(Bab 17) Canggung

1.1K 43 6
                                    

Canggung

Sejak membaca surat Khansa, Jihan jadi terlihat murung. Baik di rumah mau pun di kantor. Dia terlihat sering tidak fokus dengan pekerjaannya. Beberapa kali Salwa menegur Jihan ketika dia menanyakan sesuatu tapi Jihan tidak menjawab.

"Jihan sakit?" tanya Salwa ketika mereka akan melaksanakan shalat zuhur. Jihan menggeleng sambil berusaha tersenyum. Dia benar-benar kehilangan semangatnya untuk bekerja. Pikirannya dipenuhi bagaimana cara menghindar dari Adam. Beberapa hari ini dia memilih mampir dulu ke Gramedia Harapan Indah dan menghabiskan waktu di sana. Kadang dia memilih makan di Hoka-hoka Bento dan mengerjakan novelnya di sana hingga restoran itu hampir tutup.

Hal itu dilakukannya semata-mata untuk menghindar dari Adam. Karena setiap melihat Adam, dia teringat dengan surat yang ditulis Khansa. Ketika teringat isi surat itu, dia menjadi seperti orang asing di hadapan Adam.

"Kalau Jihan ada masalah, ayo share pada Tante. Siapa tahu Tante bisa bantu," Salwa menepuk lembut pundak Jihan. Jihan memperhatikan wajah Salwa. Wajah itu memberikan senyumnya yang paling tulus. Belum pernah Jihan melihat ketulusan seperti itu selama dia bersama Salwa.

Benarkah dia mau membantuku? Apa dia nggak akan marah jika kuceritakan tentang surat itu? Bukankah dia ingin menjadi istri Buya?

Ah, benar! Ini jawabannya. Aku lebih baik menceritakan pada tante Salwa. Dia pasti akan menolak isi surat itu. Karena dia ingin jadi istri Buya. Dengan begitu, aku tidak perlu khawatir lagi, kan? Tapi bagaimana kalau dia malah marah dan membenciku lagi? Bisa saja dia mengatakan kalau aku yang menulis surat itu. Ah apa yang harus kulakukan?

"Jihan memang ada sedikit masalah Tante Salwa. Tapi insyaallah nanti akan Jihan share ke Tante kalau Jihan benar-benar nggak bisa mengatasinya. Tapi saat ini, insyaallah Jihan sedang mencoba mencari jalan keluar dari masalah Jihan."

"Ok. Tante harap, masalah Jihan segera selesai. Karena Tante lihat beberapa hari ini Jihan tidak fokus bekerja. Nanti malah membuat pekerjaan Jihan jadi terbengkalai kalau masalah Jihan belum teratasi."

"Iya. Makasih Tante. Insyaallah nanti Jihan nggak akan memikirkan masalah ini lagi." Jihan memberikan senyum tulusnya sambil berjanji dalam hati untuk menyingkirkan pikirannya dari isi suratKhansa itu. Dia tidak ingin Adam tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu.

Setelah makan siang, Jihan dan Salwa kembali ke kantor. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

"Bang Adam kenapa belum balik, ya?" tanya Salwa seolah bergumam. Jihan menghentikan kegiatannya mengedit sebuah buletin masjid. Dia menoleh ke meja Adam. Lalu melihat jam di tangannya. Sekarang sudah hampir pukul 3.00. Harusnya Adam sudah kembali sejak pukul 1.00 atau 2.00 tadi. Tapi saat ini mejanya masih kosong. Kemana dia?

"Sejak beberapa hari ini Tante lihat, Bang Adam lebih banyak diam juga. Apa Jihan sedang bertengkar dengan Bang Adam?"

"Nggak kok Tante. Jihan nggak pernah bertengkar dengan Buya." Wajah Jihan terlihat bingung. Dia memang tidak memperhatikan Adam dalam beberapa hari ini. Karena dia selalu berusaha menghindar dari Adam. Apa Adam tahu kalau dia menghindar darinya?

Beberapa hari ini mereka memang tidak pernah bertemu di rumah. Mereka hanya bertemu di kantor dan itu juga tidak saling menyapa langsung. Jihan hanya menyapa lewat salam ketika dia masuk kantor. Salam itu ditujukan ke semua orang yang ada di ruangan itu. Setelahnya dia tidak bicara apa pun dengan Adam. Apalagi memang tidak ada yang harus ditanyakan.

Beberapa pesanan dari klien langsung dicatat Adam di whiteboard. Kalau ada yang perlu diedit Jihan, filenya juga langsung dikirim Adam lewat email ke email Jihan. Jihan hanya tinggal mengerjakan. Apalagi tidak ada hal penting lainnya juga yang membuat Jihan harus bicara dengan Adam.

