PART 22

5.5K 281 1
                                    

Jangan Sedih (Bagian Kedua)

Samar-samar aku dengar suara Ibuku. Aku kurang tahu dia sedang berbicara dengan siapa. Perlahan aku mulai buka mataku. Mataku mulai mencerna gambaran yang pertama diterima di ruanganku. Kepalaku sudah agak mendingan tapi aku sempat lupa untuk minum obat tadi siang. Aku gerakan mataku dan melihat Ferdy sedang duduk bermain game di hp-nya. Lalu Ibuku yang ternyata lagi ditelepon oleh seseorang. Sepertinya pembicaraan mereka ada sedikit menyebut namaku. Aku lirik jam dinding sudah menunjukan pukul empat sore. Sepertinya aku lumayan lama untuk tidur.

"Ia bu makasi sudah mau nelpon", ucap Ibuku sembari kembali menutup telepon.

"Gimana bu?", tanya Ferdy.

"Ia biasa aja, kasih kabar", jawab Ibuku.

"Em..", aku bergumam membuyarkan pembicaraan antara Ibuku dan Ferdy.

"Ehh sudah bangun", Ibuku menghampiriku. "Ini Mama sudah siapin obatnya diminum dulu".

"Tapi Mah kan belum makan".

"Ngga apa-apa tadi kata perawatnya, ini obat vitamin aja".

"Yawda", jawabku sembari bangun lalu mengambil gelas dan obat dari tangan Ibuku. Aku meminumnya satu persatu. Rasanya agak sedikit pahit tapi ada juga yang agak manis. Baru tahu ada vitamin yang rasanya manis?
Aku kembali meletakan gelas di meja samping ranjangku dan menata posisi aku bersandar. Aku perhatikan tanganku ternyata selang infusnya sudah dicopot. Kapan ya? Padahal aku sambil tidur.

"Infusnya mana Mah?", tanyaku heran.

"Udah dicopot tadi, sambil kamu tidur", jawab Ibuku.

"Lucu ya bu, ada orang tidur yang ngga sadar selang infusnya dicopot, untung bukan di S-U-N-T-I-K, suntik", ejek Ferdy.

"Napa sih Ferdy ne..", balasku. "Ma, lapar..."

"Ni makan kuenya aja dulu, tadi Mama sudah pesan bubur sama perawatnya"

"Kok bubur?", tanyaku.

"Ya sementara makan itu dulu", Ibuku terlihat sedang menggelar tikar di lantai. Dan beliau duduk di tikar itu. Ferdy yang tadinya dikursi sekarang ikut merebahkan tubuhnya.

"Capek juga", keluh Ferdy.

"Makasi ya Fer, udah mau nolongin Ibu", kata Ibuku.

"Ia sama-sama bu", balas Ferdy kembali bangun dari rebahannya. "Harus kemaren pilih yang ada TVnya"

"Ahh jangan mahal itu, ngga enak Ibu jadinya".

"Hehehe ya ngga apa-apa Bu", senyum Ferdy.

Aku jadi curiga jangan-jangan Ferdy yang bayarin sewa ruang inap ini. Sekilas dari pembicaraannya kelihatannya memang betul Ferdy yang bayarnya. Tapi aku masa bodoh saja, aku heran sama sikap Ferdy disatu sisi dia mau mengorbankan segalanya buat aku tapi disatu sisi dia menjauh dari aku kalau memang suka ya bilang suka kalau tidak yang bilang tidak, sulit ya memang buat kita untuk jujur dengan perasaan kita sendiri? Hanya kadang penasaran saja dengan masa lalu Ferdy karena semenjak aku ketemu dengan Ferdy hanya sedikit yang dia katakan tentang masa lalunya yang membuat dia jadi bimbang untuk menerima aku. Buat urusan cinta dia jarang sekali bicara. Aku berharap nanti malam aku bisa tanya dengan Dika.

...............................................

Mungkin sudah 15 menit aku terbangun. Rasanya sangat bosan dengan aktivitas tidur di ranjang pasien. Tidak bisa melakukan apa pun. Kok Dika belum datang ya? Padahal sekarang sudah jam 4 sore lewat. Tiba-tiba pintu ruangan ada yang mengetuk. Ibuku yang tadi rebahan di lantai segera bangun dan membuka pintu tersebut. Ternyata perawat datang membawakan bubur untuk makananku.

"Maaf menganggu Bu, ini buburnya", kata Perawat itu sembari memberikan bubur itu ke Ibuku.

"Ia, makasi banyak ya", jawab Ibuku.

"Tidak ada masalahkan Bu?", tanya balik Perawat itu.

"Ngga ada", jawab Ibuku lagi.

"Ok kalo gitu, kalo ada perlu sesuatu bisa panggil saya ya", Perawat itu pun segera berlalu meninggalkan ruanganku.

"Ini buburnya", kata Ibuku yang memberi buburnya ke Aku. "Bisa makan sendiri atau disuap?"

"Sendiri aja Mah", jawabku.

"Hemm, Bu", panggil Ferdy. ''Saya mohon pamit dulu"

"Oya, mau pulang Fer?", tanya Ibuku.

"Ia, mau malam mingguan", balas Ferdy. Dia mau malam mingguan? Sama siapa? tanyaku dalam hati.

"Yang mau kencan", ejek Ibuku.

"Yah paling-paling godain cewek tetangga kita Mah", ejekku. Tidak tahu kenapa rasanya agak sebel dengar Ferdy mau kencan.

"Cemburu ya??'", balas Ferdy.

Aku hanya bisa memalingkan pandanganku. Cemburu? Ya sudah jelaslah aku cemburu. Mana ada orang yang kita sukai pergi kencan dengan orang lain tapi kitanya tidak cemburu?

"Udah-udah, ati ati ya Fer", kata Ibuku menenangkan aku.

"Ya bu", jawab Ferdy berlalu meninggalkan kami. "Permisi"

Akhirnya ruangan ini terasa sangat sepi. Hanya ada Ibu dan diriku yang tergeletak di ranjang. Rasanya memang membosankan. Kenapa juga kemaren malam aku harus pingsan? Badan aku memang lemah, dari kecil kalau aku kecapekan biasanya langsung sakit dan parahnya bisa pingsan. Yah itulah hidupku, sudah sakit disakiti lagi hatinya.

..............................................

Entah berapa lama aku menghabiskan makanan yang namanya bubur. Kayaknya badanku maish menolak untuk makan. Padahal perut ini sudah tidak terisi dari kemaren malam dan aku wajib minum obat biar cepat sembuh. Jam didinding sudah menunjukan pukul 6 sore dan Dika belum menampakan batang hidungnya.

"Mama jam setengah tujuh mau pergi lo"

"Mau kemana Mah, masa ngga ada yang nemenin aku?".

"Kan nanti ada Dika, bentar lagi datang kok", jawab Ibuku sambil mengepak barangnya.

"Permisi", Dika muncul dibalik pintu. Padahal baru saja diomongin anaknya sudah muncul, panjang umur.

"Nah tuh Dika sudah datang".

Aku kaget dengan penampilan Dika yang sekarang. Dia pakai kacamata. Aku sempat nyengir sendiri melihatnya. Kalau dia pakai kacamata wajahnya kelihatan dewasa sekali.

"Hah, kok pake kacamata?", tanyaku.

"Ia nih, tadi baru aja ambil di optik", jawab Dika.

"Bagus kok pake kacamata, tambah ganteng", puji Ibuku.

"Makasi", jawab Dika tersipu malu. Hem, mukanya good looking sekali kalau pakai kacamata.

"Mama mau pergi dulu ya", kata Ibuku kembali mengecup keningku. "Ati-ati"

"Ia Mah".

Ibuku sekarang yang pergi. Jadi tidak enak sama Dika harus menemani aku malam ini. Lagian aku juga malas ditemani sama Ferdy. Dia itu kelihatan semakin sok. Dan aku lagi kesal sama dia.

"Kamu sudah baikan", tanya Dika.

"Hemm, hemmm", aku hanya bisa berguman.

"Kenapa?"

"Malu aja", jawabku. Aku heran sama diriku kenapa aku malah malu-malu sama Dika?

"Apa karena aku makin cakep pake kacamata ini?", usil Dika mulai keluar.

"Ngga tahu ah....", aku malu menjawabnya. "Aku pengen lanjutin yang tadi siang"

"Lanjutin apa?", tanya Dika yang membawa kursi dan duduk di samping ranjangku.

"Aku mau nanya tadi".

"Ya tanya aja".

"Sebenarnya kamu sama Ferdy itu ada apa sih?", tanyaku.

"Ngga ada apa-apa, kami hanya teman biasa",

"Tapi kejadian kemaren kayak kalian berdua sudah kenal lama?", tanyaku lagi.

"Ya kami sudah kenal sejak SMP, saat itu aku dan Ferdy masih SMP di Malang", jawab dia sekenanya.

"Terus?"

"Ya gitu aja".

"Siapa Tristan?", kepalaku sudah dipenuhi dengan rasa penasaran tentang hubungan aneh itu.

"Maaf aku ngga bisa jawabnya sekarang", Dika sepertinya memang tidak mau menjawab pertanyaanku dan menundukan wajahnya.

"Ya udahlah, ntar aku tahu sendiri", aku agak kesal sih dengan jawaban yang aku dapat. Sama seperti Ferdy juga.

"Sebenarnya apa sih yang membuat kamu suka dengan aku?", tanyaku kembali.

"Itu karena kamu....."

"Apa?", wajahku semakin aku dekatkan ke Dika.

"Karena kamu mengingatkanku pada seseorang",

"Aku? Seseorang? Siapa?".

"Orang yang hilang dari masa laluku", wajah Dika mulai terlihat sedih. Sepertinya masa lalunya itu cukup rumit dan bermasalah.

"Ngga apa-apa kok Ka".

"Maaf Dit, aku jadi keingat lagi".

"Ya ngga apa-apa, kamu mau kue?", kataku sembari memberikan kue ke Dika

"Boleh", jawab Dika yang mengambil satu kue risoles buatan Ibuku.

"Kamu ada masalah dengan Ferdy", kali ini Dika bertanya hal itu lagi.

"Emm", aku tertunduk lesu untuk menjawabnya.

"Apa Ferdy menjahati kamu?"

"Ngga kok Ka, aku hanya merasa bersalah sama kamu aja", jawabku.

"Bersalah kenapa?".

"Ternyata saat kita ditolak itu sakit banget"

"Hehehehe, aku ngga apa-apa kok Dit, itukan pilihanmu", jawab Dika yang mengelus kepalaku "Kamu ditolak Ferdy?"

Aku hanya bis amenjawab dengan mengangguk saja.

"Ferdy, Ferdy, memang seperti itu sifat dia, aku yakin bukan itu yang dia mau"

"Udah lah Ka, aku malas mikirin si Lutung Kasarung satu itu".

"Hahahahahahaha", kami berdua tertawa bersama. Rasanya hatiku yang gelap sudah bisa merasakan cahaya. Aku tidak boleh sedih terlalu lama.

***

I'll Be Your Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang