"Setiap orang punya kisahnya masing-masing. Tapi tak ada satupun yang bisa menebak jalan kisahnya."
***
Pagi ini sejujurnya Vievy tidak ingin pergi ke sekolah. Bukan apa-apa, hanya saja ia belum siap mental untuk bertemu dengan Adine, Okta, dan lainnya lagi. Yang terjadi waktu itu sudah sangat parah. Vievy yakin di sekolah pasti ada berita tentang dirinya yang kabur dari sekolah setelah bertengkar dengan Adine.
Vievy memang tak menampik bahwa Adine memiliki kesempatan besar untuk membocorkan segala rahasianya. Apalagi setelah kejadian itu. Tapi selama Okta tidak mengiriminya pesan yang berkaitan dengan hal itu, Vievy rasa ia masih selamat.
Kalau bukan karena Abi dan Uminya yang telah kembali ke rumah, Vievy tidak akan mau ke sekolah.
Vievy menuruni tangga rumah sambil merapikan kerudungnya. Ia melirik meja makan. Mayra sedang membantu Mbak Ina menyiapkan sarapan. Mata Mayra menangkap pergerakan Vievy yang baru saja hendak berjalan keluar rumah.
"Vievy!" Panggil Mayra.
Vievy menoleh, namun enggan menjawab.
"Udah mau berangkat?" Mayra melirik jam dinding, "Masih jam 6 pagi, kamu serius?"
Memangnya Mayra peduli? Mau Vievy berangkat ke sekolah jam berapapun, Vievy yakin Mayra tidak peduli. Paling-paling hanya mengomentari saja. Seperti:
"Kamu berangkat sekolah jam segini? Nggak sekalian berhenti sekolah aja? Percuma Umi bayar mahal-mahal kalau ujung-ujungnya kamu cuma hamburin duit orangtua!"
Ah, andai saja Vievy dapat bebas menyampaikan perasaannya.
Maka dari itu Vievy lebih baik pergi ke sekolah. Jauh dari bentakan, sindiran, dan titahan orangtua.
"Vievy berangkat dulu. Assalamu'alaikum," pamit Vievy lalu berjalan begitu saja keluar rumah.
Memang, Vievy ini tidak tahu balas budi. Mengabaikan orangtua yang selama ini telah membesarkannya. Tapi jujur ini bukan kemauan Vievy. Vievy hanya ingin berontak saja. Atas apa yang telah orangtuanya perbuat sehingga Vievy bisa jadi pemberontak seperti ini. Vievy hanya ingin orangtuanya sadar, bahwa tidak selamanya yang memiliki kekurangan tidak bisa hidup bahagia. Vievy bisa. Bahkan dari hal sekecil apapun. Asalkan bisa bahagia, Vievy terima.
***
Vievy menyumbat lubang telinganya dengan earphone. Ia memutar lagu yang menjadi kesukaannya baru-baru ini. Matanya fokus pada novel yang sedang dibacanya.
Tadi, setelah menaruh tas di kelas, Vievy langsung beranjak ke perpustakaan. Alasannya? Apalagi kalau bukan menghindari semua teman kelasnya.
Vievy tidak ingin mereka menatap dirinya dengan tatapan penasaran. Itu sangat tidak nyaman. Dan membuat hidup Vievy seperti teka-teki yang membuat mereka penasaran.
Drrrt... Drrrt...
Ponsel Vievy berdering. Dari Okta. Vievy sama sekali tidak berniat menjawabnya. Tapi Vievy penasaran juga. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi di kelas di saat Vievy tak ada. Jangan-jangan Adine...berbuat sesuatu yang kejam, lagi.
"Hm?" Vievy menjawab panggilan tersebut. Agak berat rasanya. Namun hanya ini satu-satunya cara mengetahui keadaan di kelas.
"Akhirnya lo angkat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Vievy [COMPLETED]
Teen FictionSudah bertahun-tahun Vievy hidup dibayangi dengan masa lalunya. Sembunyi dalam kepribadian juteknya yang seakan menjadi tameng. Tameng dari segala keingintahuan orang-orang tentang masa lalunya. Hidup Vievy memang tidak pernah tenang. Namun gadis it...