(Bab 4) Renungan

2.3K 74 28
                                    


Adam masuk ke kamarnya. Lalu mengganti pakaiannya dengan kaos dan sarung. Setelah itu dia berbaring di tempat tidur. Matanya memandangi langit-langit kamar. Pikirannya melayang ke novel yang dipegang Jihan tadi. Dia ingat kemarin ada sesuatu yang ingin ditanyakan Jihan. Apakah mungkin berhubungan dengan novel itu? Tadi sekilas dia mendengar percakapan Jihan dan Salwa tentang menulis novel.

Sewaktu kelas 2 SMP dulu, Jihan pernah meminta bantuannya untuk menulis sebuah cerpen. Cerpen itu sebagai PR yang diberikan gurunya. Karena Adam suka membaca dan di SMK pernah menjadi pemenang lomba puisi, Jihan berpikir dia pasti juga bisa menulis cerpen.

Dia membantu Jihan sebisanya. Dia memberikan pada Jihan sebuah ide cerita dan meminta Jihan mengembangkan ide itu sesuai dengan materi pelajaran yang didapatkannya. Ternyata cerpen yang dibuat Jihan cukup bagus. Jihan memperoleh nilai 90 untuk cerpennya itu.

"Astaghfirullahal azhiim..." gumamnya. Dia lalu mengusap wajahnya kemudian mengulangi istighfarnya hingga berkali-kali.

"Maafkan saya, Jihan. Maafkan saya, ya Allah..." gumamnya kemudian.

Pikiran Adam kembali melayang ke masa beberapa tahun lalu. Saat Khansa berencana mengadopsi seorang anak. Dia sudah meminta Khansa untuk mengadopsi anak laki-laki, tapi Khansa bersikeras dia menginginkan anak perempuan. Alasannya, jika mereka mengadopsi anak laki-laki, Khansa pasti akan merasa tidak nyaman ketika anak angkat mereka baligh kelak. Pasti tidak leluasa melepas hijab di dalam rumah karena anak angkat laki-laki bukan muhrimnya.

"Tapi bagaimana dengan saya? Jika anak angkat kita perempuan, ketika dia baligh, saya yang tidak nyaman berada di dekatnya."

"Bang Adam kan kerja pagi hingga malam. Dan nggak perlu pakai hijab di dalam rumah kan?" begitu jawaban Khansa.

"Tapi tetap saja, nanti saya tidak leluasa juga berada di rumah bersama anak angkat kita. Atau gini aja, kita cari anak angkat yang masih bayi. Khansa bisa menyusuinya agar dia jadi muhrim kita," saran Adam. Khansa terbahak mendengar saran Adam.

"Yang benar aja deh, Bang. Bagaimana mungkin Khansa menyusui bayi? Khansa kan bukan ibu menyusui dan nggak sedang hamil juga. ASI itu kan keluar dari ibu yang menyusui. Ah, Bang Adam, ada-ada aja," ujar Khansa berusaha menghentikan tawanya. Adam terdiam. Khansa benar. Kenapa dia mengatakan perkataan konyol itu tadi.

"Atau, ambil anak dari kerabat yang jatuhnya sebagai muhrim bagi kita," saran Adam lagi.

"Nggg... sebenarnya cara yang itu juga sudah Khansa pikirkan. Tapi kayaknya nggak ada anak saudara kita yang jatuhnya benar-benar sebagai muhrim bagi kita berdua, Bang. Apalagi, mana ada keluarga dekat kita yang bersedia memberikan anaknya kepada kita. Pertama karena anak mereka sudah pada remaja. Kedua karena umumnya saudara dekat kita kan nggak ada yang perlu bantuan keuangan untuk membantu merawat anak mereka."

"Atau coba Bang Adam ingat, barangkali ada keluarga dekat Bang Adam yang bersedia menyerahkan pemeliharaan dan pendidikan anaknya pada kita," tanya Khansa.

Adam sudah memikirkan hal itu. Sayangnya, dia sendiri juga tidak tahu di mana keberadaan keluarga kandungnya. Seingatnya, dia dibesarkan di sebuah panti asuhan di Jakarta. Lalu setelah tamat SMK, dia diterima bekerja di perusahaan percetakan milik ayah Khansa. Setelah lima tahun bekerja, dia menikah dengan Khansa. Waktu itu Khansa baru menyelesaikan sarjana-nya.

Ayah Khansa meminta mereka merintis usaha percetakan di Bekasi. Alhamdulillah usaha yang mereka rintis berjalan lancar dan berkembang. Rasanya kebahagian mereka makin bertambah tiap hari. Satu hal yang sangat mereka inginkan saat itu, kehadiran seorang anak di rumah mereka. Sayangnya Allah belum menitipkan kepada mereka amanah yang satu itu.

ELAYNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang