[19] D-Day

489 44 1
                                    

"Menangislah sepuasmu. Aku akan setia mendengarkan."

***

Vievy memperhatikan gerak-gerik Kak Aldi yang sedang memilih-milih es krim untuk Vievy. Pikirannya jadi kemana-mana melihat sosok tinggi itu berada di dekatnya. Aneh saja. Lelaki cuek seperti dia bisa mengetahui masalah yang sedang dialami Vievy? Hampir mustahil!

Kak Aldi menyodorkan dua buah es krim ke hadapan Vievy, "Mau yang mana?"

Vievy bergumam sebentar, dua-duanya Vievy suka. Lantas gadis itu menjulurkan jari tangannya membentuk angka dua, "Dua-duanya!"

Raut wajah Kak Aldi langsung berubah, "Oh, jadi lo mau morotin gue, ya?"

Vievy hanya terkekeh kemudian berjalan ke arah kasir. Mau tidak mau Kak Aldi mengikuti langkah gadis tersebut. Daripada cewek ini nangis lagi, mending gue ngorbanin uang saku gue aja deh.

Setelah membayar, Kak Aldi meminta Vievy untuk duduk dulu di depan minimarket sebelah sekolahannya itu. Entah tujuannya apa, namun Vievy menurutinya saja. Lagipula ini sudah bel pulang, tidak apalah jika Vievy pulang lebih larut dari biasanya. Sekalian mempersiapkan mental untuk memberi tahu surat panggilan untuk orangtua gadis itu.

"Gue tau, ketika lo berhenti nangis, ada yang masih terisak dalam diri lo, iya kan?"

Vievy yang baru saja ingin menyuap es krimnya langsung berhenti seketika. Kata-katanya benar. Ia tidak bisa menyangkal.

"Well, ternyata lo cukup mengenal gue, Kak," jawab Vievy pelan. Kemudian ia menyodorkan satu bungkus es krim yang belum dimakannya kepada Kak Aldi, "Nih gue kasih."

Kak Aldi mengambil es krim tersebut, namun matanya masih tertuju pada Vievy. Karena merasa diperhatikan, gadis itu memukul lengannya dan memperingati agar tidak menatapnya terus-menerus.

"Serius, Vie," Kak Aldi menunjuk dadanya, "Disini. Ada yang masih terisak disini. Iya kan?"

"Iya bawel!"

Ada keheningan yang cukup lama menghinggapi mereka berdua. Yang satu sibuk melahap es krimnya karena takut mencair. Satunya lagi sedang sibuk mencari topik pembicaraan yang tidak akan menyinggung gadis itu.

Kak Aldi berdeham, "Lo nggak mau nanya gue tau masalah lo darimana? Atau dari siapa gitu?"

Melihat wajah Kak Aldi yang polos seperti itu, Vievy jadi geli sendiri. Ada, ya, cowok ganteng yang otaknya sengklek kayak gitu.

"Nggak perlu. Lo itu kan stalker gue, jelaslah lo tau," jawab Vievy dengan nada mengejek. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa juga ketua OSIS repot-repot mengurusi kehidupan pribadi anggotanya?

Biar apa?

Oh, mungkin biar disebut ketua OSIS yang peduli.

"Oh, sekarang lo berani ngejek ketua OSIS ya? Vievy, ini gue, ketua OSIS lo!" Katanya tidak terima dengan omongan Vievy barusan.

Vievy ketawa geli, "Please, gue nggak kuat liat muka lo yang melas itu, Kak!"

"Vie, serius, Vie," Kak Aldi masih berusaha meyakinkan gadis itu agar tidak memikirkan yang aneh-aneh tentang dirinya, "Gue akuin gue emang nyari tau masalah lo, tapi bukan berarti gue stalker! Gue cuma peduli sama bawahan gue."

"Iya," Vievy tidak menyangka, sih, ternyata dia bisa dekat juga dengan Kak Aldi. Ia kira, Kak Aldi itu menyebalkan. Tapi kini, ia berpikir bahwa Kak Aldi itu asik juga jika diajak bicara.

***

"Sialan tuh cewek!"

Abi kelepasan mengumpat setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Okta. Isinya tentang rapat komite disiplin untuk Vievy.

Vievy [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang