Hari yang dinanti akhirnya datang. Hari perpisahan yang akan memisahkan sementara Vievy dengan Zaidan. Zaidan memang sudah menyiapkan hati. Meski di dalam dirinya ia rapuh tetapi dia enggan menunjukkannya lagi. Setidaknya selama mengantar kepergian Vievy. Biar gadis itu tak mengkhawatirkan Zaidan. Biar Zaidan bersedih tanpa diketahui gadis tersebut.
Di sinilah Zaidan. Duduk di kursi tunggu sambil memandangi Vievy dari kejauhan yang sedang mengurus tiket dan visanya. Zaidan menghela napasnya. Suasana hatinya agak mendung hari ini. Lelaki itu memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Ia tak menghiraukan teman-teman di sampingnya yang sedang bercanda gurau berusaha mencairkan suasana.
Bukan hanya Zaidan yang diam saja. Genta pun begitu. Anak itu sedari tadi memang tak bicara sama sekali, bahkan kepada Vievy sekalipun. Membuat Okta yang duduk di samping kanannya jadi mengelus pelan pucuk kepala Genta. Okta memang sudah menganggap Genta seperti adiknya sendiri.
Genta yang diusap begitu makin tak kuasa membendung air matanya. Napasnya tercekat, merasa sesak di tenggorokan. Genta mencoba bernapas dengan teratur tetapi gagal. Lelaki itu malah jadi menitikkan air mata. Lama-lama tangisnya pecah sampai Okta jadi kewalahan memegangi bahu Genta yang bergetar.
"Kak, gue bakal bener-bener sendirian disini. Nggak ada lagi orang yang bakal merhatiin gue," katanya masih dengan nada bergetar. Genta mencoba untuk menguasai diri namun tangisnya enggan berhenti.
Zaidan yang ada di sisi kiri lelaki itu jadi memajukan posisi duduknya. Ia menepuk-nepuk pelan punggung Genta, entah kenapa jadi merasa terpanggil untuk menghentikan tangis lelaki itu.
"Gen, udah. Vievy nggak akan senang ngeliat lo nangis," Zaidan membuka suara, setelah sekian lama diam saja terlarut dengan pikirannya sendiri. Tangis Genta ini menyadarkannya untuk segera menjadi kuat. Menjadi Zaidan si jagoan yang pantang menangis.
Kali ini Genta benar-benar tak sanggup. Memang benar ia kelihatan tengil, pecicilan, dan tidak takut apapun, tetapi itu semua karena rasa frustasi yang dipendamnya selama ini. Genta kesepian, itu benar. Namun Genta tahu ia tidak bisa menyalahkan siapapun. Karena orangtuanya bekerja untuk dirinya dan Vievy. Bukan untuk hal yang lain. Genta merasa dirinya tidak cukup pantas untuk mendapatkan segala hal yang dimilikinya sekarang. Genta merasa tak berguna.
Vievy selalu memperhatikannya di saat ia membutuhkan itu. Vievy selalu memarahinya di saat ia sedang dalam mode nakal. Segala hal yang Genta pikir sepele itu kini tidak akan ia dapatkan lagi. Genta memang terkadang sebal, tetapi itu tak mengurangi rasa senangnya diperhatikan. Vievy akan pergi, seharunya Genta sudah tahu itu. Namun sebelumnya Genta menganggap ini tidak penting. Giliran sudah waktunya gadis itu berangkat, barulah Genta menyadari semuanya. Bahwa kakaknya adalah sumber ketenangan yang ia miliki. Bukan dengan merokok, balapan liar, atau bermain bersama teman hingga tak ingat pulang.
"Gue terlambat sadar, Bang. Selama ini Vievy galak tapi itu karena dia sayang sama gue... Tapi gue malah sering bersikap bodo amat sama dia... Gue pengen ikut Vievy aja disini gue bakal kesepian," katanya sambil sesenggukan. Berkali-kali ia menyeka ingus yang memenuhi hidungnya dengan tisu yang Adine berikan.
"Udah dong Gen, lo malu-maluin ih nangis depan umum kayak gini," Abi ikut bergabung duduk berjongkok di hadapan Genta, lelaki itu berdecih, "Cih, katanya udah gede, masa ditinggal Vievy sebentar udah nangis aja kayak anak kecil."
Mendengar itu Langit jadi menatap Abi malas, "Lo kalo nggak bisa ngebantu mending mingkem aja."
Abi ingin memukul pelan Langit tapi langsung ditahan oleh Adine. Gadis itu menggeleng mengisyaratkan untuk berhenti. Ini bukan waktunya untuk bertengkar.
Tangis Genta belum kunjung berhenti, membuat Zaidan jadi menggeser kepala lelaki itu ke pundaknya. Zaidan memeluk Genta dan menenangkannya. "Bentar lagi Vievy balik, lo harus udah diem, ya? Jangan nangis lagi. Gue paham ini berat bagi lo, tapi Vievy juga pasti merasa berat ninggalin lo, ninggalin gue, ninggalin kita semua. Jadi ayo jaga perasaan Vievy supaya dia nggak khawatir di sana. Oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Vievy [COMPLETED]
Teen FictionSudah bertahun-tahun Vievy hidup dibayangi dengan masa lalunya. Sembunyi dalam kepribadian juteknya yang seakan menjadi tameng. Tameng dari segala keingintahuan orang-orang tentang masa lalunya. Hidup Vievy memang tidak pernah tenang. Namun gadis it...