"Kemana Bang Adam, ya? Apa dia sakit?" Salwa terlihat khawatir. Jihan merasa bersalah. Mungkinkah Buya sakit? Jika benar, sakit apa? Ah, kenapa dia menghindar dari Adam.

Tiba-tiba HP Jihan bergetar. Dia melihat sejenak ke Hpnya. Ada sebuah pesan Whatsapp dari Adam. Jihan segera membaca pesan itu.

Jihan, Buya mau bicara. Buya tunggu di parkiran sekarang.

Ada apa? Kenapa Buya ingin bicara denganku? Jihan melirik Salwa. Untung Salwa tidak memperhatikannya. Dia segera menyimpan Hpnya ke dalam kantong roknya. Lalu Jihan menyimpan file yang sedang dieditnya tadi. Dia berpikir apa yang akan dikatakannya kalau Salwa bertanya padanya. Apa dia kasih tahu Salwa saja kalau Adam sedang menunggunya di parkiran kantor mereka? Atau dia tidak usah memberitahukan apa pun pada Salwa dengan cara mengarang cerita jika Salwa bertanya.

Ah, Jihan menjadi deg-degan memikirkan hal itu. Rasanya dia seolah sedang melakukan sebuah kesalahan. Dia tidak pernah sebingung ini sebelumnya.

Jihan menghela napasnya. Lalu berjalan ke lantai satu tanpa berkata apa pun pada Salwa. Salwa masih terlihat asyik dengan pekerjaannya. Jihan bersyukur Salwa tidak bertanya padanya kenapa dia ke lantai satu.

Jihan melihat ke halaman kantornya. Mobil Adam terparkir tepat di depan kantor mereka. Jihan melihat Adam berada di dalam mobil. Gadis itu melangkah canggung menuju mobil berwarna silver itu.

"Ada apa Buya?" tanya Jihan sebiasa mungkin ketika dia melihat Adam menurunkan kaca mobil.

"Ayo masuk! Ada yang mau Buya bicarakan. Tapi nggak di sini."

Dengan perasaan nggak menentu, Jihan masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Adam. Adam lalu menyetir mobilnya meninggalkan kantor mereka. Jihan hanya diam di samping Adam. Dia tidak tahu harus bicara apa. Berbagai pertanyaan berputar di kepalanya.

Apa yang akan dibicarakan Buya? Kenapa pembicaraan itu tidak di kantor atau di rumah saja? Kenapa Buya memintanya berbicara pada saat jam kantor begini? Bagaimana kalau Salwa tahu dia menghilang dari kantor bersama Buya?

Jihan memperhatikan jalan di depannya. Adam masih terus menyetir mobilnya keluar dari Harapan Indah menuju ke arah perumahan Pondok Ungu Permai. Mereka berdua masih asyik dengan pikiran masing-masing. Jihan tak berani memulai percakapan.

Setelah dipertigaan sekolah Gema Nurani, Adam membelokkan mobilnya ke arah kanan. Artinya tidak ke Pondok Ungu. Tadi Jihan berpikir Adam akan berbicara dengannya di salah satu tempat makan di Pondok Ungu. Ternyata bukan. Jihan tak punya clue apa pun tentang arah yang dituju Adam.

Mobil yang dibawa Adam melaju meninggalkan pertigaan Sekolah Islam Gema Nurani. Jihan berusaha menerka ke mana Adam akan membawanya. Baru setelah sampai di sekitar perumahan permata Hijau, Jihan menyadari sesuatu.

"Kita mau ke makam umi ya Buya?" tanya Jihan untuk meyakinkan dirinya.

"Iya."

Jihan menghela napasnya. Ada apa? Kenapa Buya mengajaknya ke sana? Apalagi sudah sore begini.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di pemakaman Perwira. Tempat Khansa dimakamkan. Adam menghentikan mobilnya. Dia lalu keluar dari mobil. Jihan ikut keluar. Adam berjalan memasuki makam sambil mengarahkan remotenya ke mobil untuk mengunci mobil tersebut.

Jihan mengikuti langkah Adam. Adam berjalan menuju makam Khansa yang terletak di bagian tengah pemakaman itu. Setelah sampai di makam Khansa, Adam berjongkok sambil membacakan doa. Jihan mengikuti apa yang dilakukan Adam.

***

Bersambung.... Terima kasih masih bersama Elayne ya... Silakan dishare dan voment kalau readaer suka dengan cerita ini. ^_^

ELAYNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang