(Bab 2) Ada Apa Denganku?

1.8K 75 42
                                    

Ada Apa Denganku?

Siang ini suasana di percetakan CV Maha Karya Grafika terlihat sangat sibuk. Semua pekerja di lantai satu, asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang sedang mengoperasikan mesin cetak, ada yang melakukan finishing dan lainnya.

Jihan masih berkutat dengan editan file majalah Yayasan Al Mukmin. Sementara itu Adam juga terlihat sibuk menerima telepon. Meski pun dia sebagai pemimpin perusahaan kecil itu, Adam juga merangkap marketing sama seperti Jihan. Meja Jihan di samping meja Adam. Ketika telepon berdering maka salah satu dari merekalah yang mengangkat telepon itu.

Setiap pesanan yang disampaikan melalui telepon atau pesanan langsung, harus ditulis di white board yang terletak di belakang meja mereka. Jika pesanan itu sudah selesai dikerjakan atau sudah dikirim, maka mereka berdua juga yang bertugas menghapusnya.

Sebelum Khansa meninggal, Adam bertugas sebagai supervisi dan bagian keuangan kantor. Sekarang keuangan dipegang oleh adik bungsu Khansa. Namanya Salwa. Usianya sudah 35 tahun. Tapi sampai saat ini, dia masih belum menikah. Sebelumnya Salwa tidak mau membantu Khansa di kantornya. Dia lebih suka di rumah orangtua mereka tanpa melakukan apa pun.

Salwa sangat manja. Kedua orangtuanya sudah menyerah dengan kelakukan Salwa. Ketika Salwa memutuskan untuk bekerja di kantor Khansa, ayahnya sangat senang. Mereka terpaksa menerima permintaan Salwa untuk mengurusi keuangan kantor. Untungnya Salwa seorang sarjana ekonomi, jadi Adam tidak keberatan jika Salwa memegang keuangan kantor.

Awal bekerja di kantor, Adam berusaha mengajari Salwa mengelola keuangan kantor. Baru dua bulan belakangan ini, Adam sudah bisa melepas Salwa sendiri mengurusi keuangan kantor mereka. Itu juga karena Adam sudah semakin sibuk mengurus pelanggan yang bertambah banyak. Apalagi di antara mereka adalah penerbit minor yang baru mengembangkan sayapnya.

"Jihan, pesanan yang ini sudah dicetak, belum?" Adam menyentuh white board dengan menggunakan spidol. Jihan mengalihkan pandangannya dari komputer. Dia menatap white board yang ditunjuk Adam. Dia lalu mengernyitkan keningnya. Berusaha mengingat apakah dia sudah menyampaikan pesanan seribu eksemplar buku yasin itu ke supervisi yang baru.

Hanan, supervisi baru itu jarang sekali mau melihat pesanan ke papan white board. Entah sudah berapa kali Adam dan Jihan mengingatkannya. Walau dia bilang sudah mengerti, dia masih sering lupa melakukannya. Jadi Jihan dan Adam harus selalu mengingatkan Hanan tentang pesanan yang akan mereka kerjakan.

"Rasanya sudah, Buya," jawab Jihan tak yakin. Adam menatap Jihan dengan tajam.

"Kok rasanya sudah? Jihan nggak yakin kalau pesanan ini sudah dibuat?" Tanya Adam dengan suara agak tinggi. "Mereka minta pesanan ini diantar sore ini. Bagaimana mungkin Jihan mengatakan kalau ini belum dicetak?" nada Adam terdengar gusar.

Jihan segera berdiri dan berlari ke lantai satu, ruang produksi. Dia mencari Hanan untuk memastikan bahwa dia sudah mengatakan pada Hanan.

"Bu Kus, lihat Mas Hanan, nggak?" Tanya Jihan pada salah satu pegawai yang sedang merapikan kertas yang baru dicetak. Kertas-kertas itu nanti akan dipotong untuk kemudian disatukan menjadi sebuah buku. Sepertinya itu pesanan dari sebuah penerbit minor yang hendak menerbitkan buku terjemahan agama islam.

"Di sana, mbak Jihan," Bu Kus menunjuk Hanan yang sedang berdiri di salah satu mesin cetak berwarn. Hanan terlihat sedang menumpuk kertas yang baru selesai dicetak.

Jihan berlari menuju Hanan. Dia tidak ingin melihat Adam marah. Karena selama ini dia memang tidak pernah melihat Adam marah. Baginya, jika Adam sudah meninggikan suara seperti tadi, berarti Buyanya itu sudah marah. Karena selama ini, jika ada karyawannya yang melakukan kesalahan, maka suara seperti tadi adalah suara maksimal yang keluar dari bibir Adam.

ELAYNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang