Bonus Part 1 (Tristan & Felix Story)

6.7K 144 0
                                    

Gimme All Your Luvin'

Aku tidak menyangka bisa pacaran sama Kak Felix. Awalnya agak meragukan dengan keseriusan dia, tapi lama-lama hatiku tidak kuat juga untuk mengatakan "iya" pada cintanya. Aku tahu Kak Felix memang malaikat buatku, malaikat pelindungku. Tapi sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih buat Riki, aku senang sekali sekarang, kamu sudah memberikan aku kehidupan kedua. Aku juga berdoa buatmu Riki, agar bisa tersenyum selalu disurga, apa yang kamu beri memang sangat berharga. Bahkan sekarang aku bisa mengerti apa itu rasanya bahagia, rasa yang dulu sempat hilang dari hati ini. Terima kasih Riki.

Aku merenung sembari memegang dada kiri. Aku merasakan detak jantungku yang bergerak membawa aliran darah. Darah itu membawa semua perasaan bahagia ke seluruh tubuhku. Sampai aku tidak kuat menahan haru, aku jadi ingat apa yang aku lakukan ke Adit dulu, aku benar-benar bodoh melakukan hal itu, aku merasa bersalah sampai sekarang. Tapi itulah hidup, ada saatnya kita lupa dengan Tuhan ada pula saatnya kita ingat sama Tuhan. Aku selalu berharap aku menjadi orang yang selalu ingat kepada Tuhan.

Awal aku kenal dengan Kak Felix disaat aku datang ke rumah Dika untuk meminta maaf atas perbuatanku yang mencelakakan Adit. Bukannya Dika yang aku temui tapi malah Kak Felix yang sedang duduk di teras menunggu pacarnya (*Rika). Aku biasa-biasa saja melihat Kak Felix saat itu, bahkan tidak terlintas dibenakku buat mendekatinya bahkan berbicara dengan dia. Kak Felix lah yang memulai semuanya, mencoba mendekatiku.

"Cari siapa?", tanya Kak Felix yang tengah duduk di kursi teras.

"Em.. cari Dika", jawabku pelan.

"Dikanya tadi aku lihat keluar gitu", jelas Kak Felix.

"Keluar?",tanyaku bingung.

"Ia keluar".

"Oh gitu ya, terus baliknya kapan?", tanyaku lagi.

"Kurang tahu tuh, aku kan bukan bapaknya".

"Kok gitu? Bukannya tadi bilang Dika ngga ada, berarti tahu kan dia dimana", kataku ngotot.

"Ya kan aku tahunya ngga ada, ribet amat", balas Kak Felix saat itu.

"APA!!", aku mulai emosi. Ini orang kok sewot begitu?

'Halo sayang", tiba-tiba Rika muncul dan mengagetkanku.

"Rika, tahu Dika di mana", tanyaku langsung.

"Loh? Ditanya lagi kan udah di jawab tadi", potong Kak Felix.

"Eh, kenapa ribut gini", Rika kelihatan bingung. "Mas Akid tadi ke Palma bentar, mau beli buku".

"Oh gitu ya, makasi Rika", jawabku. "Kalau tukang bohong susah sih ditanya", aku menatap ke arah Kak Felix.

"Eh, nyindir neh", Kak Felix berdiri dan berpura-pura menantangku.

"Eh, sayang kenapa marah-marah gitu", tanya Rika bingung.

"Emangkan tukang bohong", kataku menjulurkan lidahku mengejek Kak Felix.

"Oh nantang ya?", Kak Felix menaikan lengan bajunya seakan-akan menantangku berkelahi.

"Sudah-sudah!", kata Rika menarik Kak Felix masuk ke dalam rumah. "Kamu pulang aja Tristan, biar aku urus".

"Makasi Rika, aku pulang dulu ya", jawabku sembari melambaikan tanganku dan tersenyum licik ke arah Kak Felix..

"Jangan kabur!", Kak Felix mencoba bergerak tapi sudah dihalangi oleh Rika. Aku pun bisa pulang dengan tenang dan puas sudah buat manusia bengil itu marah. Masa orang tanya jawabnya sewot gitu? Cowok macam apa kayak gitu? Kayak banci aja.

................................................

