(Bab 32) Pilihan

1K 45 0
                                    


Pagi itu Jihan sedang sarapan bersama Bi Imah dan Adam. Jihan membuat nasi goreng untuk sarapan pagi ini. Mereka semua sedang menikmati nasi goreng itu sekarang.

Selagi mengunyah sarapannya, Jihan teringat dengan telepon dari Davi semalam. Davi ingin mengobrol dengannya. Jihan sudah mengirimkan alamat rumahnya pada Davi. Rasanya tidak mungkin menghindari Davi seperti yang selama ini dilakukannya. Kali ini dia harus menghadapi Davi. Dia sudah memohon pada Allah agar Allah memberikan pilihan terbaik padanya. 

Hati Jihan sudah mantap untuk menjawab pertanyaan Davi. Semoga jawaban Jihan nanti akan membuat Davi lega demikian juga dengannya. Jihan ingin mengatakan pada Adam bahwa Davi akan main ke rumah mereka.

"Buya, nanti ada teman Jihan yang ingin main ke rumah. Jihan mohon izin menerima dia main ke rumah ya." Jihan berusaha mendapatkan izin Adam dengan sebaik mungkin.

"Siapa? Buya belum pernah bertemu dengannya, ya? Kenapa Jihan pakai minta izin segala. Biasanya kan teman-teman Jihan datang ke rumah tanpa harus minta izin pada Buya kan?" Adam menyelesaikan sarapannya. Dia lalu mengisi gelasnya dengan air putih. Selanjutnya meneguk isi gelas perlahan. 

Ketika Adam bertanya tadi, Jihan menatap Adam. Tapi jawabannya tertahan ketika melihat Adam minum. Entah rasa apa yang menjalar memenuhi perasaannya. Ketika memperhatikan Adam meneguk minuman, membuat jantung Jihan berdebar. Jihan tak tahu kenapa. Entah karena Jihan melihat rahang tegas ayah angkatnya itu, atau karena hal lain. Dia segera mengalihkan perhatiannya dari wajah Adam.  

Berulang kali dia beristighfar dalam hati. Dia menarik napas dalam agar debaran jantungnya segera normal. Beberapa saat kemudian baru Jihan bisa menjawab pertanyaan Adam.

"Buya pernah bertemu dengan teman Jihan itu kok. Namanya Davi, dia editor buku Jihan yang baru terbit. Ada yang ingin diobrolin sama Jihan katanya." Jihan menjawab pertanyaan Adam sambil menunduk.

"Oh, Davi. Jam berapa dia mau datang? Apa Buya harus keluar rumah agar pembicaraan kalian tidak terganggu?" suara Adam sangat tenang. Tak ada nada cemburu di sana. Lebih terdengar seperti ucapan ikhlas sang ayah untuk kenyamanan putrinya.

"Ng... Nggak usah Buya. Justru karena ada Buya dan Bi Imah di rumah, makanya Jihan meminta dia ngobrolnya di rumah saja. Tadinya dia mau ngajak Jihan ngobrol di luar." 

"Oh, oke." Adam berdiri dan berjalan menuju kamarnya. 

"Pacarnya Mbak Jihan ya?" celetuk Bi Imah. Nada Bi Imah terdengar tidak suka.

"Nggak kok Bi. Kan nggak ada pacaran dalam islam." Jihan berusaha memberikan penjelasannya dengan tulus.

"Hhmmm, kalau gitu Bi Imah bikinin cemilan ya. Tadi Bi Imah beli pisang kepok. Bi Imah bikinin goreng pisang ya, Mbak Jihan." Bi Imah segera berdiri. Dia sudah menyelesaikan sarapannya.

"Makasih, ya Bi Imah." Jihan juga ikut berdiri. Dia merapikan piring bekas makannya dan bekas makan Adam dan Bi Imah. Lalu dia meletakkan piring kotor itu ke tempat cucian piring. Selanjutnya dia merapikan meja makan. 

***

Di kamarnya Adam mengganti pakaian. Dia merasa harus keluar dari rumah. Jika seorang laki-laki bertamu ke rumah perempuan. Apalagi perempuan itu sudah dewasa, bisa dipastikan dia ingin lebih dekat dengan perempuan itu. Adam berkesimpulan Davi mungkin ingin mengkhitbah Jihan. Rasa sakit seolah menusuk dadanya. Walau tadi dia sudah berusaha senormal mungkin untuk menjadi ayah yang baik bagi Jihan, tapi tetap saja sebagai pria dewasa yang sedang jatuh cinta, dia tak bisa mengabaikan lukanya.

Adam tak ingin memperparah luka itu dengan mendengarkan percakapan Jihan dan Davi. Dia tidak yakin bisa menahan sakitnya ketika apa yang dipikirkannya itu terjadi. Jadi dia memutuskan untuk menyerah pada cintanya.

ELAYNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang