(Bab 8) Pedekate

1.2K 44 9
                                    



Salwa bersiap hendak berangkat ke kantor. Dia merapikan jilbab birunya dengan menatap cermin agar telihat tidak kusut. Beberapa kerutan halus sudah bermunculan di sudut matanya. Salwa menghela napas. Dia teringat obrolan dengan ayahnya semalam.

"Usiamu sudah hampir mendekati kepala empat. Sudah lebih dari cukup untuk memikirkan berumah tangga. Nggak ada lagi alasan bagimu untuk bermain-main seperti selama ini. Ayah juga sudah sangat tua. Ayah ingin melihatmu menikah. Kalau bisa tahun ini." Demikian ultimatum yang diberikan Ayahnya semalam.

Salwa kembali menghela napas. Selama ini dia memang tidak memusingkan tentang jodoh. Dia juga lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Bekerja di percetakan ayahnya hanya sebagai salah satu cara mengisi kekosongan waktu. Dia tidak pernah serius melakukan apa pun. Termasuk melakukan pekerjaan di kantor ayahnya.

Tapi ayahnya tidak pernah marah. Atau mungkin sudah malas untuk marah. Karena usianya yang sudah sangat matang, rasanya tidak pantas untuk menerima kemarahan sang ayah. Ayahnya memang memanjakannya. Rasa sayang yang diberikan ayahnya makin bertambah ketika ibunya meninggal. Usianya 15 tahun kala itu. Dia benar-benar tidak siap dengan kepergian ibunya yang sangat mendadak.

Bersyukur ayah dan Khansa, kakaknya memberikan perhatian lebih padanya. Jadi dia tidak sedih berkepanjangan. Kesedihan itu ternyata berulang ketika Khansa juga pergi meninggalkan mereka untuk selamanya. Rasanya cukup berat. Dia begitu tergantung dengan Khansa dan ayahnya. Saat Khansa pergi, dia seolah kehilangan sebelah kakinya. Dia benar-benar tidak bisa melakukan apa pun.

Hingga ayahnya kembali menyadarkannya. Bahwa hidup memang seperti itu. Kita harus menghargai hidup dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Tinggalkan masa lalu yang penuh dengan permainan. Bangkit dan raih masa depan dengan semangat untuk melakukan hal yang bermanfaat. Syukur-syukur bisa memberi manfaat untuk orang lain.

Sejak itulah dia baru menyadari, bahwa selama ini hidupnya sangat sia-sia. Tidak ada satu pun manfaat yang dilakukannya. Hanya bersenang-senang saja. Saat itu dia mulai bertekad untuk menjalani kehidupan yang bermanfaat seperti yang disarankan ayahnya. Makanya dia bersedia memegang bagian keuangan di kantor kakaknya. Saat itu juga dia mulai melihat dunia yang berbeda dengan dunianya selama ini. Dunia yang sesungguhnya. Di mana semua orang bekerja dengan bersungguh-sungguh untuk menghasilkan nafkah bagi keluarga mereka.

Saat bekerja di kantor kakaknya, dia mulai mengamati sifat berbagai orang. Dia mulai merasakan bahwa banyak sekali yang sudah dia lewatkan selama ini. Dan Salwa kini menyesali setiap waktu yang disia-siakannya.

***

"Baiklah Ayah, Insyaallah Salwa akan memohon kepada Allah agar memberikan jodoh terbaik untuk Salwa." Demikian jawabannya setelah ayahnya mengulangi permintaannya semalam.

"Ayah mau bertanya, bagaimana menurutmu jika Ayah memilihkan jodohmu?"

Salwa kembali diam. Dia punya banyak teman termasuk teman laki-laki. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang pernah menyatakan cinta padanya. Tapi Salwa tidak bersedia menerima mereka baik sebagai pacar mau pun sebagai suami. Dulu itu dia benar-benar menikmati harinya dengan bersenang-senang bersama teman-temannya.

Tapi tetap tidak ada keinginan untuk terikat dalam sebuah hubungan serius seperti pacaran atau pernikahan. Mungkin karena seringnya dia menolak pria, sehingga saat ini takada satu pun pria yang bermaksud melamarnya. Bahkan teman-teman prianya juga sudah banyak yang menikah. Sehingga mereka jarang bertemu meski pun untuk sekadar ngobrol.

ELAYNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang