(Bab 22) Kisah

1K 42 4
                                    

       

Jihan sedang mengerjakan tugas kuliahnya di kamar kos. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya. Jihan beranjak menuju pintu. Di depan pintu kamarnya, Jihan mendapatkan senyum manis seseorang.

"Kania? Ada apa?"

"Ada tamu, Teh!" ujar Kania, salah satu anak kos yang tinggal di kosan Jihan. "Udah saya suruh tunggu di ruang tamu."

"Ok. Makasih ya." Jihan mengenakan bergo kaos berwarna abu-abu yang diambilnya di gantungan belakang pintu. Lalu dia bergegas ke ruang tamu. Siapa ya? Nggak mungkin Nadia. Karena Nadia pasti akan langsung masuk ke kamarnya jika dia berkunjung.

Jihan bergegas menuju ruang tamu. Jihan memang sengaja mencari kosan yang masih menganut sistem kekeluargaan yang kental. Ada ibu kos di rumah tersebut. Ada ruang tamu, dapur dan ruang makan. Sehingga antara anak kos dan ibu kos masih terjalin komunikasi yang hangat layaknya keluarga.

Di ruang tamu, Jihan melihat Bi Imah dan Adam. Jantung Jihan berdegub kencang. Dia segera menarik napas untuk menenangkan diri. Lalu beberapa detik kemudian dia sudah memberikan senyum terbaiknya kepada Bi Imah dan Adam.

"Bi Imah? Apa kabar?" Jihan bergegas memeluk Bi Imah. Bi Imah membalas pelukan Jihan.

"Bi Imah kangen sekali, Mbak Jihan. Syukurlah Mbak Jihan terlihat sehat," Bi Imah mempererat pelukannya. Lalu dia menatap Jihan sambil tersenyum. Jihan melihat air mata menggenang di pelupuk mata Bi Imah. Jihan kembali memeruk erat Bi Imah. Suasana ini membuat hatinya haru. Di satu sisi dia sudah menganggab Bi Imah sebagai pengganti ibunya. Tapi di sisi lain, dia terpaksa melupakan Bi Imah, agar dia juga bisa melupakan Adam.

Sayangnya harapannya tidak akan terwujud. Bagaimana mungkin dia melupakan Bi Imah yang sudah merawatnya setelah Umi tiada. Sepertinya jalan terbaik satu-satunya agar dia tidak mengecewakan Bi Imah, adalah dengan menerima Adam sebagai suaminya.

Ah, Jihan, sabar. Pasti ada jalan lain untuk itu. Kamu bisa menyelesaikan kuliahmu, lalu menikah dengan laki-laki selain Adam. Setelah itu, kau bisa mengajak Bi Imah tinggal bersamamu! Suara batinnya menggoyahkan sebuah keputusan yang hampir diambilnya. Ya Allah... begitu berat rasanya.

"Ayo duduk, Bi Imah." Jihan melepaskan pelukannya dari Bi Imah. Dia lalu menuntun Bi Imah untuk duduk di kursi tamu. Lalu dia menyapa Adam sambil menangkupkan kedua telapak tangannya ke dada.

"Maaf, Buya datang nggak ngabarin Jihan dulu. Bi Imah memaksa Buya mengantar beliau ke sini. Katanya kangen banget sama Jihan." Adam terdengar seperti membela diri.

"Iya, Mbak Jihan. Bi Imah yang memaksa Bapak untuk mengantar Bi Imah ke sini. Karena rasanya udah lama banget Bi Imah nggak mendengar suara Nak Jihan. Bi Imah kangen."

"Nggak apa-apa Bi Imah, Jihan juga kangen sama Bi Imah. Maaf Jihan belum sempat ke Bekasi ya, Bi Imah."

Lalu percakapan antara Jihan dan Bi Imah pun mengalir begitu saja. Mereka saling bertukar cerita. Jihan menanyakan kabar anak Bi Imah. Bi Imah bertanya tentang kuliah dan pekerjaan Jihan. Mereka seolah melupakan ada Adam bersama mereka. Atau mungkin Jihan sengaja tidak mengajak Adam bicara. Entah karena canggung atau memang tak ingin saja bicara dengan Adam.

"Jihan nggak kemana-mana hari ini?" tanya Adam ketika hening sejenak antara Bi Imah dan Jihan.

"Nggak Buya. Jihan lagi mengerjakan tugas. Ohya, Bi Imah mau lihat kamar Jihan nggak?" tawar Jihan. Sebenarnya ini hanyalah alasannya saja agar tidak perlu banyak bicara dengan Adam. Rasanya dia belum bisa bertatap muka agak lama dengan Adam. Entahlah, dadanya selalu berdebar tak karuan ketika melihat senyum Adam. Dia merasa makin canggung jika berlama-lama di depan Adam.

ELAYNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang