Adam menatap kuburan Khansa. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Biasanya jika dia ingat Khansa, dia akan mendatangi Khansa ke kuburannya. Demikian juga dengan saat ini. Beberapa hari lalu Adam menemui Khansa di sini. Karena setelah membaca surat Khansa beberapa hari lalu, dia menjadi serba salah. Apakah harus menjalankan saran Khansa, atau membiarkannya saja.
Toh Khansa juga tidak menjelaskan hal itu sebagai wasiat. Dia berulang kali membaca surat Khansa pada Jihan. Hanya saran, kata yang jelas-jelas ditulis Khansa di surat tersebut.
Khansa, kamu sudah membuat saya sangat terkejut dengan surat yang kamu tinggalkan. Beberapa hari ini saya sudah memohon pada Allah agar memberikan saya petunjuk. Apa yang sebaiknya saya lakukan. Sampai saat ini saya belum menemukan jawaban terbaik. Makanya saya datang ke sini mengajak Jihan. Saya harap kedatangan kami ke sini akan menghasilkan sebuah keputusan terbaik sesuai dengan kehendak Allah.
"Jihan, maaf Buya mengajak Jihan ke sini tanpa ngasih tahu dulu." Adam membuka suaranya. Dia melihat gadis yang mengenakan jilbab Abu-abu motif kembang putih itu sedang terpekur menatap pusara Khansa.
"Nggak apa-apa Buya. Sebenarnya Jihan juga ingin ke sini kok."
Adam menarik napas dan mengembuskannya kencang. Dia berusaha menenangkan pikirannya. Masalah ini harus selesai saat ini. Dia tidak ingin berlarut-larut dan membuat semuanya makin tidak jelas.
"Begini. Beberapa hari lalu, Buya tidak sengaja membaca surat Umi untuk Jihan." Adam mengatur suaranya setenang mungkin sambil menatap Jihan. Gadis itu terkejut. Pipinya terlihat memerah. Keningnya mengernyit dan matanya membola. Lalu gadis itu segera menunduk, sepertinya dia malu atau perasaannya pasti tak menentu.
Adam segera menundukkan pandangannya. "Buya paham pasti Umi bermaksud baik. Tapi, menurut Buya, surat Umi itu bukan surat wasiat. Karena di surat itu Umi hanya ingin minta pendapat Jihan. Jadi Jihan tidak perlu merasa terbebani dengan isi surat Umi."
Gadis yang mengenakan gamis hitam itu hanya terdiam. Seolah dia tidak tahu harus bicara apa.
"Buya tahu, beberapa hari ini Jihan pasti berusaha menghindar dari Buya. Pasti berat bagi Jihan jika harus menunaikan saran Umi. Makanya hari ini Buya mengajak Jihan ke sini. Biar kecanggungan ini kita selesaikan di sini. Bagi Buya, apa pun keputusan Jihan, pati Buya dukung."
Hening sejenak. Adam merasa lega sudah mengeluarkan pendapatnya. Beberapa hari ini dia sudah melaksanakan istikharah. Allah menenangkan hatinya. Keputusannya dia serahkan pada Jihan. Jika Jihan ingin menjadi istrinya, maka dia akan menikahi Jihan. Jika tidak, maka dia akan tetap menyayangi Jihan sebagai anak angkatnya.
"Maafkan Jihan, Buya. Jihan benar-benar belum bisa mengatakan apa pun. Yang pasti Jihan menyayangi Buya seperti sayang anak pada bapaknya. Jihan ingin istikharah beberapa hari lagi, Buya. Ada banyak hal yang harus Jihan pertimbangkan. Pendapat Kakek,Tante Salwa dan teman-teman Jihan nanti."
Adam mengangguk setuju. Benar sekali, bagi gadis seperti Jihan, tentu banyak hal yang menjadi pertimbangannya. Mungkin bagi Adam hanya perlu mempertimbangkan pendapat mertuanya dan Salwa saja. Tapi Adam berpikir, mertuanya dan Salwa mau nggak mau akan menyetujui rencana Khansa jika Adam menyerahkan surat itu pada mereka.
Sedangkan Jihan, dia adalah seorang gadis yang mempunyai banyak teman. Apa kata teman-temannya nanti jika dia menikah dengan ayah angkatnya? Pasti gadis seperti Jihan tidak cukup mampu menahan gunjingan orang-orang tentangnya.
"Baiklah. Buya paham kok. Apa pun keputusan Jihan, Buya mendukung Jihan. Buya harap, kecanggungan ini berakhir sampai di sini. Kita jalani hari-hari kita seperti biasa. Buya nggak mau masalah ini mengganggu pekerjaan dan menjadi tanda tanya Bi Imah di rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
ELAYNE
Teen FictionElayne, seseorang yang sangat ingin dicari Jihan. Karena Elayne sudah mencuri naskahnya dan menerbitkan naskah itu tanpa minta izin padanya. Jihan berencana menemukan penulis yang bernama Elayne itu di mana pun dia berada. Dimulai dengan menelepon e...