Adine melangkah menyusuri koridor kelas 10 dengan suasana hati yang ceria. Bagaimana tidak, kini gadis itu sudah sepenuhnya terbebas dari drama-drama yang dibuat oleh rival seumur hidupnya itu, Vievy.
Adine masih teringat bagaimana gadis jutek itu dijadikan bahan pembicaraan oleh satu sekolah ketika awal-awal rahasia Vievy mulai tebongkar. Rasanya Adine seperti sudah menang. Ia tidak bisa membendung lagi keceriaannya sampai-sampai gadis itu jadi menabrak tubuh jangkung yang berjalan di hadapannya. Adine tersentak sebentar karena lamunannya terbuyarkan oleh tabrakan orang itu. Tapi sedetik kemudian gadis itu menjadi lebih tersentak lagi ketika ia mengetahui bahwa yang ditabraknya adalah Abi.
"Eh, Bi," sapa gadis itu dengan kaku, jemarinya tergerak untuk menyelipkan rambut depannya yang terurai menutupi wajah. Tapi Abi melengos. Dengan wajah datarnya, lelaki itu memasukkan satu tangannya ke saku celana, lalu pergi begitu saja tanpa membalas sapaan Adine.
Tunggu. Barusan gue .... dicuekkin?
Adine tentu tak terima. Gadis itu langsung melangkah berbalik menyusul Abi. Bola mata hazelnya memperhatikan Abi secara intens seiring dengan langkahnya yang tergesa-gesa karena menyusul lelaki itu.
"Lo nyuekkin gue, Bi?" Tanyanya masih dengan nada lembut. Adine tahu kok Abi ini sangat menyayangi Vievy. Maka ketika Adine mengusik kehidupan Vievy, Adine tahu Abi akan marah dan menyalahkan dirinya.
Tapi Adine tidak pernah menyerah untuk meyakinkan Abi bahwa gadis seperti Vievy tidak pantas untuk Abi yang nyaris sempurna di mata Adine.
"Bii!" kini nada suara Adine meninggi, gadis itu kemudian meraih tangan Abi dan bermaksud untuk menahannya. Tapi Abi buru-buru menepis kemudian berhenti berjalan. Lelaki itu berbalik menghadap Adine yang sedang tersenyum ke arahnya.
"Ngapain lo senyum gitu?" Tanyanya dengan penuh penekanan, "Gue muak liat senyum lo, Dine! Mending lo jauh-jauh dari gue sebelum gue marah besar sama lo!" ucap Abi dengan penuh amarah. Ingin rasanya ia berkelahi dengan Adine kalau saja gadis itu adalah seorang lelaki.
Senyum gadis itu memudar, "Apaan sih, Bi? Lo masih nyalahin gue atas apa yang terjadi sama Vievy? Iya?"
"Ya iyalah—" hampir saja Abi akan mengeluarkan kata kasar kepada gadis di hadapannya itu, namun Okta segera memanggil lelaki itu sehingga ia langsung menoleh ke sumber suara.
Okta berjalan ke arah Abi, namun ketika melihat Adine berada di samping Abi, gadis itu langsung memutar bola matanya malas. "Lo lagi, lo lagi. Kenapa sih lo ada dimana-mana, Dine?"
Adine membalas tatapan Okta dengan tajam, "Kayaknya lo yang ada dimana-mana. Kenapa sih, Ta? Nyari Vievy? Vievy udah nggak ada!" Kata-kata Adine tersebut jelas membuat Okta naik pitam sampai gadis itu langsung menginjak sepatu Adine dengan bringas.
"Sialan!" Teriak Okta sampai membuat seisi koridor menoleh pada gadis itu dengan tatapan horror. "Lo belum puas, Dine, sama apa yang udah lo perbuat?! Daripada Vievy, mending lo aja deh yang keluar dari sekolah. Dasar biang onar!"
Adine malah jadi ketawa sinis mendengar perkataan Okta, "Heh yang ada temen lo tuh biang onarnya! Makanya, sesekali suruh temen lo itu ngaca, Ta, biar sadar diri." Adine sekali lagi menyulut amarah Okta. Baru saja Okta ingin maju membalas Adine, tubuh gadis itu langsung diseret oleh Abi menjauh dari Adine. Okta pasrah saja ditarik Abi. Toh, ia memang tidak ingin sebenarnya berkelahi dengan Adine hanya karena masalah sepele.
***
"Kayaknya lo keterlaluan, Dine."
Gadis berambut cokelat terang itu memasang tampang serius, membuat Adine yang sedari tadi menyeruput ice americano-nya jadi mengernyit menyadari ada yang tak beres dengan tingkah sahabatnya itu, Rachel.