Yah semenjak itu Kak Felix terus-terusan menggoda aku, sampai akhirnya dia tahu aku satu sekolah dengan dia. Bahkan dia pun tahu rumahku di mana. Soalnya rumahku letaknya 2 blok dari rumahnya Dika, tidak jauh, dan mudah ketahuan oleh dia. Yang aku herankan, kenapa dia itu hobi sekali godain aku? Apa aku ini musuh abadinya sampai-sampai dia tidak rela kalah sama aku?

Saat itu aku lagi sedang asyik naik sepeda keliling komplek, yah hitung-hitung lagi ingin olahraga di sore hari yang panas. Lagi santai menikmati udara komplek rumahku, agak dekat sama hutan makanya agar segar udaranya, ternyata lewatlah Kak Felix yang sedang menaiki sepedanya. Aku begitu syok melihat dia mengayuh dengan begitu cepatnya ke arahku. Aku yang ketakutan melihat wajah beringasnya segera mengayuh cepat sepedaku. Tanpa sadar aku masuk ke dalam jalan di hutan, begitu sepi apalagi sudah mulai sore.

Aku toleh kebelakang ternyata Kak Felix sudah tidak kelihatan lagi. Kemudian aku berhenti sebentar dan turun dari sepedaku. Sembari mengembalikan nafasku yang tersengal-sengal, aku melihat sekeliling hutan, banyak pohon yang kecil, lalu ada hamparan ilalang gambut yang cukup luas. Begitu asri dan mempesona, ternyata Kalimantan alamnya memang benar-benar hebat tapi sayang lumayan panas tempatnya.

Selesai nafasku sudah kembali normal aku berdiri dari tempat dudukku. Tiba-tiba dari belakangku yang kebetulan semak belukar, ada seseorang yang menyekapku. Di peluknya aku dari belakang, tangannya melingkar dibadanku dengan kuatnya. Mulutku nyaris dibekapnya tapi berhasil aku gigit.

"Uh....siapa!", aku mencoba berteriak tapi suaraku agak serak karena kehausan.

"Diam!", bentaknya yang terus memelukku dengan kuat.

"Uh....", aku mencoba menggerakan badanku untuk menoleh ke belakang dan betapa kagetnya aku ternyata orang itu dia. "Nga...pain... kamu?!".

"Sssttt... diam! Ato aku bunuh kamu di sini?", bentak Kak Felix saat itu. Kedua tanganku bergerak untuk mencoba melepaskan tangannya tapi usaha itu sia-sia, tenaganya sangat kuat.

"Jangan kak....", aku mulai tersedu menangis.

"Diam! Jangan nangis", bentaknya. Tiba-tiba tangannya mulai mengarah ke dada kananku. Tangannya mencoba meremas dadaku, tapi aku berusaha untuk melepasnya.

"Ja...ngan...", aku sudah tidak kuat diremas seperti itu, kemudian tangan satunya memegang erat pinggulku sembari melingkarkannya di perutnya.

"Suka?", tanyanya yang melihat ekspresiku yang berubah mendadak. Awalnya aku mau menangis tapi sekarang aku malah merem, menahan rangsangan yang dia berikan.

"A...ku.. bi...lang jangan...", kataku mendesah. Aku mencoba menahan rangsangan yang diberikan oleh Kak Felix.

"Ini hukumannya karena sudah meledekku", tangannya mulai meremas dadaku, jarinya mengarah keputingku dan dipelintirnya.

"Ah....maaf kak.....", kataku lagi. Mukaku berubah merah karena mencoba terus menahan dan menolak rangsangan itu. Tanganku masih berusaha menahan tangan Kak Felix. Selang beberapa menit Kak Felix melepaskan pelukannya.

"Dasar homo", katanya setelah melepas pelukannya. Aku yang mendengarnya langsung kaget, astaga jadi aku dikerjain tadi sama dia.

PLAKK!!!

Tanpa ada yang mengkomando aku menampar wajah Kak Felix. Ada rasa marah yang keluar dari tubuhku. Kak Felix begitu kaget aku tiba-tiba menampar wajahnya, dia hanya terdiam dan bingung.

"Kalaupun aku gay, aku masih punya harga diri", aku berlalu pergi dengan kesalnya. Aku kayuh sepedaku meninggalkan Kak Felix sendiri di tempat tadi. Sangat marah dengan ungkapan "Dasar homo", apa dia kira semua gay itu gampangan apa? Anj***!!!!!!!!!

.....................................................

