"Terkadang, masalah yang kita hadapi bertujuan untuk menguji apakah kita dapat berdamai dengan keadaan yang diciptakan oleh masalah itu sendiri."
***
Sudah seminggu Vievy tinggal di apartemen milik Aqsa. Kini gadis itu tidak canggung-canggung lagi untuk menggunakan fasilitas yang ada di apartemen tersebut. Sebut saja televisi dan wifi yang dipakai oleh Vievy tanpa henti. Vievy sudah menganggap apartemen Aqsa seperti miliknya sendiri.
Pagi-pagi, biasanya Aqsa akan pamit keluar untuk berolahraga di taman yang dekat dengan apartemennya. Setelah itu Vievy disuruh turun dari kamar menuju tukang bubur ayam yang terletak di sebrang gedung apartemen Aqsa.
Vievy sih tidak masalah disuruh turun, apalagi alasannya adalah karena akan makan bubur ayam. Tanpa berpikir dua kali, Vievy segera mengiyakan ajakan Aqsa dan mengenakan hoodie kebesaran milik Aqsa lalu berjalan menyusuri halaman depan gedung apartemen. Rambut hitamnya yang sudah tidak tertutupi oleh kerudung itu berkibar-kibar tersapu oleh angin. Vievy kemudian mengikat rambutnya asal. Yang terpenting rambutnya tidak berantakan tertiup angin.
Di ujung jalan, Vievy melihat Aqsa sedang mengusap pelan lehernya yang dibanjiri oleh keringat. Aqsa memang tipikal lelaki yang mementingkan kesehatan tubuh. Maka tidak heran jika ia sering meluangkan waktu untuk sekadar jogging di sekitar komplek apartemen.
"Ceria banget lo diajak makan bubur," sahut Aqsa ketika Vievy telah duduk di hadapannya, memesan satu mangkuk bubur ayam komplit dengan tampang sumringah. Vievy kemudian menoleh dan memamerkan senyum manis.
"Gue nggak pernah nolak makanan gratis, Kak!" jawab Vievy cepat lalu meraih kotak besar berisi beraneka macam sate dan mengambil satu sate usus dari kotak tersebut. Kemudian ia memberikan kotak itu kepada pelanggan lain yang memintanya.
Aqsa memperhatikan Vievy tanpa sadar. Rasanya ia seperti melihat adiknya sendiri–walaupun ia tidak pernah memiliki adik. Namun aura yang dipancarkan gadis itu sangat adikable. Aqsa jadi tidak tega untuk merusak kebahagiaan sederhana Vievy dengan memberitahu bahwa orangtua Vievy ingin mengunjunginya dan membawanya pulang.
"Vie, Okta bilang dia mau dateng ke apartemen. Lo keberatan nggak?"
Ya. Aqsa berbohong. Tapi tidak sepenuhnya bohong, sih. Memang benar Okta ingin mengunjungi Vievy, namun bersama dengan orangtuanya Vievy.
"Selama dia nggak bawa orangtua gue buat dateng, gue sih nggak masalah."
Mendengar hal itu, Aqsa langsung buru-buru menyiapkan diri jika nanti kena amuk Vievy karena telah berbohong pada gadis tersebut.
***
"Okta kapan dateng, Kak?" Tanya Vievy yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menonton TV. Setelah dikeluarkan dari sekolah, Vievy merasa sangat bebas untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Tidak ada yang melarang. Tidak ada tuntutan tugas yang harus diselesaikan setiap harinya. Tidak ada rapat OSIS yang selalu membuat Vievy ketinggalan pelajaran. Pokoknya kini Vievy merasa dirinya berada dalam healing time. Healing time untuk menyembuhkan segala rasa sakit yang ia derita selama ini.
Aqsa yang sedang membaca buku lantas menoleh, namun enggan merespon macam-macam. Lelaki itu hanya mengangkat bahunya dan kembali melanjutkan bacaannya.
Vievy jadi mendengus. Feelingnya jadi tidak enak.
Bertepatan dengan itu, suara bel pintu berbunyi dan membuat Vievy menoleh ke sumber suara. Tanpa ba-bi-bu Vievy membukakan pintu tersebut dan muncullah Okta dari balik pintu.
"Vie," panggil Okta pelan sambil menatap lekat-lekat gadis dihadapannya. Lalu matanya teralihkan ke arah lorong apartemen. Seperti menunggu seseorang untuk masuk bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vievy [COMPLETED]
Teen FictionSudah bertahun-tahun Vievy hidup dibayangi dengan masa lalunya. Sembunyi dalam kepribadian juteknya yang seakan menjadi tameng. Tameng dari segala keingintahuan orang-orang tentang masa lalunya. Hidup Vievy memang tidak pernah tenang. Namun gadis it...