Jangan Sedih (Bagian Pertama)
"HAH?!!", aku terkaget melihat di sampingku ada Agnes Monica yang memakai pakaian perawat. Pakaian yang dia gunakan sangat seksi. Bajunya cukup ketat dengan balutan syal putih dilehernya. Rok mininya memperlihatkan kulit kakinya yang mulus. Rambutnya disemir dengan warna blonde merah yang diikat dan ditutupi dengan topi perawat pada umumnya. Terlihat Agnes sedang membetulkan selang infus ditanganku. Dan sekali-kali dia mengedipkan matanya ke arahku dengan genitnya. Ohh senangnya hatiku. Ternyata yang merawat ku adalah Agnes Monica.
Agnes Monica terlihat sedang mengambil sebuah benda panjang dari bawah. Bendanya panjang dan besar sepertinya itu mirip sekali dengan suntikan. Tapi kok besar sekali? Dan Agnes pun mengarahkan benda itu ke tanganku.
"Ngga sakit kok, pelan-pelan aja", kata Agnes dengan suaranya yang menggoda. Aku yang melihatnya hanya bisa berteriak.
"TIIIIDAAAKKKKKKKKK!!!!!!!".
Mataku akhirnya terbuka. Ternyata yang tadi itu hanya mimpi. Kenapa ya akhir-akhir ini aku sering mimpi yang buruk sekali. Apakah itu efek dari galaunya perasaanku saat ini?
Mataku mulai berputar melihat keadaan sekitar. Aku sepertinya berada di ruang pasien rumah sakit. Aku lihat di kiri ada Ferdy lalu aku toleh ke kanan ada Dika. Keduanya lagi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Dika lagi membaca novelnya Raditya yang terkenal itu sedangkan Ferdy sedang asyik bermain game dengan hp-nya.
Sepertinya ruanganku ini bisa disebut ruangan mayat. Sudah suhu ruangannya sedikit sejuk lembab, agak kecil lagi. Yang pasti ruangan ini cukup terasa sejuk karena di samping atas ada AC yang di stel dengan suhu ruangan biasanya. Di ruangan ini hanya terdapat 2 buah kursi di samping kiri dan kanan ranjangku, lalu meja yang kayaknya buat taruh obat atau makanan terus ranjangku yang tepat di tengah ruangan. Ada satu jendela yang memberi cahaya masuk ke ruanganku selebihnya cahayanya berasal dari lampu. Kayaknya orang tuaku terlalu banyak mengeluarkan uang kalau aku lama-lama diruang inap. Lalu di atas pintunya ada jam dinding yang menunjukkan jam 8 pagi. Sepertinya aku tadi malam pingsan cukup lama dan yang aku ingat saat itu hanya sedang berlari menjauh dari Ferdy.
Aku pegang kepalaku bagian kanan. Dipelipisnya ada perban kecil yang menutupi luka. Rasanya agak sakit sedikit dan membuat kepalaku pusing.
"Uhhh", erangku sambil memegang kepalaku.
Ferdy dan Dika yang melihat aku sudah siuman segera berdiri di samping ranjangku. Mereka berdua terlihat cemas dengan keadaanku, terutama Ferdy. Wajahnya menunjukkan perasaan bersalah dan kalut mungkin saja dia seharian menunggu aku. Sedangkan Dika datang dengan menggunakan seragam sekolahnya.
"Kamu ngga apa?", mereka berdua saling bersahutan.
"Aku kenapa?", tanyaku bingung.
"Kemaren kamu pingsan", jawab Ferdy. "Tapi beneran ngga apa-apa?"
Aku berusaha untuk tidak menjawab pertanyaan Ferdy. Aku palingkan wajahku ke Dika yang tersenyum menatapku.
"Haus...", pintaku.
Ferdy terlihat panik dan ingin bergegas mengambil air yang berada di samping Dika.
"Sudah biar aku aja", pinta Dika sembari menuangkan air ke dalam gelas.
Aku segera bangun dan bersandar di sisi atas ranjangku. Agar saat aku minum bisa lebih gampang.
"Ini", Dika membimbing tanganku. Terlihat jelas di tangan kiriku ada infus yang dipasang. Agak ngeri juga lihat selang seperti itu masuk menembus kulit.
"Hem...", gumamku.
"Napa?", tanya Ferdy yang masih berdiri di sampingku sedangkan Dika menyeret kursinya agar bisa duduk di sampingku juga.
"Aku mau ngomong sama Dika", jawabku.
Ferdy hanya diam dan menatap semu kepada Dika. Dan kembali mengembalikan pandangannya ke wajahku. Sengaja memang wajahku buat dengan mimik kecewa. Seakan-akan kalau aku tidak menginginkan Ferdy di sini.
"Ok lah", jawab Ferdy meninggalkan aku berdua dengan Dika.
"Aku hubungi orang tuamu", ucap Ferdy saat melewati pintu ruanganku dan menutupnya kembali.
"Kamu ada apa dengan Ferdy?", tanya Dika.
Aku hanya bisa tertunduk. Ingin sekali mengutarakan isi hatiku. Tapi apa Dika orang yang bisa dipercaya? Apalagi dengan yang semua diperbuatnya ke aku.
"Aku minta maaf lagi", ucap Dika lirih. "Aku ngga bisa apa-apa saat kamu dalam bahaya".
"Sudah Ka", balasku. "Aku ngga apa-apa kok".
"Aku hanya takut kalo kamu sakit karena tadi malam".
"Udah, yang pentingkan sekarang aku sudah baikan", jawabku tersenyum. Dalam hatiku masih ada sedikit keraguan untuk memaafkan Dika kedua kalinya. Tapi aku cukup yakin Dika tidak seperti yang aku takutkan.
"Kamu kok ngga sekolah?", tanyaku.
"Ngga, aku izin", jawab Dika yang mengambil gelas dari tanganku dan menaruhnya di meja.
"Kenapa?".
"Ya karena aku dengar kamu masuk rumah sakit", kata Dika. "Aku takut karena tadi malam jadi sakit".
"Hehehehe", tawa kecilku keluar saat mendengar kata-kata Dika. "Aku boleh tanya sesuatu ga?"
"Mau tanya apa?"
"Emm....", aku mencoba menahan sakit kepalaku karena memikirkan keberanian untuk bertanya.
Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka. Ferdy datang bersama kedua orang tuaku dan tentunya dengan adik tersayangku Shinta. Aku lihat Ibuku membawa beberapa kue kesukaanku salah satunya risoles. Ya aku bisa nebak karena ibuku membawa plastik putih yang transparan. Ada yang terakhir datang masuk ke ruanganku setelah keluarga beserta calon mantu, hem tidak kayaknya. Siapa lagi kalau bukan Perawat. Perawat itu membawa obat-obatan ditangannya dan tas kecil ditangan sebelahnya. Akhirnya ruangan aku jadi ramai sekali. Aku akhirnya menghentikan pembicaraanku dengan Dika. Padahal aku ingin sekali menanyakan kejadian tadi malam ke Dika. Tapi apa daya keadaan sepertinya tidak mengizinkan. Agak sedikit kecewa sih.
Dika terlihat meminggirkan dirinya karena Ibuku ingin lewat untuk menaruh kue-kue yang dibawanya. Sedangkan Ferdy, Ayahku dan Shinta berdiri di samping ranjangku. Perawat yang masuk memberikan obat-obatnya ke Ibuku.
"Bu, ini obatnya, jangan lupa diberikan 3 kali sehari", ucap Perawat itu sembari mengeluarkan suntikan dari tasnya. Dia sedang terlihat menyuntikkan infus. Entah sedang menyuntikan apa di infus itu.
"Makanya kalo main itu jangan sampe kecapekan", kata Ibuku dengan nada ketusnya. "Sus, anak saya sudah boleh makan kan?"
"Boleh, tapi yang halus-halus saja dulu", jawab Perawat itu segera meninggalkan kami semua dan mengambil peralatannya yang sempat dia taruh di ranjangku.
Aku lihat sepertinya Shinta, adekku tersayang, mulai gelisah. Dia keluar mengejar Perawat tadi keluar pintu dan kembali lagi kehadapan Ayahku. Mukanya mulai menunjukan ekspresi cemberut. Kayaknya adekku menginginkan sesuatu di rumah sakit ini.
"Pah, aku pengen jalan-jalan", rengek Shinta yang keluar ruangan sambil menarik baju Ayahku.
"Ia, ia", jawab Ayahku yang pergi meninggalkan ruangan bersama Shinta.
"Tadi Mama sudah ketemu sama dokter, katanya kamu bisa balik besok, biar sekarang bisa istirahat sebentar", kata Mamaku yang kembali menata kue dan obat-obatan dari Perawat.
"Hah? Nginap? Aku kan sudah sehat gini?", tanyaku heran.
"Ati-ati lo di samping sini ada kamar mayat", ejek Ferdy.
"Apa sih kamu?!", jawabku dengan nada emosi. Dasar Ferdy tahu saja kelemahanku. Selain takut sama binatang ngga jelas, aku juga takut dengan tempat-tempat seram apalagi nonton film horor.
"Bener itu kata Ferdy", tambah Ibuku.
"Heee Mama", balasku dengan tatapan agak sedikit takut
"Mama sebentar aja disini".
"Terus yang nemenin aku sapa?", rengekku.
"Ngga tahu", balas Ibuku.
"Yahhhhhhhhhhhh", mukaku berubah cemberut. Aku lihat Ferdy tertawa senang dengan keadaan aku yang sedang dilema ketakutan. Apa aku minta tolong sama Dika saja?
"Maaf bu", kata Dika yang berdiri dari tempat duduknya. "Saya mau pulang dulu".
"Ohh, makasi ya Ka, sudah mau nemenin Adit, jadi ngerepotin", jawab Ibuku.
"Makasi ya Ka", sambungku.
"Ia ngga apa-apa nanti malam biar aku temenin Adit", pinta Dika sembari kembali menata buku yang dia baca. Sedangkan Ferdy hanya bisa diam bersandar didinding ruangan.
"Saya pergi dulu ya".
"Ya ati-ati Ka", jawabku melambaikan tangan. Aku lihat Dika keluar dari ruanganku. Sekarang yang tersisa hanya Ibuku dan sudah pasti si Ferdy, orang yang kemaren sudah membuat aku syok dengan pernyataannya. Entah apa perlu aku lupakan untuk sayang sama Ferdy? Sayang di sini dalam arti sebagai kekasih, bukan sayang sebagai saudara atau teman.
Hatiku masih bimbang dengan pilihan sekarang. Melupakan Ferdy atau memberi kesempatan untuk Dika. Aku sudah tidak tahu lagi gimana caranya biar Ferdy -suka- sama aku. Sedangkan Dika, hatiku masih meragukan dia, hatiku masih belum bisa berpaling ke Dika. Hatiku masih ada untuk Ferdy yang sudah membuat aku terluka kemaren malam. Kalau diingat lagi kemaren rasanya hatiku terluka sangat parah dan tidak bisa diobati.
"Yawda Mama mau balik ke rumah dulu, nanti sore mau ke sini lagi", kata Ibuku yang membuyarkan aku dari pikiran sedih.
"Kok cepat sekali Ma?"
"Ya Mama ada urusan".
"Biar aku aja yang jagain Adit, Bu", kata Ferdy yang memotong pembicaraan antara aku dan Ibuku.
"Ngga capek Fer?", jawab Ibuku. "Kamu dari tadi malam lo di sini, apa perlu Ibu bantuin?"
"Ngga apa-apa kok Bu", Ferdy kembali duduk di kursi. Dia terlihat cukup lelah mungkin saja karena menunggu aku di sini dari tadi malam. "Ntar aku minta tolong Pak Tim bawain baju ganti aku".
"Bener? Maaf ya Ferdy, Ibu jadi ngga enak". Ibuku telah selesai menata makanan bawaannya. "Oya, ni kuenya jangan lupa makan".
"Ia Ma", jawabku.
"Mama tinggalin dulu ya", kata Mamaku sambil mengecup keningku. Jadi senang rasanya dapat perhatian dari seorang Ibu.
"Ati-ati Ma", jawabku.
"Ibu tinggal dulu ya Fer".
"Ia bu", jawab Ferdy.
Ibuku segera berlalu meninggalkan ruangan pasien orang imut-imut. Sekarang tinggal aku dan Ferdy. Aku toleh Ferdy dia tersenyum dengan sangat liciknya. Aku tidak habis pikir dengan apa yang dia lakuin ke aku tadi malam. Rasanya aku dibuat bingung, sudah dicium terus dia bilang cemburu sama Dika ternyata jawabannya dia sayang sama aku sebagai saudara atau sahabat.
"Kamu mau apa?", tanyaku langsung kepokok masalah.
"Maksudmu?".
"Ya mau apa dari aku?!", kata-kataku mulai bernada kasar.
"Aku heran sama kamu, sudah ditolongin kok ngomong ngga jelas gitu?", balas Ferdy yang menatap aku dengan sinis. Sebenarnya aku tidak enak kalau harus berkata kasar dengan dia. Soalnya aku tahu dia sudah bantu aku segala macam hal tapi tetap saja aku kecewa. Wajarlah aku marah.
"Aku cuma pengen kejelasan aja", kataku. "Aku ngga mau sakit".
"Kejelasan apa? Pacaran?".
Aku terdiam saat dengar kata-kata seperti itu dari Ferdy. Pacaran? Yang aku inginkan bukan pacaran tapi kekasih. Aku ingin jadi kekasih Ferdy kalau bisa untuk selamanya.
"Aku masih belum bisa untuk sejauh itu", jawab Ferdy sembari membuka pesan masuk hpnya yang tadi berbunyi.
"Kenapa?"
"Aku ngga bisa kasih jawabnya sekarang", balas Ferdy. "Mending sekarang kamu istirahat dulu, aku mau nemui Pak Tim di depan, sekalian mau mandi".
"Uh", aku membalikan badanku. "Kamu jangan kecewa ntar kalo aku punya yang lain".
"Aku akan merebutnya", jawab Ferdy yang berjalan pergi dari ruanganku.
Aku mulai menutup mataku. Menahan rasa kalut yang ada didadaku. Kenapa Ferdy menggantung perasaanku? Rasanya tidak enak kalau digantung seperti tanpa kejelasan. Andai aku jatuh cinta dengan Dika mungkin sekarang aku bisa bahagia.
Sempat sedikit aku menyeka mataku yang tertutup. Aku sedih memikirkan perasaanku sekarang. Aku ingin cepat-cepat tidur agar bisa bangun dengan keadaan yang ceria dan cerah.***
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Be Your Heart [Completed]
Teen Fiction*Reupload Story* Original Author : steverahardian Gay Themed Story~