Saat itu aku masih belum tahu nama Kak Felix sampai suatu hari aku ada di rumah Dika. Seperti biasa aku sering bermain ke tempatnya, bahkan nginap di sana. Aku sudah dianggap seperti keluarganya sendiri.

Aku ke rumah Dika bukan lain karena suka membaca koleksi novel milik Rika, koleksi komik Dika juga aku baca. Aku orangnya memang hobi baca, sehari biasanya bisa 1 novel 300 halaman bisa aku selesaikan. Sofa coklat, di ruang tengah adalah tempat favoritku membaca. Pokoknya kalau aku sudah baca disitu jarang ada yang mengganggu bahkan orang tua Dika sekalipun. Yah, alasannya mereka bilang suka melihat aku serius baca, lucu. Tapi aku juga heran dengan alasan itu.

"Kak Tristan aku mau pergi dulu jaga rumah ya", ucap Rika yang pergi melewati ruang tengah. Sesaat dia menatapku yang tidak menjawab perkataannya.

"Hem, serius amat", sindir Rika dan pergi . "Aku ngga kunci rumah". Rika pun menutup pintu rumah dan menghilang dari ruang tengah.

Aku sebenarnya mendengar kata-katanya tapi cuek aja. Soalnya seru baca novelnya, karangan Steve Rahardian, My Rival is My Love (tunggu tanggal terbitnya). Ceritanya biasa saja tapi benar-benar menyentuh pokoknya gimana gitu. Ceritanya mengisahkan dua orang yang menjadi rival sejak SMA dan berlanjut hingga mereka kerja. Wah, pokoknya seru, apalagi kisah cintanya mengharukan.

Entah berapa lama aku habiskan waktu membacanya. Halaman terakhir benar-benar mengharukan, aku sampai menangis membacanya, persis seperti yang aku alami dulu. Baca terakhirnya mengingatkan aku pada Riki. Kalau ingat dia hati ini rasanya semakin galau.

"Seru ya?", seseorang berdiri tepat di samping kepalaku. Soalnya aku membaca sambil tiduran di sofa.

"Iya", jawabku mengusap mataku dan menutup novelnya. Aku duduk dan masih belum sadar siapa orang di sampingku.

"Jadi cowok cengeng, dasar homo", ejek orang itu. Aku pun menoleh mendengar pernyataan yang menyindir seperti itu. Kayaknya pernah dengar suara itu.

'Kamu lagi!!!", ucapku marah melotot ke Kak Felix saat itu.

"Hai", jawabnya sambil menaikan alis mata kirinya dan mengambil novel karangan Steve Rahardian lainnya di meja. "On My Radar? Judul apa-an ini? Kayak sampah".

"Huh!", aku berdiri dan merebut novel kesukaanku. "Ini bukan sampah tapi novel!".

"Kamu ya? Kenapa sih jutek sama aku terus?", tanya Kak Felix.

"Ya kamu sendiri yang mulai, terus ngapain masuk tanpa ngetok pintu dulu?", tanyaku balik. Aku kaget Kak Felix masuk ke dalam rumah. Yang gawatnya saat ini aku sendirian di rumah, bisa-bisa aku dibunuh sama setan alas itu.

"Ngga usah natap aku gitu orang homo!", ejek Kak Felix dengan kasarnya. Aku merasa terhina dipanggil seperti itu, aku tahu aku gay, tapi tidak perlu berteriak seakan-akan gay itu penjahat. Gay juga manusia!

"Ngomong pake otak dong!", aku berusaha memukul Kak Felix dengan novel yang aku pegang. Tapi Kak Felix berhasil menghindar.

"Kurang ajar ya? Berani mau nampar aku", kata Kak Felix emosi.

"Biarin, biar mati sekalian!".

"Kamu ngga tahu sapa aku?".

"Mau kamu presiden kek, mau kakek kakek kek, tetap aja bakal aku hajar", balasku penuh emosi.

"AKU INI KAPTEN TIM BASKET, pria terhormat di sekolah kita!", kata Kak Felix yang setengah berteriak. Ternyata orang yang selama ini menggangguku adalah Kapten Tim Basket, gila!.

"Terus?", ejekku.

Tiba-tiba Kak Felix mendorongku ke sofa. Dia peluk erat badanku hingga aku tidak bisa bergerak lagi, ingin rasanya aku berteriak tapi mulutku tertahan tidak mengeluarkan suara. Tubuhku aneh, tidak mau menuruti keinginanku. Aku hanya bisa diam dan sesekali berusaha melepas pelukannya yang kuat. Tapi usaha itu sia-sia, hingga aku ingin pasrah dalam keadaan ini. Aku pasrah apakah aku mau dibunuh atau diapain. Tapi dalam hatiku aku ingin sekali berteriak.

Saat ini aku berbaring di sofa sembari dipeluk Kak Felix. Aku tidak tahu maksud Kak Felix memperlakukan aku seperti ini? Kemudian, bibir lembut Kak Felix naik keleherku. Digigitnya leherku pelan-pelan. Aku hanya bisa menutup mataku dan menggigit bibirku menahan rangsangan itu. Aku benar-benar lemah kalau dibagian leher. Tapi Kak Felix terus saja berusaha memperdayai kulit leherku, bibirnya pun naik ke arah telingaku. Dihembuskan nafasnya, aku bergetar tak kuasa menahan hembusannya, aku terangsang.

Dihati kecilku berusaha menolak semua apa yang dilakukan Kak Felix tapi tubuhku menginginkannya. Aku tak kuasa saat Kak Felix memasukan lidahnya ke telingaku. Rasanya tubuhku panas dan bergetar. Mataku masih saja tertutup dan suara yang aku keluarkan adalah desahan dari semua rangsangannya. Kak Felix semakin membabi buta mengerjai satu telingaku. Hanya sebuah telinga dan itu membuatku melayang, serasa aku mengalami sakau.

Aku bergetar dan merasakan ada yang keras di atas selangkanganku. Aku rasa benda itu semakin besar dan keras. Aku pun berpikir apakah itu "punya" Kak Felix? Apakah sebesar itu? Kenapa aku memikirkan itu? Aku tidak mau, ini namanya pelecehan. Aku harus.... ahhhhh Kak Felix menggigit kecil telingaku. Aku langsung saja menggeliat bagaikan seekor hamster yang dililit ular untuk dimangsa. Aku benar-benar pasrah, aku rela, aku rela untuk dilecehkan. Aku sudah tidak tahan lagi dipermainkan seperti ini. Rasanya seperti terus mendorong sesuatu keluar dari tubuhku.

Kak Felix begitu leluasa mengontrol setiap lekuk tubuhku, dia terus mempermainkan lidahnya di antara telinga dan leherku. Aku pun mendesah, aku sudha tidak kuat lagi..... aku.... aku... aku ingin lebih... lebih dari ini... tapi kenapa sekarang semua pikiranku diisi dengan sesuatu yang kotor? Itu tidak boleh tapi... aku benar-benar lemah melihat Kak Felix, apakah pria sejati itu seperti ini, bisa membuat orang yang dibuainya benar-benar terbuai hingga lupa keadaan penolakannya.

Aku jadi benar-benar lupa keadaan sekitar, aku sudah tidak peduli siapa nantinya melihat adegan ini. Aku sudah tidka peduli hingga seseorang berteriak.

"FELIX!", orang itu menarik tubuh Kak Felix, melepas pelukannya. Aku yang hanya samar-samar penglihatan melihat orang itu meninju wajah Kak Felix. Spontan saja Kak Felix terbanting ke lantai. Tapi dayaku menipis dan berusaha untuk aku kembalikan. Aku juga berusaha mengumpulkan akal sehatku.

"Dik!", ucap Kak Felix yang bangun dan menahan tamparan orang itu. "Sabar Dik".

"GILA KAMU!!", orang itu teriak dan terus saja berusaha menampar Kak Felix.

Hingga selang beberapa detik akalku pun terkumpul dan bisa menerjemahkan keadaan sekitar. Aku bisa melihat orang itu dengan jelas. Ya sangat jelas sehingga aku bisa memanggil namanya.

"Dika....", ucapku yang menangis tiba-tiba. "Aku takut.......".

Dika yang melihatku menangis membuatnya semakin terbakar jiwa amarahnya. "KURANG AJAR KAMU FELIX!!!".

Brak bruk brak bruk. Terjadilah perkelahian antara Dika dan Kak Felix. Semenjak itu hubungan keduanya renggang. Dika pun memilih keluar dari tim basket karena kasusku. Dan dia yang membuat hubungan Rika dan Kak Felix semakin renggang. Dan sejak itulah aku tahu nama orang itu, Felix Fajar Pratama.

***

I'll Be Your Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang