PART 35

5K 223 3
                                    

Wish You Were Here (Bagian Pertama)

Ah, capek, habis kabur dari Dika membuat aku lelah. Baru kali ini aku mesti naik angkot, mana turunnya jauh lagi dari komplek rumahku. jalan kaki jadinya, panas-panas lagi. Tapi ngga apa-apa asal itu bisa membuatku jauh dari Dika. Ngomong-ngomong aku masih kepikiran Dika, apa yang dia rasakan tahu aku putuskan mendadak seperti itu. Pacaran juga belum ada 1 minggu sudah main putus saja.

Aku letakan tasku di meja belajarku. Aku baringkan badanku di kasur empukku. Masih mengenakan baju seragam, aku berpikir terus tentang kejadian tadi. Bagaimana seandainya aku diperlakukan begitu juga oleh Ferdy, bisa remuk hatiku. Nafasku masih mengatur polanya untuk menenangkan pikiranku. Tangan kananku aku taruh di atas kepalaku. Rasanya dalam berapa bulan ini kejadiannya begitu banyak. Inikah yang dinamakan kalau orang sedang jatuh cinta? Apa pun bisa terjadi.

Aku pegang bekas luka di kepalaku. Masih mengenang kejadian dulu, begitu hebatnya Ferdy yang datang bagaikan pahlawan melawan para penjahat. Kenapa aku masih belum sadar juga? Bahkan dengar cerita dari kak Felix.

............................................

"Ferdy itu.....gay", bisik Kak Felix.

"APA!", jawabku kaget mendengar Kak Felix. "Ga mungkin?".

"Dia sendiri kok yang bilang, aku sih terima-terima saja", jelas Kak Felix dengan muka yang menyakinkan.

"Terus? Kenapa dia?", tanyaku masih heran.

"Dia apa? Ferdy itu suka sama kamu sebenarnya, cuma.... kebanyakan mikir", terang Kak Felix.

.......................................

Aku hanya bisa terdiam saat itu. Mendengar penjelasan dari Kak Felix yang menurutku sedikit masuk akal. Kenapa aku juga tidak sadar? Siapa yang dari dulu perhatian sama aku bahkan menolongku di saat susah? Siapa lagi kalau bukan Ferdy, ya hanya Ferdy seorang. Membayangkan Ferdy membuat hatiku menjadi miris. Air mata jatuh dari kedua mataku. Aku menyesal sudah berbuat seperti ini. Aku sayang kamu Fer.

Andai aku bisa mengerti Ferdy dan tidak terburu-buru berbuat ulah, mungkin saat ini, hubunganku dengan Ferdy bakal baik-baik saja juga hubunganku dengan Dika. Ya Tuhan, kenapa cinta ini membunuhku? Aku....aku..... sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Maafkan aku....

Saat itu hatiku benar-benar gundah. Badanku terasa lemas untuk beranjak bangun dari kasurku. Ibuku yang dari tadi memanggilku untuk mengajak makan siang tidak aku gubris. Rasanya tidak semangat lagi. Aku benar-benar lelah dan akhirnya mataku menutup untuk sementara. Membawaku pergi melayang ke dalam surga mimpi. Berharap di mimpi aku bisa menemukan kebahagian cintaku.

........................................

Entah berapa lama aku tertidur. Rasanya badanku pegal-pegal, apa salah tidur ya? Aku tatap jendela sudah sedikit gelap. Mungkin saat ini sudah sore menjelang malam. Tidurku kayaknya lama sekali. Untungnya kepalaku tidak pusing jadi masih bisa sadar untuk bergerak.

Bajuku jadi kusut, aku bersyukur besok tanggal merah jadi bisa lebih santai dan tidak perlu menyetrika baju yang kusut ini. Apalagi lusanya hari minggu jadi bisa tambah santai. Aku segera keluar dari kamarku. Aku lirik ke sana kemari sepertinya orang tuaku beserta adekku sedang tidak di rumah. Ini gara-gara aku ketiduran jadi tidak tahu orang rumah. Aku beranjak pergi dan melihat secarik kertas di meja makan. Oh, ternyata orang tuaku dan Shinta sedang pergi ke acara temannya. Ibuku hanya menitip pesan makanan sudah disiapkan di meja makan. Ibuku perhatian juga.

Rasanya perut ini lapar, tapi lebih baik aku mandi dulu. Soalnya kalau mandi setelah makan bisa menyebabkan perut buncit. Makanya aku perhatikan terus pola seperti itu. Aku melangkah mengambil handuk. Karena sedang sendiri di rumah ya aku melepas baju di depan kamar mandi. Aku letakan seragam dan pakaian dalamku di bak cucian. Setelah dalam keadaan telanjang aku masuk ke kamar mandi. Airnya terasa dingin, mampu membuat perasaanku jadi tenang.

