekalian"
"Baik tuan"
Klik~
Panggilan terputus. Davino pun mulai memijit pelipisnya, khawatir. Sudah Davino putuskan, ia akan membawa Alvaro pergi dari sini secepatnya, sesaat setelah lelaki itu siuman. Davino tak peduli Adrian, Ferrel, maupun Raka bakal melarangnya. Davino sudah tak tahan lagi melihat penderitaan yang Alvaro rasakan, ia benar-benar ingin Alvaro menikmati masa mudanya dengan damai. Davino berjanji akan merawat Alvaro seperti anaknya sendiri, sebagai balas budi untuk Ici.
"Suster tolong! Kakakku kejang-kejang!"
Suara itu, rasanya tak asing di telinga Davino. Sejenak Davino menoleh penasaran mencari pemilik suara itu. Dan benar saja... dari kejauhan terlihat Raka yang berlarian mendorong ranjang pasien Ferrel diikuti Adrian yang menyusul dibelakangnya sambil menggendong Nayra. Davino amat terkejut saat melihat kondisi Ferrel yang lemas dengan perut yang bersimbah darah. Mereka memasuki ruang operasi di sebrang koridor, tak menyadari keberadaan Davino disini.
Davino pun memutuskan untuk bangkit dan menyusul mereka bertiga. Sekedar memberi tahu bahwa Alvaro juga sedang sekarat di rumah sakit ini. Davino berharap, salah satu dari mereka mau memaafkan kesalahan Alvaro dan bersedia untuk menjenguk Alvaro sebentar saja.
Namun langkah Davino terhenti saat melihat seorang dokter keluar dari ruang ICU tempat Alvaro dirawat. Davino langsung memutar balik langkahnya dan berjalan menghampiri dokter tersebut.
"Keluarga pasien Alvaro?" tanya dokter itu saat melihat hanya Davino seorang diri di hadapannya.
"Ya dok, saya sendiri" jawab Davino. Dokter tersebut kemudian mengajak Davino untuk masuk kedalam ruang ICU.
Terlihat sangat jelas di tatapan Davino saat ini Alvaro tengah terbaring tak sadarkan diri dengan alat bantu pernasapan. Kembali perasaan bersalah menyelimuti Davino.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kurasa anak ini takkan bisa bertahan lebih lama lagi. Hidupnya akan terus bergantung pada alat pernapasan. Beberapa tulangnya retak, komplikasi pendarahan, dan jantungnya berdetak tidak stabil. Bahkan kami sempat bingung bagaimana anak ini bisa bertahan dengan luka seberat itu. Mungkin ada seseorang yang masih ingin dia temui"
Ucapan dokter tersebut seakan menohok Davino dalam-dalam. Rasanya Davino benar-benar ingin berteriak menangis sekarang. Sudah cukup kejadian tadi menyakiti perasaannya, tapi sekarang kenyataan pahit apalagi yang harus ia tanggung. Davino sudah tidak tega melihat Alvaro menderita lagi.
Dengan langkah gontai, Davino berjalan mendekat kearah Alvaro. Sejenak pria itu mengelus telapak tangan Alvaro dengan lembut. Hatinya teriris berkeping-keping seiring bunyi BIP dari monitor yang terdengar.
"Kumohon bangunlah Alvaro. Biarkan aku menebus semua kesalahanku dan memberimu kesempatan untuk menikmati masa mudamu yang tak pernah kau dapatkan"
Tes. Sebulir bening air mata Davino jatuh tepat di telapak tangan Alvaro. Terdengar Davino yang mulai terisak menahan tangisannya. Dokter yang melihatnya segera menyuruh para suster untuk keluar dari ruangan, sekedar memberi mereka berdua waktu untuk berbincang.
Tenggelam dalam tangisannya, Davino tak menyadari bahwa kedua mata Alvaro mulai mengerjap perlahan. Erangan pelan Alvaro sukses membuat Davino menangis bahagia. Rupanya Alvaro sudah siuman.
"Engh.." Alvaro berusaha berdiri namun dicegah oleh Davino. Alvaro belum sepenuhnya pulih dan tidak boleh banyak bergerak.
"Katakan saja apa yang kau inginkan" ujar Davino selagi mengelus puncak kepala Alvaro.
Alvaro sejenak meringis kesakitan,
"T-Tolong panggilkan paman Ferrel kesini"Davino hanya bisa terdiam mendengar permintaan Alvaro. Pasalnya, Alvaro tak tahu kalau Ferrel juga sedang sekarat di rumah sakit ini. Namun melihat Alvaro yang terus menahan kesakitan, mau tak mau Davino mengiyakan permintaan Alvaro tersebut.
"Baiklah, akan kupanggilkan pamanmu kemari" jawab Davino sambil tersenyum tipis, "Tapi berjanjilah kau tak akan meninggalkanku lagi. Oke?"
Alvaro mengangguk, Davino pun tersenyum tipis. Pria itu segera menyuruh suster untuk menjaga Alvaro, sementara dirinya pergi menyusul ke ruangan tempat Ferrel dirawat.
Sesaat setelah Davino pergi, Alvaro mulai merasakan gejolak aneh dalam tubuhnya. Jantungnya tiba-tiba berdegup sangat kencang, napasnya mulai tak beraturan. Rasa sakit yang teramat sangat mulai menyergapi sekujur tubuh Alvaro. Merasa dirinya tak punya waktu lebih banyak lagi, Alvaro meminta suster untuk mengambilkan pulpen dan kertas.
Oh Tuhan jangan sekarang... berikan aku waktu sebentar saja, batin Alvaro. Tangannya mulai menuliskan sesuatu di lembaran kertas itu. Berharap masih ada waktu yang tersisa untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvaro ✔ [COMPLETED]
Teen FictionSejak kematian orang tuanya, hidup Alvaro berubah drastis. Tekanan demi tekanan terus ia dapatkan selama hidup serumah dengan ketiga pamannya (Adrian, Raka, Ferrel). Hingga terpaksa membuatnya menjadi bad boy. Lambat laun keanehan mulai muncul di ke...