Adine menegakkan posisi duduknya, "Gue? Keterlaluan?" Tanyanya sarkastik. Kemudian ia memajukan tubuhnya mendekat pada Rachel yang masih terdiam, "Atas dasar apa lo ngomong gini?"
Rachel mendengus pelan. Masih ragu membicarakan hal yang sudah lama hinggap di pikirannya itu tetapi dirinya sudah sangat gregetan dengan sikap Adine yang naif.
"Gini ya, Dine, lo itu sebenernya udah kelewat batas sama kebencian lo sama Vievy, tau nggak? Gue tau lo marah sama dia karena kejadian Kak Viora, tapi nggak seharusnya lo nyalahin Vievy, Dine. Waktu kejadian itu Vievy kan masih kecil. Dia belum ngerti apa-apa."
Nafas Adine langsung memburu. Rachel telah menyentil perasaan Adine sampai ke bagian yang paling dalam. Dan Adine tidak suka itu.
"Lo tau apa sih?!" Tanyanya sambil menaruh gelas ice americano-nya ke atas meja kafe dengan cukup keras. Membuat isi gelas itu tumpah berceceran ke atas meja. Rachel terlonjak kaget, namun masih bisa menguasai dirinya.
"Gue emang tau, Dine. Gue udah jadi sahabat lo dari jaman taman kanak-kanak. Masa iya gue nggak tau apa-apa? Mikir dong!" Kini Rachel sudah sedikit lebih berani menyuarakan isi hatinya. Setelah selama ini bungkam dengan perilaku Adine yang sering kali menyimpang dengan prinsipnya.
Adine terbelalak. Tidak percaya gadis di hadapannya ini adalah sahabatnya, yang seharusnya mendukung Adine bukan malah mengeritiknya.
"Bukan cuma masalah Viora aja, Ra! Dari dulu dia udah bikin gue benci, dari mulai ngambil perhatian guru, ngambil temen-temen yang seharusnya main sama gue, dan yang terakhir, dia udah buang Abi jauh-jauh seakan Abi nggak pantes buat dia. Orang egois kayak dia emang perlu dibuat sadar, Rachel!" Adine jadi meluapkan seluruh kebenciannya untuk Vievy di hadapan Rachel. Adine masih perlu menjelaskan sejelas-jelasnya pada Rachel agar gadis itu tidak berpikiran yang aneh-aneh pada dirinya.
Rachel sebenarnya sangat mengerti Adine. Ia tahu Adine selama ini menganggap Vievy sebagai rival, bersikap jahat kepada Vievy, dan membongkar rahasia Vievy, itu semua murni hanya karena gadis itu membenci Vievy. Adine benci dengan kenyataan apa yang tidak ada pada dirinya, namun semua dimiliki oleh Vievy.
"Lo tau kan, Ra, gimana deketnya gue sama Viora dulu? Dia yang selalu nemenin gue di sekolah disaat nggak ada yang mau main sama gue. Dia juga yang selalu ngasih gue semangat, di saat nilai-nilai gue ada di bawah nilai-nilai Vievy. Gue tuh, kayak merasa tersentuh sama sikap Viora, Ra. Dia kakaknya Vievy, tapi bisa baik banget sama gue. Makanya, sejak Viora meninggal karena ulah childishnya Vievy, gue jadi makin benci sama tuh cewek! Dia udah ngerampas semuanya, Ra!"
Nafas Adine tercekat, ada bulir-bulir air mata yang jatuh membasahi pipinya. Adine segera menyeka air mata tersebut dengan ujung jemarinya. Entah kenapa gadis itu jadi lebih sensitif dari biasanya.
Rachel terenyuh memandang Adine yang tidak bisa mengontrol perasaannya, "Gue minta maaf udah nyinggung soal Kak Viora, Dine. Tapi, kalo gue boleh berpendapat nih, udah saatnya lo berdamai sama Vievy, Dine. Lo seharusnya udahin semua kebencian lo itu. Lurusin semuanya ke Vievy. Biar hidup lo nggak penuh kebencian lagi."
Adine jadi berhenti terisak kemudian tertegun. Apa benar selama ini dirinya sudah keterlaluan terhadap Vievy?
************************************
Kaget nggak kalian aku langsung update 2 part hehe
Btw Adine yaampun, antara kasian dan nyebelin :(
Jangan lupa vote comment!
With love, K.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vievy [COMPLETED]
Fiksi RemajaSudah bertahun-tahun Vievy hidup dibayangi dengan masa lalunya. Sembunyi dalam kepribadian juteknya yang seakan menjadi tameng. Tameng dari segala keingintahuan orang-orang tentang masa lalunya. Hidup Vievy memang tidak pernah tenang. Namun gadis it...