"Sekarang gue tanya, lo mau nggak buang ego lo untuk minta maaf sama Vievy?"
Abi menatap lama mata hazel milik Adine yang redup itu. Ada isyarat kesedihan di dalamnya. Membuat Abi jadi tidak tega untuk mengasari gadis tersebut seperti yang sering dilakukannya.
Wajah Adine berbeda dari biasanya. Gadis yang selalu memasang tampang tangguh dan paling anti dengan air mata itu kini sedang menahan bulir-bulir air yang memenuhi matanya sampai matanya terasa perih.
"Karena bagaimanapun, apa yang lo perbuat terhadap Vievy itu tetap salah, Dine. Mau lo ngomong beribu-ribu alasan pun, kalau salah ya tetap salah. Alasan itu nggak bisa membuat sebuah perbuatan salah menjadi benar," sambung Abi, yang kini menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Adine. Walaupun keduanya tetap terpisahkan oleh meja kafe.
Pikiran Adine berkecamuk. Segala rasa yang ia miliki kini menjadi satu membentuk sebuah gumpalan kusut yang tak bisa diurai. Adine pikir, dengan menyiksa Vievy itu sudah dapat membuat hatinya meringan dan kebenciannya terhadap Vievy memudar. Tapi ternyata ini tak semudah yang ia kira. Adine ingin melarikan diri saja kalau bisa.
Adine mulai berpikir bahwa perbuatannya selama ini adalah kesalahan. Tapi gadis itu masih enggan untuk mengakuinya. Dinding ego dalam diri Adine masih berdiri kokoh, walau sudah diterpa badai yang cukup dahsyat.
"Heh, lo dengerin gue nggak sih?"
Gadis itu kemudian berdeham, lalu menghela nafas panjang seakan telah lelah dicecar oleh lelaki di hadapannya. "Buat apa? Buat apa gue minta maaf sama Vievy, Bi? Denger ya, Bi, Vievy itu jelas salah karena dia udah sok-sokan nutupin keburukannya, padahal dia sendiri yang menyebabkan keburukan dia itu. Dan gue pengen dia ngerasain seenggaknya sedikit rasa penyesalan. Cuma itu, Bi. Emangnya salah?"
Adine itu memang tipikal orang yang paling anti menjilat ludah sendiri. Walaupun pada kenyataannya kini hati dan pikirannya telah berubah 180 derajat dari sikap awal gadis tersebut.
Abi jadi mengepalkan telapak tangannya sendiri karena kesal.
"Salah, Dine. Salah. Harus berapa kali, sih, gue bilang sama lo? Cara lo itu salah," ucap Abi gemas lalu meraih gelas americano miliknya dan segera menyeruput minuman itu perlahan. Setelah berdebat panjang dengan Adine, Abi jadi merasa tenggorokannya kering karena kebanyakan berbicara.
Adine masih memandangi Abi yang kini sedang menggeser-geser layar ponselnya dengan asik. Seolah lelaki itu tak peduli lagi dengan pemikiran Adine. Lalu gadis itu mengusap wajahnya perlahan. Merasa teracuhkan. "Gue pulang aja deh!"
Adine kemudian mengambil tas selempangnya dan sudah bersiap untuk pergi, tapi Abi dengan sigap menaruh ponselnya dan mencegah Adine untuk bangkit dari tempat duduknya. Mau tak mau gadis itu menuruti Abi dan kembali duduk dengan pasrah.
"Lo tuh nggak bisa, ya, diem dulu sebentar? Gue lagi balesin chatnya Okta, katanya hari ini dia bakal ke rumah Vievy buat bujuk orangtuanya yang lumayan keras dalam mendidik Vievy itu," jelas Abi, walaupun seharusnya ia tak perlu menjelaskan sedetail itu pada Adine. Tapi entah kenapa lelaki itu merasa Adine perlu tahu.
"Oh bagus! Vievy emang perlu dididik dengan keras, biar dia nggak bertingkah macem-macem lagi," sahut Adine ketus lalu melengos ke arah lain. Membuat Abi jadi menatapnya maklum. Gadis itu kumat lagi.
"Udah dong, Dine. Jangan hujat Vievy lagi. Lo harus sadar kalau kejadian kakaknya Vievy itu emang udah takdir, nggak bisa diganggu gugat." Abi menatap mata bulat Adine dalam-dalam. Membuat gadis itu jadi mematung lalu mengerjapkan matanya beberapa kali.
Adine berdeham, menormalkan kembali detak jantungnya. Ia sadar saat ini bukan waktu yang tepat untuk menganggap Abi memperlakukan dirinya secara spesial. Tapi Adine tak bisa menahan diri untuk tidak gugup, karena ditatap seperti itu oleh Abi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vievy [COMPLETED]
Teen FictionSudah bertahun-tahun Vievy hidup dibayangi dengan masa lalunya. Sembunyi dalam kepribadian juteknya yang seakan menjadi tameng. Tameng dari segala keingintahuan orang-orang tentang masa lalunya. Hidup Vievy memang tidak pernah tenang. Namun gadis it...