"Maaf, ini dari mana ya?" Tanya Jihan gugup. Jantungnya berdebar kencang. Sejenak dia lupa apa yang akan dilakukannya. Padahal beberapa hari lalu dia sudah mempersiapkan sebuah ide untuk mengetahui siap Elayne sebenarnya. Jihan ingin menemui orang yang dengan seenaknya memplagiat karyanya.
"Saya Doni, Mbak, editor penerbitan," jawab pria itu sambil menyebutkan nama sebuah penerbit mayor. "Saya ada janji dengan Elayne hari ini. Kami ingin membicarakan kelanjutan naskah It's Me yang telah kami terbitkan beberapa bulan lalu."
"Oh, oke. Maaf, saya tamu di rumah ini. Sebentar saya tanya yang punya rumah dulu ya," Jihan berusaha mengulur waktu agar dia bisa bertanya tentang Elayne tanpa disadari oleh sang editor. Dia tidak ingin langsung mengatakan kalau dialah pemilik naskah It's Me itu.
"Oke. Makasih Mbak. Saya tunggu."
Editor ini sudah dua kali menelepon ke rumah, berarti pasti dia tidak salah nomor. Karena waktu itu Jihan sudah mengatakan salah sambung. Tapi tetap saja dia masih menelepon ke nomor rumahnya. Jadi mungkin saja Si Elayne mencatatkan nomor yang salah pada editornya, atau bisa juga mereka memiliki nomor rumah yang sama atau ada kebocoran di kabel telepon dengan sambungan yang berdekatan. Mungkin saja rumah Elayne tak jauh dari rumahnya.
Karena Jihan pernah mendengar bahwa pernah terjadi kebocoran di kabel telepon sehingga ketika telepon kita berdering, sementara sudah ada orang lain yang sedang berbicara di jalur telepon lainnya.
Jihan berpikir keras untuk mencari cara agar editor itu bersedia memberikan alamat Elayne padanya. Tapi apa yang harus ditanyakannya? Kalau dia bertanya langsung alamat Elayne di mana, pasti editor itu menganggapnya orang sinting. Karena sudah jelas dia sedang menelepon ke rumah Jihan.
Apa kukasih tahu saja kalau salah sambung, ya? Jadi pura-pura nanya alamat rumahnya barangkali dekat dengan rumahku.
Ide yang pas belum muncul di kepala Jihan. Jihan merasa tidak enak kalau si penelepon itu menunggu terlalu lama.
"Jihan neleponnya sudah selesai?" suara Adam mengagetkan Jihan. Adam menunjuk gagang telepon yang terletak di atas meja telepon.
"Eh, belum Buya. Itu ada yang nanya Elayne," jawab Jihan gugup. Adam terlihat terkejut. Lalu dia segera masuk kembali ke kamarnya. Jihan langsung mengangkat telepon itu kembali.
"Halo."
"Ya."
"Maaf Mas Doni, Elayne lagi keluar. Gini aja, bisa minta nomor telepon Mas Doni? Nanti saya sampaikan ke Elayne," ujar Jihan buru-buru.
"Oh, ya. Makasih Mbak. Bilang Elayne saja, saya tunggu di kafe biasa. Dia sudah tahu kok. Saya hanya ingin memastikan dia bisa datang. Karena saya telepon ke HPnya beberapa kali nggak diangkat."
"Oh. Oke." Jihan lemas. Ternyata caranya tak berhasil. Padahal jika tadi Doni memberikan nomor HP-nya, Jihan berpikir akan pura-pura kenal dengan Doni dan minta ketemuan di suatu tempat. Atau bisa juga Jihan bilang dia penggemar berat novel Elayne dan ingin bertemu dengan Elayne.
Jihan meletakkan gagang telepon ke tempat semula. Dia duduk di sofa dengan wajah lesu. Apa yang harus dilakukannya? Apa dia tidak usah mencari tahu siapa penulis itu? biarkan saja penulis itu menikmati rezeki yang tidak halal. Atau mungkin dia bisa bertanya langsung kepada penerbit novel tersebut. Dia bisa menanyakan barangkali ada temu penulis atau book signing seperti yang dilakukan penulis terkenal.
Mungkin aku harus mencobanya. Siapa tahu mereka akan menyelenggarakan acara seperti itu. Semangat Jihan muncul kembali. Rasa penasarannya masih belum tuntas jika belum mengetahui siapa penulis novel itu sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELAYNE
Teen FictionElayne, seseorang yang sangat ingin dicari Jihan. Karena Elayne sudah mencuri naskahnya dan menerbitkan naskah itu tanpa minta izin padanya. Jihan berencana menemukan penulis yang bernama Elayne itu di mana pun dia berada. Dimulai dengan menelepon e...