[21] Killing Me

390 42 3
                                    

Suara dentuman musik menyeruak mengisi ruangan dimana Vievy berada. Vievy tak henti-hentinya meratapi nasibnya yang nggak pernah berjalan mulus itu.

Jemari Vievy berkali-kali mengetuk meja di hadapannya. Seharusnya, Vievy tidak cocok dengan lingkungan tempatnya sekarang. Namun, sekarang Vievy sama sekali tidak merasa risih dengan orang-orang yang menari diiringi musik. Walaupun suasana disini terasa hype, justru gadis itu merasa dirinya kosong.

Kalian pasti tahu, 'kan, Vievy ada dimana?

Yap. Klub.

Vievy tidak pernah membayangkan dirinya akan mendatangi klub malam lagi. Setelah kejadian 3 tahun yang lalu. Rasanya Vievy seperti manusia hina yang nggak tobat-tobat walau sudah pernah celaka berkali-kali.

Vievy duduk dipojok bar sambil memandangi orang-orang yang sedang menari mengikuti irama musik. Sesekali ia melirik minuman beralkohol yang dikenal dengan nama soju, yang sudah dipesannya satu jam yang lalu namun belum disentuh olehnya.

Awalnya Vievy hanya penasaran dengan soju karena sering menonton drama Korea, namun setelah datang kesini ia tidak tahu harus pesan apa, sementara jika dirinya tidak memesan apapun pasti akan terlihat norak. Jadilah gadis itu memesan satu botol soju.

Ah, Vievy bodoh. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi.

"Bego. Ngapain mesen soju?! Mahal lagi harganya! Duit gue abis cuma buat beli minuman, sial!" Vievy mencaci dirinya sendiri. Gadis itu baru menyesal sekarang. Untuk apa dia pesan minuman kalau ujung-ujungnya nggak akan dia minum?

Seorang gadis yang terlihat seperti berumur 20 tahun menghampiri Vievy dan duduk di sebelahnya. Gadis berambut pendek berwajah oriental itu memandang minuman di hadapan Vievy lalu tersenyum kearah gadis tersebut, "Baru pertama kesini?"

Mata gadis itu seperti melakukan scan pada penampilan Vievy, ia memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Vievy. Memang sih, Vievy cuma pakai kaos putih dibalut kemeja hitam, celana jeans, dan sneakers putih. Berbeda sekali dengan dandanan gadis tersebut yang glamor.

"Minumannya kok belum disentuh sih? Percuma tau, dateng kesini tanpa nyobain nge-drunk!"

Vievy tersentak lalu refleks meraih gelas minumannya, "N-nggak kok, ini baru mau diminum."

Gadis itu nampak kaget, "oooh, kirain lo cuma beli tanpa nyicipin. Abisnya sebagai langganan klub ini, gue nggak pernah liat muka lo beredar sebelumnya disini."

Vievy hanya tersenyum samar.

"Oke deh, have fun! Gue mau ke toilet dulu," pamit gadis itu lalu segera bangkit meninggalkan Vievy.

Setelah gadis berambut pendek itu menghilang dari pandangan Vievy, Vievy kembali menatap minuman dalam genggamannya. Tanpa memikirkan apa-apa, Vievy segera meneguknya dan merasakan sensasi yang baru pertama kali ia rasakan.

Seketika, Vievy merasakan matanya semakin lama semakin sayu, entah karena efek minuman itu atau Vievy hanya mengantuk. Yang jelas Vievy tidak bisa membedakan.

Vievy jadi bergumam tidak jelas sampai membuat seorang lelaki jangkung berambut hitam legam yang sedari tadi memperhatikan gadis tersebut mendatanginya. Tatapan lelaki itu tidak dipedulikan oleh Vievy. Ia terlalu mabuk untuk merespon lelaki tersebut.

"Vievy bukan sih?" Lelaki itu memberanikan dirinya untuk bertanya. Walaupun, keadaan orang yang ditanya sedang tidak stabil.

Lelaki itu menelisik wajah Vievy dengan mata elangnya. Memastikan bahwa gadis di hadapannya adalah Vievy. Adik dari teman perempuannya yang sudah meninggal.

Mendengar namanya dipanggil, sontak Vievy segera menegakkan tubuhnya dengan setengah sadar.

"Hah? Iya? Gue Vievy...Vievy," sahut Vievy seperti orang mabuk. Ya memang mabuk, sih. Setelah itu, tubuh Vievy pun tumbang dan dengan sigap ditangkap oleh lelaki itu.

"Loh, Vie? Lo mabuk? Astaga," lelaki itu terlihat kaget namun tanpa basa-basi segera membawa Vievy keluar dari klub. Ia berniat membawa Vievy ke apartemennya. Membiarkan gadis itu beristirahat.

Dalam perjalanannya menuju apartemen, lelaki itu sesekali melirik ke arah kursi penumpang tempat Vievy tidur. Pikiran lelaki itu langsung melesat jauh ke belakang, mengingat peristiwa demi peristiwa yang dialaminya bersama dengan kakak kandung Vievy, Viora.

Ra, adek lo semakin mirip sama lo deh. Gue pangling.

***

Waktu Vievy bangun dari tidur panjangnya—iya, gadis itu benar-benar tidur panjang sampai 12 jam!—Vievy langsung berteriak sangat kencang hingga membangunkan sang pemilik apartemen yang tidur di ruang tengah dengan beralaskan sofa.

Bagaimana tidak, Vievy bangun dengan keadaan telah berganti baju. Dengan panik, gadis itu memaki-maki lelaki yang baru saja terbangun itu tanpa henti. Ia memukul punggung lelaki itu dengan guling yang dibawanya dari kamar.

"Mati gak lo! Mati gak lo!" Teriak Vievy tanpa bisa mengontrol perkataannya. "Lo kemanain baju yang gue pake?!"

Vievy kemudian menangis, ia menyangka lelaki tersebut telah melecehkan dirinya. Ia tidak sanggup menerima kenyataan bahwa ia telah dilecehkan dua kali.

"Gue nggak apa-apain lo kok! Yang gantiin baju lo itu kakak perempuan gue, yang tinggal di apartemen sebelah!"

Vievy terdiam. Ia mengerti lelaki ini bukan tipe lelaki yang bisa berbuat seenaknya pada perempuan, namun yang Vievy tidak mengerti adalah pikiran Vievy yang makin lama makin rumit hingga membuat kepala Vievy rasanya mau pecah. Vievy langsung memegangi kepalanya.

Sepertinya trauma yang Vievy alami dahulu kembali muncul. Vievy mulai merasa sesak dalam dirinya. Ia seperti terkurung dalam ruang sepit yang gelap gulita. Gadis itu terus menjerit-jerit seperti orang gila.

Kini di pikiran Vievy terbesit keinginan untuk bunuh diri. Iya. Tidak apa-apa. Mungkin bunuh diri adalah satu-satunya cara agar terlepas dari semua rasa sakit ini.

Dengan segera Vievy menyambar pisau bekas memotong buah yang tergeletak di meja makan. Kemudian Vievy menarik lengan baju yang dikenakannya hingga memperlihatkan pergelangan tangan Vievy yang penuh luka gores. Lalu Vievy mengarahkan mata pisau tersebut ke pergelangan tangannya.

"Gue mau mati aja! Gue mau mati! Gue capek nahan ini semua!"

Sontak lelaki itu panik. Entah bagaimana harus menangani Vievy.

"Vievy! Please, gue nggak tau lo lagi ada masalah apa, tapi jangan bertingkah bodoh kayak gitu. Viora nggak bakal suka!"

Vievy makin menjerit mendengar nama kakaknya disebut, "Gue mau nyusul dia, biar semua orang puas!"

Vievy menempelkan pisau itu mengenai kulitnya, lalu ditekannya kuat-kuat hingga mengalirkan darah yang berceceran jatuh ke lantai.

Menyadari nasehatnya tidak mempan, lelaki itu mulai mendekat ke arah Vievy. Dengan satu gerakan, lelaki itu berhasil merebut pisau dari tangan Vievy meskipun tangannya ikut tergores karena perlawanan dari Vievy. Dibuangnya pisau itu jauh-jauh. Sampai tak bisa diraih lagi oleh Vievy.

Tubuh Vievy ambruk. Darah yang berceceran dimana-mana membuat kejadian ini seperti adegan dalam film thriller. Lelaki beriris mata cokelat itu langsung membawa Vievy ke kamar. Kemudian mengambil ponselnya untuk menelpon kakak perempuannya yang merupakan dokter dan memintanya untuk datang ke kamar apartemen lelaki tersebut.

Lelaki itu memandangi Vievy yang masih tidak sadarkan diri, "Lo gak inget gue, Vie? Gue Aqsa. Cinta pertama dan terakhirnya kakak lo."

************************************

Ayo promosiin Vievy ke teman teman kalian, dear readers! Jangan lupa vote dan comment ya! Karna vomment kalian sangat berharga untuk saya beneran :')

With love, K.

Vievy [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang