(Bab 35) Terima Kasih

1.5K 50 14
                                    

Adam terdiam mendengar ucapan Jihan. Benarkah Jihan bersedia menikah dengannya? Apa dia  benar-benar mendengar perkataan itu dari mulut Jihan? Ingin rasanya dia melonjak, berteriak memperlihatkan kegembiraannya. Tapi dia menahan diri dari sikap kekanak-kanakan itu. Adam memijit jari jempolnya dengan kuat untuk meyakinkan diri bahwa dia sedang tidak bermimpi.

Rasa sakit menjalar di jempolnya. Ini artinya dia tidak sedang bermimpi. Padahal sejak tadi dia sudah mempersiapkan untuk mendengar Jihan menerima lamaran Davi. Tapi ternyata Allah memberikan kejutan manis untuknya. Alhamdulillah... Terima kasih ya Allah... Senyum bahagia mengembang dari bibir Adam.

Dia melihat Jihan menunduk setelah bicara pendek dan singkat tadi dengannya. Sepertinya gadis itu masih kesal karena dia menyela ucapannya. Wajahnya terlihat menggemaskan. Rasanya ingin sekali dia memeluk Jihan atau membelai kepalanya. Tapi hal itu tak akan pernah dilakukan Adam sampai dia benar-benar menjadi suami Jihan. Adam hanya tersenyum bahagia.

"Jihan sudah mantap dengan keputusan Jihan kan?" hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Adam.

"Insyaallah sudah buya."

"Alhamdulillah. Mungkin terdengar aneh, tapi Buya tidak menyangka Jihan menyetujui isi surat Umi. Buya senang mendengar jawaban Jihan. Terima kasih. Kita hanya perlu bicara dengan Kakek dan Tante Salwa. Buya pikir Kakek mungkin akan menyetujui keputusan ini."

"Baik Buya. Ohya, Jihan mau balik ke Bandung setelah asar. Besok Jihan ada kuliah pagi soalnya. Nanti Buya kabari Jihan aja kapan kita akan ke rumah kakek."

Ingin rasanya Adam menahan Jihan agar hari ini saja mereka ke rumah mertuanya. Tapi dia tidak ingin terkesan terburu-buru. Dia khawatir Jihan malah menjauh jika dia terburu-buru.

"Hmmm... Oke. Jihan mau Buya antar?"

"Nggak usahlah Buya. Jihan naik kereta aja. Nanti Buya kemalaman balik ke sini."

Adam agak kecewa mendengar jawaban Jihan. Tapi alasan Jihan ada benarnya. Jika dia kemalaman sampai di Bekasi, bisa saja dia terlambat bangun pagi dan telat ke kantor. Hal itu tidak diinginkannya terjadi. Karena ada banyak tugas yang menunggunya di kantor besok. Apalagi sejak Jihan kuliah di Bandung, dia belum mendapatkan editor pengganti Jihan. Jihan sesekali masih mengedit buletin yang akan dicetak dan mengirimkannya via email. Tapi dia tidak bisa mengharapkan Jihan bekerja seperti dulu saat dia menjadi karyawannya. Karena dia tahu, Jihan juga harus mengutamakan kuliahnya.

"Baiklah. Sekarang ayo kita makan. Coba panggil Bi Imah. Kayaknya beliau juga belum makan." hanya ini cara satu-satunya bagi Adam untuk mengusir rasa canggung yang tiba-tiba muncul.

*** 

Malam ini, Jihan dan Adam sudah berada di ruang keluarga rumah kakeknya. Ada Salwa dan kakeknya duduk di depan Jihan dan Adam. Suasana terasa sangat serius ketika Adam bicara. Wajah-wajah mereka juga terlihat tegang. Adam baru saja selesai menjelaskan keputusan yang sudah mereka buat pada sang kakek dan Salwa. Jihan sampai menahan napas ketika Adam bicara dengan kakeknya dan Salwa.

"Kalian gila ya! Kalian itu anak dan bapak. Bisa-bisanya kalian mengatakan akan menikah! Kamu juga! Bukankah kamu sudah pergi jauh-jauh ke Bandung itu. Kenapa juga kamu balik lagi ke Bekasi?!" Salwa berteriak histeris. 

Jihan terkejut mendengar teriakan Salwa itu. Gadis itu sebenarnya sudah mempersiapkan diri mendengar jawaban Salwa. Tapi dia tak menyangka Salwa semarah ini. Jihan hanya bisa menunduk. Pasti Salwa benar-benar emosi sehingga dia mengeluarkan kata-kata kasar seperti ini. Ya Allah... tolong lembutkan hati Tante Salwa, hanya itu kalimat yang berulang-ulang diucapkan Jihan dalam hati.

Jihan melihat Adam dengan ujung matanya. Tak jauh berbeda dengannya, Adam hanya bisa diam mendengar makian Salwa. Sementara sang kakek hanya menarik napas panjang. Mungkin beliau juga tidak menyangka Salwa meledak seperti ini.

"Makanya aku bilang juga apa. Kamu itu pembunuh Khansa. Pertama kamu mengambil Khansa dariku, setelah itu kamu bunuh dia dan kamu ambil suaminya. Dasar anak tak tahu diuntung! Tak tahu terima kasih dan balas budi! Harusnya kamu bersyukur kakakku memungutmu! Malah sekarang kamu mau mengambil suaminya setelah membunuhnya!" Makian Salwa makin berlanjut.

Kali ini Jihan sudah tak tahan mendengarnya. Air matanya mengalir bak anak sungai. Allah... mohon lancarkan lidah hamba untuk menjawab tuduhan perempuan ini.. 

"Salwa! Kenapa kamu jadi ngomong begitu? Kamu melihat isi surat itu kan? Lagi pula Jihan memang sudah berusaha menjauh dari saya. Tapi Allah menuntunnya kembali ke sini. Apa kamu mau melawan kehendak Allah!" Jihan mendengar pembelaan dari Adam.

"Saya mohon Pak, tolong hentikan Salwa bicara kasar seperti ini!" Jihan melihat dari balik air matanya Adam memohon pada kakeknya.

"Salwa, ayah mohon, kamu tenanglah. Kalian berdua juga sebaiknya pulang dulu. Insyaallah ayah akan menemui kalian besok atau lusa." Suara kakek terdengar lemah. 

Tanpa menunggu lagi, Jihan berdiri dan mencium tangan kakeknya, lalu dia berjalan keluar rumah. Untuk saat ini, hal terbaik adalah menghindar dari kemarahan Salwa. Jihan melihat Adam melakukan hal yang sama. Dia berjalan di belakang Jihan.

***

"Salwa nggak setuju, Ayah. Kalau Ayah setuju dengan mereka, Salwa akan keluar dari rumah ini!" Salwa meradang. Rasanya sakit sekali ketika mendengar Jihan dan Adam memutuskan akan menikah. Padahal beberapa waktu lalu dia sudah berharap Adam akan bersedia menjadi suaminya. Tapi kenyataannya, Adam malah tetap memilih Jihan. Walau dia tahu mereka memutuskan menikah itu karena surat dari Khansa. 

Tapi Salwa masih berpikir kalau surat itu bisa saja dibuat oleh Jihan. Siapa yang tahu kalau anak itu memang merekayasa semua itu agar terlihat seperti nyata. Karena sudah beberapa kali Jihan membuat Salwa kecewa.

"Mereka memutuskan menikah bukan dalam satu atau dua hari, Salwa. Tapi sudah beberapa bulan. Itu juga karena surat kakakmu. Mana mungkin Jihan sengaja menulis surat itu. Ayah dan kamu tahu sifatnya Jihan. Dia anak baik. Kamu kenapa masih bersikap kekanak-kanakan begini? Kamu benar-benar membuat ayah kecewa."

"Salwa nggak peduli, ayah kecewa pada Salwa. Saat ini Salwa yang sangat kecewa. Ayah juga yang salah. Kenapa ayah dulu menyarankan Salwa untuk menikah dengan Adam. Jadinya kan Salwa berharap dia akan jadi suami Salwa. Tapi setelah harapan selama ini, ternyata dia memilih Jihan. Siapa yang nggak kesal!"

"Baik. Ayah minta maaf untuk itu. Ayah awalnya kan nggak tahu kalau ada surat wasiat dari Khansa. Sekarang Ayah ingin tenang. Ayah mohon kamu jaga sikap. Ayah mengharapkan semua kebaikan untuk kamu, Nak. Tapi kalau sikapmu seperti ini, bagaimana Allah akan memberikan kebaikan itu?"

Salwa terdiam. Dia sadar, tadi kata-kata kasar meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memaki Jihan dan Adam. Dia ingin memuntahkan semua kekecewaannya. Tapi seketika dia sedih melihat ayahnya. Wajah tua itu terlihat sangat menderita. Selama ini pasti karena dia lelah memikirkannya. Air mata Salwa menetes. Dia menyesali sikapnya karena sudah mempermalukan ayahnya. Lelaki yang sangat dicintainya. Hanya ayahnya saat ini tempat dia mengadu dan bermanja. Hanya ayahnya juga yang selama ini memberikan perhatian padanya. Kenapa dia melukai perasaan orangtuanya ini? 

Salwa memeluk ayahnya sambil berlinang air mata. "Maafkan Salwa, ayah." Dia melampiaskan semua kesedihannya dalam pelukan ayahnya. Laki-laki tua itu membalas pelukan anaknya. Dia menepuk lembut punggung anaknya. Lalu membelai kepala Salwa.

"Maafkan Ayah juga, ya. Ayo kita berdoa pada Allah, agar Salwa mendapat jodoh yang lebih baik dari pada Adam. Ayah yakin, jodoh Salwa akan datang dalam waktu dekat. Karena Allah mengatakan pada kita bahwa setelah kesulitan itu, pasti ada kemudahan. Dan ayat itu diulang Allah sampai dua kali dalam surat yang sama. Jadi ayo kita tunggu janji Allah itu."

Salwa hanya mengangguk sambil mengusap air matanya. Rasanya tak mau dia melepaskan pelukannya dari sang ayah. 












ELAYNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang