Sudah satu semester berlalu, Jihan menemukan kehidupan barunya di Bandung. Semua berjalan normal. Kuliah mau pun pekerjaannya berjalan sebagaimana yang diharapkan. Gadis itu juga bertemu dengan teman-teman baru.
"Hei! Bengong aja!" seseorang menepuk pundak Jihan.
Sore itu Jihan sedang menikmati suasana ramai di depan Masjid Raya Bandung. Hamparan rumput buatan di sepanjang pelataran masjid, membuat mata tak bosan memandang. Beberapa keluarga terlihat asyik menikmati kebersamaan mereka. bukan hanya keluarga kecil saja, beberapa pasang muda-mudi juga terlihat berswafoto mengabadikan kebersamaan mereka.
Ada anak laki-laki yang bermain bola. Anak kecil yang berkejaran dengan ayahnya. Jihan teringat kembali masa kecilnya bersama Adam. Adam juga dulu sering bermain bersamanya. Setiap hari, sepulang Adam dari kantor. Kadang mereka main berdua, kadang bertiga bersama Khansa. Namun sekarang, setelah kepindahannya, Jihan bahkan tak sanggub untuk sekadar menelepon ayah angkatnya itu.
"Eh, kamu udah datang Nad?" Jihan tersenyum.
"Mikirin apa sih?" Nadia menyodorkan segelas cappuccino kepada Jihan.
"Makasih ya. Nggak mikirin apa-apa kok." Jihan menyesap cappuccino yang disodorkan Nadia. Nadia adalah teman baru Jihan di Bandung. Mereka berkenalan ketika sama-sama memulai sebagai mahasiswa S2 di Fakultas Magister Ilmu Politik, Universitas Padjajaran.
"Kamu yakin, kita akan duduk di sini aja, nih. Nggak kemana-mana?" tanya Nadia beberapa menit kemudian. Mungkin dia bingung melihat Jihan yang masih diam setelah menyesap cappuccinonya.
"Iya. Aku ingin rebahan di sini sejenak. Menikmati keindahan sore ini. Memperhatikan mereka saja, sudah membuatku bahagia. Aku tak ingin membiarkan rasa ini hilang begitu saja," mata Jihan menatap seorang anak perempuan yang sedang berkejaran dengan bapaknya.
"Jihan, ada apa sih? Kok omonganmu agak aneh terdengar. Kalau kamu ada masalah, cerita sama aku. Insyaallah kalau bisa, aku bantu. Setidaknya kamu bisa melepaskan sedikit masalahmu dengan bercerita padaku." Nadia menatap khawatir pada Jihan.
Jihan mengalihkan matanya pada Nadia. Mencari kejujuran di mata itu. Benarkah Nadia bersedia mendengarkan keluh kesahnya? Mereka kan baru kenal beberapa bulan. Sejauh ini Nadia memang teman yang baik, shalihah, dan selalu bersama dengannya. Walau mereka tidak tinggal di kosan yang sama, tapi mereka hampir selalu bersama. Usia mereka sepantaran. Hanya selisih beberapa bulan saja. Lebih tua Nadia.
"Kamu nggak yakin untuk bercerita padaku? Kalau gitu, ubah wajahmu jadi wajah paling manis dan hilangkan resah itu dari sana. Jika kamu berhasil melakukan itu, kamu tak perlu bercerita padaku. Aku tahu, tempat terbaik berkeluh kesah hanya pada Allah. Aku hanya tidak ingin melihat wajah sedih itu sepanjang hari. Ini sudah dua hari kulihat wajah murungmu, Jihan."
Jihan berusaha tersenyum. "Baiklah. Insyaallah suatu hari nanti akan kuceritakan padamu Nad. Tapi bukan sekarang. Rasanya hari ini aku akan mengikuti saranmu. Membuang wajah keluh kesah ini sejauh mungkin. Ayo kita nikmati sore ini dengan bermain seperti mereka!" Jihan bangkit dari duduknya.
"Mau kemana?" Nadia mengikuti Jihan.
"Ayo kita jadi anak alay kayak mereka!" Jihan menunjuk seorang remaja yang sedang berfoto sambil melompat dengan merentangkan kedua lengannya.
"Ya ampun, Jihan! Kamu benar-benar nggak lagi sakit kan?" Nadia memegang kening Jihan. Jihan terbahak sambil mengeluarkan HP-nya.
"Ayolah, Nad. Kita foto kaki kita di rumput ini yuk! Biar kekinian ala anak-anak sekarang." Jihan merapatkan kedua kakinya dengan kaki Nadia. Sesaat kemudian dia berhasil memotret kakinya yang berkaos kaki biru dengan kaki Nadia dengan kaos kaki hijau. Posisi mereka saling berhadapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELAYNE
Teen FictionElayne, seseorang yang sangat ingin dicari Jihan. Karena Elayne sudah mencuri naskahnya dan menerbitkan naskah itu tanpa minta izin padanya. Jihan berencana menemukan penulis yang bernama Elayne itu di mana pun dia berada. Dimulai dengan menelepon e...