Aku bersihkan seluruh badanku sebelum di sabun. Aku usapkan sabun di seluruh badanku. Kalau diperhatikan badanku semakin seksi saja. Lalu aku pegang pantatku semakin berisi saja. Membayangkan berisi membuatku tersenyum sendiri. Tapi.... perutku berbunyi keras. Aku percepat mandiku biar perutku bisa terisi dengan makanan.

........................................

Aku utak atik beberapa channel di TV ternyata lebih membosankan. Nafsu makanku jadi ikut-ikut bosan sama makanan. Yah gini kalau ditinggal sendiri di rumah, kadang ya pusing sendiri mau ngapain? Mau komputer juga membosankan. Tidak lupa aku sempat mengambil hp-ku. Aku cek, ternyata ada 20 telepon tidak terjawab semuanya dari Dika. Dan ada satu pesan masuk, pesan itu juga dikirim oleh Dika. Aku baca.

-Dit, aku perlu penjelasan?-

Lalu aku delete.

"Kenapa aku delete", umpatku dalam hati. Tapi aku bingung juga kalau harus menjawab pertanyaan dari Dika. Aku harus jelaskan apa? Jelaskan kalau aku main-main sama dia? Gila apa?! Mending aku diam saja, aku harus menjauhi Dika. Itu mungkin satu-satunya cara biar Dika bisa melupakanku.

Aku kembali menonton channel TV yang baru aku pilih. Aku mencoba untuk menonton berita di TVOne. Sedikit-dikit biar kelihatan pintar. Apalagi di berita lagi heboh kasus korupsi. Kayaknya seru juga menontonnya. Sembari menonton aku lanjutkan makanku. Ayam goreng tepung di campur dengan jus alpukad.

Tok Tok Tok......

Tiba-tiba pintuku berbunyi. Aku tidak mendengar ada suara motor yang datang atau pintu pagarku terbuka? Apalagi sekarang sudah jam 7 malam. Jangan-jangan yang mengetuk itu hantu lagi. Aku menjadi takut. Aku letakan dulu makananku.

'Siapa?", teriakku dari ruang tengah.

Tok tok Tok.....

Orang itu masih saja mengetuk pintunya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Jawab dulu", kataku berusaha memaksa orang itu untuk membuka suara.

Krek krek....

Orang itu berusaha membuka pintu rumahku. dan berhasil pintu rumahku ternyata tidak kunci. Aku yang berdiri di depannya jadi bingung mau gimana lagi? Apa aku harus teriak?

Kreeekk......

Pintu itu perlahan-lahan terbuka. Sesosok pria muncul di hadapanku.

"Dika?!", kataku kaget. "Kamu....".

"Maaf Dit", jawabnya. "Aku sudah lancang masuk rumahmu".

'Kamu bikin aku kaget saja!", keluhku yang masih berdiri di hadapannya.

"Dit, aku mohon beri aku penjelasan", kata Dika memelas dan memegang tanganku.

'Penjelasan apa?", katak berkilah dan mengalihkan pandanganku. Aku tidak mau menjawab pertanyaan itu.

"Dit, plis", mohon Dika.

"Maafkan aku Ka, seharusnya kita ngga begini", kataku sembari melepaskan tangannya.

"Apa salahku?", tanya Dika yang berusaha mencari arah pandanganku tapi aku tetap berusaha tidak melihat wajahnya. Aku tahu dengan orang melihat wajahku orang akan tahu aku berbohong atau tidak.

'Kamu ngga salah Ka, aku yang salah!", aku akhirnya menatap wajahnya. Aku lihat gerutan kesedihan di wajah Dika. Wajah yang berharap bisa kembali ke kekasihnya.

"Ngapain kamu juga ke sini!", bentakku. "Aku bilang kita putus! Putus Ka!".

Dika masih terdiam dan menatap tajam wajahku tapi aku tidak mau kalah menatapnya. Aku berusaha untuk menampilkan kesungguhanku untuk memutuskannya.

"Ferdy?", tanya Dika lagi. "Pasti Ferdy!".

"Bukan!", aku mencoba bersikap galak. "Aku itu....". belum sempat selesai aku menjelaskan sudah dipotong oleh Dika.

"Ferdy kan, pasti Ferdy", kata Dika yang mulai kehilangan kontrol. Tangannya berusaha memlukku sangat kuat. Aku jadi ketakutan melihat perubahan sikap Dika. Sampai sejauh inikah dia cinta sama aku?

'Aku kurang apa Dit?, Dika mulai kehilangan kontrol emosinya. "AKU KAYA, AKU TAMPAN, AKU CINTA SAMA KAMU, AKU KURANG APA DIMATAMU!!!!!".

Aku hanya bisa terdiam sejenak melihat perubahan emosi Dika. Aku menjadi takut untuk membalas perkataannya. Aku takut Dika bertindak diluar pikiran sehatnya.

"Tapi Ka....", aku berusaha mengendurkan suara kerasku.

"TAPI APA!!! FERDY ITU CUMA SAMPAH!".

PLAK!!!!!!!

Tanpa sadar aku menampar keras wajah Dika. Omongannya kali ini tidak bisa didiamkan. Aku tidak mau orang lain mengatakan Ferdy seperti itu. Dika sudah terlalu jauh berpikir. Ini bukan salah Ferdy tapi ini salahku. Salahku membuat Dika seperti ini.

Kami pun terdiam tanpa suara dalam beberapa menit. Dika seolah sadar dari perkataannya.

"Maaf Dit", kata Dika yang sedikit lebih tenang. "Aku sudah terlalu dalam sayang sama kamu".

"Yang harusnya dibilang sampah itu aku", kataku tertunduk. "Aku sudah mempermainkan perasaanmu".

"Kenapa Dit? Aku..aku...", Dika tidak bisa meneruskan perkataannya.

'Aku sengaja mendekatimu hanya untuk membuat Ferdy cemburu", jelasku. Airmataku menetes keluar, pikiranku yang sudah tenang kembali pecah lagi. Rasa gundah mulai bermunculan dipikiranku melayang menabrak butiran-butiran mimpi indahku.

"Maafkan aku Ka", aku menangis dihadapannya. Aku sadar apa yang aku perbuatan layak dihukum.

"Aku lah yang sampah...", kataku.

Dika tiba-tiba mendekapku. Namun aku sudah terlanjur menangis. Aku menangis didekapannya. Aku....aku... hanya bisa mengeluh dan ingin menang sendiri. Tidak pernah memikirkan perasaan orang lain.

'Sudah Dit", Dika mengelus kepalaku berusaha menenangkan aku. "Aku yang salah membuat keadaan begini".

Aku masih tidak menjawab. Aku masih menangis didekapan Dika.

"Harusnya dari dulu aku sadar, kalau aku sudah tidak bisa bersamamu", terang Dika. Setetes air matanya mengalir dari matanya. "Aku harap kamu harus bisa menjaga perasaanmu ke Ferdy, jangan sampai menyesal".

"Maafkan aku Ka", aku melepaskan dekapan Dika. "Aku layak dihukum...".

"Sudahlah Dit", Dika menghapus airmata di wajahku. "Apa yang aku alami ini masih sebagian kecil dari yang aku alami dulu, jadi aku masih bisa tegar".

"Tapi Ka, aku sudah menyakiti perasaanmu".

"Ngga apa-apa kok Dit, asal kamu bahagia aku juga sudah senang, kan kita masih bisa berteman", jelas Dika. Dipegangnya pundakku, Dika agak menurunkan kepalanya sedikit dan menatap aku yang sedang tertunduk lemas. 'Ya?".

"Tapi Ka, aku ngga enak", aku mengangkat kepalaku. Wajahku mungkin terlihat lembab karena air mata yang tadi membasahinya. Sekarang aku sedikit lebih lega mendengar kata-kata dari Dika.

"Tapi apa? Yang namanya cinta itu tidak bisa dipaksakan", jelas Dika lagi.

"Aku malu sama kamu, kamu masih kelas 1 tapi pikirannya dewasa sekali, beda sama aku yang hanay mau menang sendiri".

"Suatu saat kamu pasti jadi lebih dewasa dari aku Dit", kata Dika yang menghela nafasnya. Berusaha bersikap lebih santai sekarang. "Ngomong-ngomong kok sepi?".

"Lagi pergi", jawabku.

"Oh gitu, mau aku temani?", tanya Dika.

"Boleh, tapi....".

"Tapi apa?".

"Tapi aku ngga bisa ngasi apa-apa", jawabku.

"Ngga apa-apa kok", balas Dika.

"Oya, aku punya jus alpukad, mau?", kataku kembali senang.

"Boleh".

"Ya sudah, masuk ke ruang tengah aja dulu", ajakku.

Entah kenapa malam itu begitu mudahnya Dika menerima semua pernyataan dariku. Mulai dari aku yang hanya mempermainkan perasaannya hingga ke lain hal. Mungkin Dika tidak terlalu sayang sama aku jadi bisa melupakan itu dengan cepat. Atau mungkin Dika lebih memikirkan lebih jauh tentang hubunganku dengan dia. Apa pun alasannya, aku berterima kasih dengan Dika yang masih mau berteman denganku. Sedikit tapi pasti perlahan rasa bersalahku mulai surut. Saatnya aku mencoba untuk terbuka lagi dengan Ferdy.

***

I'll Be Your Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang