PART 36 (END)

9.9K 282 22
                                    

Wish You Were Here (Bagian Kedua)

Hari ini hari libur dan tersantai seudin sedunia. Bayangkan aku bisa bangun sampai sesiang ini. Tidak ada yang memarahi karena telat sekolah. Tidak ada tugas sekolah, tidak ada yang terburu-buru masuk ke kelas selesai ke kantin. Apalagi tadi malam perasaanku sudah lega, lega sekali. Hubunganku dengan Dika juga sudah membaik, Dika memang baik mau mengerti keadaanku, perasaanku. Andai ada yang dekat dengan dia pasti orang itu beruntung sekali, bisa mempunyai Dika yang berjiwa besar dan tentunya dewasa sekali.

Aku pun segera beranjak dari kasur hangatku. Membuka satu persatu jendela dan melihat cahaya matahari yang mulai meninggi di ufuk timur. Udaranya juga, meskipun sudah agak siang terasa segar. Menatap pemandangan samping kamarku seru juga. Melihat sekelompok lebah mungil mengitari bunga mencari madu untuk dikumpulkan. Andai aku jadi lebah, pasti lucu ya? Bakal aku sengat itu Ferdy biar mukanya bentol-bentol, hemm Ferdy? kenapa dia muncul lagi dipikiranku.

Aku berjalan menuju mejaku dan melihat isi hp-ku. Tidak ada yang menghubungi bahkan dari Ferdy sekali pun. Dia terasa semakin jauh dariku, kadang aku mikir apa yang sedang dia lakukan dilibur seperti ini. Aku juga kangen sama tingkahnya yang usil. Tapi aku takut untuk berbicara dengannya, aku juga takut ditolaknya kedua kali. Rasanya kecewa sekali saat kita ditolak sama seseorang yang sebenarnya menunjukan bahwa dia sayang juga dengan kita. Kayak lagu Melly aja, Gantung.

Lagi-lagi dan lagi, aku ditinggalkan sendiri di rumah oleh orang tuaku. Mereka hanya meninggalkan sepucuk kertas di meja makan yang mengatakan mereka sedang jalan ke Palma. Nasib selalu ditinggalkan keluarga. Tapi ngga apa-apalah, sekali-kali orang tuaku bisa liburan menenangkan pikirannya. Seperti biasa, setelah bangun tidur, aku mandi.

Sudah hampir satu jam lebih orang tuaku pergi. Aku yang sedang sibuk menonton, hanya bisa terpaku diam melihat layar kaca. Kadang sekali-kali aku mengecek hp-ku. Masih tidak ada yang menghubungi, beda kayak yang kemaren-kemaren, pasti kalau ngga Ferdy ya Dika yang sms. Ahhh, jadi sepi.

Mungkin sekitar 15 menit, terdengar suara kendaraan orang tuaku. Dikeluargaku, kami hanya pemakai kendaraan bermotor, yah, sederhana, aku juga ngga pernah nuntut minta dibelikan motor. Kadang juga mikir kakakku yang kuliah di Malang. Biayanya pasti lebih berat lagi.

"Huaa, seru juga main di Amazone", Ibuku datang dengan menenteng barang belanjaannya dan duduk di ruang tengah.

"Kok ngga dibangunin aku?", tanyaku protes.

"Salah sendiri, ngga mau bangun pagi", ejek Ayahku yang datang bersama Shinta.

"Ia, nanti ke sana lagi Mah", rengek Shinta yang ikut duduk.

"Ya, gampanglah", jawab Ibuku.

"Wah, sudah jam satu Mah", kata Ayahku yang melihat jam dindin tepat di atas TV.

"Aduh, capek, makan yang ada aja", jawab Ibuku lagi. Kelihatannya memang cukup lelah.

"Masa makan ayam lagi Mah?", keluh Shinta.

"Ya ntar malam ganti", kata Ibuku mencubit pipi Shinta. "Mau ganti baju dulu".

Ibuku segera pergi dari ruang tengah dan menuju kamarnya begitu juga Ayahku yang ikut-ikut ke kamar. Sedangkan Shinta segera ke dapur. Kayaknya dia kelihatan lapar.

Ya, aku kembali ke rutinitas biasaku. Seperti inilah aku dulu, sebelum kenal Ferdy dan Dika. Selalu diam di rumah. Ibuku sempat negur buat main sama tetangga sebelah. Hanya saja aku malas sekali, mending diam di rumah jadi anak rumahan. Kerenkan.

Aku sudah mulai bosan melihat acara di TV dan beranjak dari tempat itu. Aku melangkah menuju kamarku. Aku setel komputer, ingin menghabiskan waktu dengan bermain game. Soalnya kalau ngga ada kegiatan lain, bisa-bisa aku kepikiran masalahku itu. Memikirkan tentang Ferdy dan Dika. Pusing jadinya.

Belum lama aku bermain game dikomputer. Tiba-tiba Ibuku datang menghampiriku.

"Dit, temenmu di depan", ucap Ibuku sembari membawa minuman di tangannya.

"Siapa", tanyaku heran. Siang-siang gini ada yang datang.

"Itu, kapten tim basket", kata Ibuku.

"Ohh"n jawabku yang pergi dari kursi komputer. Aku berjalan menuju teras rumahku. Aku lihat ada Kak Felix dan......... Tristan?

"Ada apa?", tanyaku heran menatap mereka berdua.

"Gawat Dit", ucap Tristan buru-buru. "Kamu harus ikut!".

"Kemana? Ada apa mangnya?", tanyaku panik. Terlihat dari wajah Tristan menggambarkan betapa cemasnya dia. Kak Felix yang duduk hanya menopang dagunya dan menatap ke arah lain. Ngga biasanya Kak Felix diam.

"Dika sama Ferdy!", jawab Tristan yang menarik tanganku.

"Hei! Mau kemana ini!", tanyaku berusaha melepas genggaman tangan Tristan.

"Sudah ikut aja Dit! Aku ngomong ke ortumu", kata Kak Felix yang bangun dari tempat duduknya dan masuk ke dalam rumahku. Sedangkan Tristan terus saja menarik tanganku dan membawaku keluar rumah.

"Tapi kan aku belum ganti baju?", kataku yang melihat pakaian yang aku kenakan. Hanya boxer dan kaos singlet.

"Sudah ngga apa-apa", kata Tristan yang membukakan pintu mobilnya dan mendorongku masuk ke dalam mobil itu. Aku ditaruhnya di kursi belakang. Sedangkan Tristan duduk di kursi depan. Selang berapa menit Kak Felix datang dan masuk ke dalam mobil. Sepertinya dia sudah selesai meminta izin orang tuaku.

"Ayo! Kita buru-buru", kata Kak Felix yang menghidupkan mobil dan menjalankan.

"Memangnya ada apa?!", tanyaku panik dan bingung dengan kelakuan mereka berdua.

"Dika sama Ferdy kelahi Dit", jawab Tristan singkat.

"APA?!!!", aku kaget mendengar itu.

"Pokoknya kita harus cepat ke lapangan", kata Tristan lagi.

"Tapi kenapa harus bawa aku?", tanyaku yang bingung.

"Pake nanya lagi!", tegur Kak Felix yang masih mengendarai mobil Honda Jazz biru. Aku tidak mau nanya, ini mobilnya siapa.

Aku terdiam sebentar, mencerna semuanya. Aku dibawa, nyaris kabur, oleh Tristan dan Kak Felix. Alasannya karena Dika dan Ferdy mau kelahi, lagi. Mereka kelahi buat apa? Karena aku? Itu mustahil. Tapi aku ingat-ingat dulu, Ferdy sempat ngomong mau ngasi "pelajaran" sama Dika. Masa benar itu omongan? Kan kemaren Dika juga sudah baikan sama aku. Bahkan beberapa hari ini kelihatan normal-normal saja. Kenapa mereka mesti kelahi? Apa ini gara-gara aku? Ya Tuhan, aku ngga mau mereka kelahi.

Tapi, ada suatu hal yang tidak biasa dihadapanku sekarang.
"Tapi.... Kenapa kali datang berdua?", tanyaku.

"Ohh...itu....", Tristan mencoba berkilah. "Cuma kebetulan ketemu aja....".

"Ya kan?", tanya Tristan ke Kak Felix.

"Bener Dit, kebetulan", jawab Kak Felix gugup.

"Ahh, yang bener?", aku berusaha mengorek hubungan mereka berdua.

"Ah, Adit mending mikirin Dika sama Ferdy aja dulu", tegur Tristan mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ia deh", jawabku mengalah.

Kak Felix dan Tristan sepertinya membawaku ke sekolah. Hari memang libur, suasana sekolah jadi sepi. Memang cocok buat "adegan" perkelahian. Aku jadi tambah khawatir. Aku mengira-mengira apa saat ini Dika dan Ferdy sedang berkelahi? Atau bisa saja kejutan? Atau bahkan bisa saja itu bohong. Tapi tetap saja itu membuat aku khawatir. Kenapa mereka mesti cari tempat kelahi di dalam sekolah sih? Harusnya di luar sekolah saja.

Akhirnya aku sampai juga di sekolahku. Suasana hening menjadi awal dari kedatanganku. Aku segera membuka pintu mobil dan berlari ke arah lapangan basket yang tidak jauh dari gerbang sekolahku. Aku terus berlari tanpa menghiraukan panggilan Tristan.

"Dit! Tunggu!", panggil Tristan.

Namun aku terus berlari hingga sampai di lapangan basket. Aku melihat Dika jatuh terduduk dan tak berdaya. Tidak sedikit pun Dika membalas pukulan Ferdy. Ternyata mereka BENAR-BENAR KELAHI!

"Ferdy!", teriakku menghampiri mereka berdua. Aku dorong tubuh Ferdy agar tidak memukul DIka lagi.

"CUKUP!", tegurku.

"Kamu ngapain ngelindungin orang kayak gitu!", bentak Ferdy.

"Kamu itu kenapa sih!?", balasku.

"Sudah Dit, aku yang salah", ucap Dika yang bangun dan memegang pundakku. "Aku yang sudah tidak nepatin janjiku".

"Janji apa Ka? Tapi kan ngga perlu sampai kayak gini?", aku melihat wajah Dika yang sedikit lecet.

"Mending kamu minggir Dit!", kata Ferdy yang sepertinya terlihat panas. Wajahnya tertutup oleh bayangan pohon di samping lapangan.

"Gila kamu! Lawan aku dulu!", ucapku menantang Ferdy walaupun aku tidak tahu apa akibatnya.

"Adiiiitttt...", teriak Tristan yang baru sampai di lapangan. Dia berdiri dipinggir dan tidak mau mendekat. Kak Felix yang di belakangnya berusaha menahan Tristan agar tidak mendekat.

"Gimana?", tanyaku yang masih menantang Ferdy.

"Memang kamu bisa kelahi? Orang lemah", ejek Ferdy menyepelekan aku.

"Ohh.... Aku ngga nantang kelahi, tapi nantang main basket", ucapku penuh percaya diri walau pun aku sendiri ngga pernah main basket. "Kita bertanding secara positif".

"Dit, mending ngga usah", ucap Dika yang mencoba menahanku.

"Sudahlah Ka, Ferdy itu orangnya egois, susah kalo ga gini", balasku.

"Ok!", kata Ferdy setuju. Dia melapkan tangannya di baju kaos oblongnya. Sepertinya dia habis bermain basket di sini. Soalnya dia terlihat menggunakan dresscode orang yang bermain basket.

"Perjanjian, kalo aku menang, kamu ngga boleh kelahi sama Dika lagi!", kataku yang masih percaya diri.

"Ok! Kalo aku menang?", tanya Ferdy balik.

"Kalo kamu menang, emmmm......aku akan menuruti kemauanmu tapi tetap ngga boleh kelahi lagi".

"Hmmmmm", Ferdy terlihat sedang berpikir. "Baiklah".

Suasana kembali hening. Aku kembali ke pinggir lapangan memikirkan strategi gimana caranya ngalahin Ferdy walau pun itu hal yang mustahil. Terlihat Dika duduk sedang duduk dan menatap kosong ke arah lain. Ya, aku menyuruh Dika untuk duduk dan diam. Mungkin ini satu-satunya cara biar Ferdy ngga asal main tonjok lagi. Aku terus saja mondar-mandir di pinggir lapangan. Aku lihat penampilanku, pakaian dan celanaku, ngga cocok buat main basket. Apa lagi aku hanya menggunakan sandal. Bisa-bisa sakit ini kaki.

Terlihat Tristan datang menghampiri Dika, Tristan berusaha menenangkan Dika. Sedangkan Kak Felix berusaha membujuk Ferdy di pinggir lapangan sisi sebelahnya. Mereka terlibat obrolan serius, sekali-kali Ferdy terlihat membentak Kak Felix. Seram juga Ferdy kalau marah, kayaknya kalau aku pacaran sama dia bisa-bisa aku jadi korban kekerasan selama pacaran. Ahhh kenapa aku mikir pacaran lagi. Harus konsentrasi buat menghadapi Ferdy.

..........................................

Sudah sekitar 10 menit lebih aku memikirkan strategi tapi tetap saja ngga dapat. Aku kan ngga bisa main basket, gimana bisa ngalahin Ferdy.

"Gimana Dit?", tanya Ferdy yang sudah di tengah lapangan memegang bola basket dan sesekali memantulkannya ke lantai. "Apa mau menyerah sekarang?".

"Menyerah?", kataku sembari melepas sandal lalu berjalan ke lapangan. Uhh, panas sekali lantainya tapi aku harus tahan dan terlihat tegar. "Aku ngga pengecut kayak kamu Fer!".

"Bagus, tapi kenapa sandalnya dilepas?", tanya Ferdy yang melihat aku melepas sandal tadi.

"Biar gampang loncat", jawabku ngeles. Sebenarnya sih ngga tahan panas lantainya di terik matahari siang. Tapi aku ngga boleh ngeluh, aku harus kuat. Hidup ADIT!!!!!

"Ok, aku akan jadi wasitnya", kata Kak Felix yang juga ikut ke tengah lapangan. Berada di antara aku dan Ferdy. Aku rasanya jadi seperti kurcaci.

"Peraturannya, siapa yang duluan mengumpulkan poin 45 dia yang menang?", tawar Kak Felix.

"Napa ngga 15 aja? Kan 45 itu lama", kataku berusaha menawar ke poin 15. Terlalu membuat lelah kalau ngumpul poin sampai 45.

"Gimana Fer?", tanya Kak Felix balik.

"Ok, aku setuju 15", jawab Ferdy setuju.

"Baiklah, pertandingan akan di mulai setelah aku berteriak kata mulai", jelas Kak Felix yang berjalan mundur ke pinggir lapangan.

"Kamu...", ucap Ferdy yang memberikan aku jempol terbalik. Aku yang melihat langsung emosiku terbakar. Apa-apaaan itu? Dia nganggap aku seremeh dan serendah itu. Muka ku pun berubah sangar, dan menatap Ferdy ganas. Ferdy hanya bisa menyengir sedikit melihat tingkahku.

"Nih", Ferdy memberikan bola basketnya ke aku. "Kamu yang duluan".

"Uh, jangan asal ngasi bola gitu dong", protesku. Dia pikir aku ngga bisa main bola basket apa.

"Ok! Pertandingan Adit vs. Ferdy, MULAI!", teriak Kak Felix.

Pertandingan sudah di mulai. Aku bersiap-siap dan memegang bola basketnya. Ferdy berada di depanku beberapa meter mencoba menghalangi pergerakanku. Aku terus berpikir, berpikir.

PRIIT!!! Kak Felix meniupkan peluit, tapi kapan dia ada peluit?

"Memegang bola tidak boleh lama Dit", tegur Kak Felix.

"Ohh, kan ini bukan pertandingan basket", protesku.

"AYO ADIT!!!", tiba-tiba Tristan teriak dari pinggir lapangan dan membawa poster namaku besar-besar. Sejak kapan dia bawa itu?

"Tapi Dit...", Kak Felix berusaha menegurku lagi tapi Ferdy menatapnya. "Ok lah ngga apa-apa".

"Gitu dong!", jawabku senang. Aku mencoba berlari tapi kakiku tersentak dan aku terjatuh. Bolaku lepas dari tangan, menggelinding ke depan. Bolanya pun di ambil Ferdy. Dengan sigap dan lincah Ferdy men-drible bolanya dan memasukinya ke ring. Aku hanya bisa bangkit dari lantai dengan rasa kecewa. Lagi-lagi aku ceroboh.

Ferdy yang selesai membawa bola ke ring mengambilnya dan berlari ke arahku. Diberikannya lagi bola itu ke aku.

"Dasar payah", ejek Ferdy. Uhhh!!!! Aku semakin emosi! Benar-benar emosi! Itu anak kurang ajar sekali!

...........................................

Aku terjatuh, kakiku panas. Badanku berkeringat namun tidak ada satu pun poin yang aku dapat. Dengan mudah Ferdy yang mendapatkan poin demi poin. Satu hal buat aku emosi, semua bola lepas dari tanganku, dan Ferdy memanfaatkannya. Dan aku kalah hanya dalam waktu 10 menit. Aku terduduk di lapangan, menyesali kekalahanku.

Semangat dan yel-yel dari Tristan hilang dari pendengaranku. Aku hanya bisa melihat sekelilingku, pandanganku nyaris kabur. Tapi tiba-tiba Ferdy datang dan menggendongku. Samar-samar aku mendengar teriakan Tristan. Memangnya aku kenapa? Aku kan baik-baik saja. Hanya saja pandanganku kabur. Aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Terakhir yang aku rasakan Ferdy menggendongku. Membawaku ke dalam mobil. Aku semakin lemah dan lemas. Rasanya aku ingin tidur. Ya cuma tidur, soalnya agak capek.

......................................

Samar-samar aku mendengar suara ribut di suatu tempat. Aku membuka mataku dan melihat sekelilingnya. Ternyata aku berada di kamarku sendiri. Aku raba tubuhku, masih ada keringat habis pertandingan tadi. Wah, bisa-bisanya aku tertidur sehabis pertandingan dengan Ferdy.

Aku pun bangun dari tempat tidurku. Terasa kepalaku sedikit berdenyut namun hanya sesaat. Lalu aku berjalan sembari mengumpulkan kesadaranku. Aku terus berjalan menuju suara ribut itu. Aku mendengar ada suara Tristan, Kak Felix dan juga ada Ferdy. Aku toleh mereka ternyata ada di ruang tengah, di situ juga ada Dika yang diam duduk di samping sudut sofa.

"Wah, udah bangun?", Ibuku datang dengan membawa minuman buat mereka.

"Memangnya aku kenapa?", tanyaku balik.

"Kamu baik-baik aja kan Dit?", Tristan datang menghampiriku.

"Aku ngga apa-apa kok, kayaknya tidur tadi", jawabku.

"Minum dulu yuk", ajak Ibuku menawarkan minumannya.

"Wah, seger nih Tante", kata Kak Felix yang langsung menyeruput minumannya.

"Ya sudah, aku mau balik langsung Dit", ucap Tristan.

"Kok cepet?", tanya Ibuku yang memotong.

"Ngga apa-apa kok Tante", jawab Tristan yang datang mengambil minumannya dan menghabiskannya.

"Yuk Kak", ajak Tristan menarik lengan Kak Felix yang masih terlena dengan minumannya.

"Tunggu, aku habisin dulu", ucap Kak Felix menyelesaikan minumannya dan malah menarik tangan Dika.

"Pergi dulu Tante", lambai Tristan. Ibuku hanya bisa bengong melihat begitu cepatnya mereka pergi. Sepertinya Ibuku penasaran ada kejadian apa memangnya?

"Cepat amat baliknya?", Ibuku masih heran melihat kelakuan Tristan. Kembali Ibuku menyusun gelas yang sudah habis dan kembali pergi dari ruang tengah.

Aku sih ngga heran melihat Tristan seperti itu, tapi kan kurang sopan. Tapi ngga apa-apalah pikirku. Akhirnya aku bisa duduk di ruang tengah.

Lalu aku ikut mengambil minuman yang masih tersisa di meja. Minumannya es jeruk, kesukaanku lagi.

"Ehem!", seseorang berdehem di sampingku.

Aku tidak memperdulikannya dan menghabiskan minumannya. Segar sekali rasanya, benar-benar mengugah seleraku.

"Hebat......", kembali orang itu mengeluarkan suaranya.

Aku toleh ke samping dan aku terkejut sekali. Hampir saja kesedak oleh.

"Nga...uhuk....pain kamu?", tanyaku ke Ferdy yang dari tadi menatapku.

"Yang ngapain itu kamu, ngabisin minumku", balas Ferdy.

"Ini minummu? Tapi ngga sempat diminumkan?", tanyaku bingung.

"Sempat lah, sisa setengah kan tadi?", jawab Ferdy.

"Haahh masa?", aku meminum gelas bekas Ferdy, jadi, jadi secara tidak langsung aku berciuman tidak langsung. Aku tertunduk, aku bingung.

"Kenapa kamu?", tanya Ferdy.

"Emm", aku berguman.

"Ya sudah, aku balik dulu, besok pagi ke rumahku ya".

"Ngapain?", tanyaku balik.

"Pake nanya lagi, ya kan janjinya tadi yang kalah harus nurut", balas Ferdy. Oiya, aku kan tadi tanding basket sama Ferdy dan aku kalah. Sesuai perjanjian aku harus menuruti apa kemauan dari Ferdy. Aduh, sial nih.

"I....iya", jawabku gugup.

"Aku pulang dulu, minta pamit sama Ibumu ya".

"I....iya".

........................................

Sebenarnya pengennya hari minggu gini bangun siang juga. Tapi karena dari kemaren keingat janji sama Ferdy aku harus bangun pagi-pagi. Soalnya Ferdy cuma ngasi tahu datang pagi. Tidak tahu pagi jam berapa? Bisa saja pagi jam 6 atau jam 9.

"Mah, boleh pinjam motornya?", tanyaku ke Ibuku yang sibuk bersih-bersih dapurnya.

"Mau kemana?".

"Ke rumah Ferdy Mah", jawabku kurang semangat.

"Ya udah pinjam aja tapi ati-ati", tegur Ibuku.

"Ia", balasku kembali mengambil kunci motor yang di taruk di gantungan dekat dapur.

"Oooiya, ini titip baju", Ibuku ke belakang ke tempat biasanya strika baju dan membawa plastik kresek hitam.

"Baju?", tanyaku bingung.

"Kemaren kan Mama ke rumah Ferdy, diajak Ibunya", jelas Ibuku. "Terus pas main ke sana ngga sengaja Mama kejatuhan kue, jadinya Mama pinjam baju Ibunya Ferdy".

"Heh? Kok ngga bilang?", tanyaku balik.

"Gimana ngga bilang, kamu tidur terus", balas Ibuku.

"Hemmm, ya sudah, aku pergi dulu Mah".

"Ia".

........................................

Untung aku masih ingat jalan rumah Ferdy. Ada yang masih ingat, berapa kali aku ke rumah Ferdy?

Sudah lama aku tidak membawa motor sendiri. Sudah gitu jalan ke rumah Ferdy. Agak sedikit cemberut sih, soalnya aku masih kepikiran kekalahanku kemaren. Yang penting Ferdy dan Dika sudah tidak berkelahi lagi. Aku siap jadi pembantu sehari kalau Ferdy maunya begitu.

Mungkin sekitar 15 menit akhirnya aku sampai di rumah Ferdy. Masih seperti dulu, rumahnya terlihat besar. Aku kendarai motorku masuk ke halaman rumah Ferdy. Kulihat ada Ibu Ferdy yang sedang mengepak barangnya masuk ke dalam mobil. Kalau diperhatikan, itukan mobil yang kemaren di pakai Kak Felix? Jadi curiga aku, masa orang mau bilang kelahi naik mobil orang yang kelahi?

Sudahlah daripada mikir yang aneh-aneh tentang kejadian itu mending aku samperin Ibunya dan menanyakan Ferdy ada di mana.

"Pagi Tante", sapaku.

"Ehh, Adit, lama udah ngga liat", jawab Ibunya Ferdy.

"Ferdynya ada ga Tante?".

"Ada, ada, di halaman belakang, masuk aja ke rumah".

"Ia", jawabku. "Tante mau kemana?".

"Ohh ini? Mau pergi ke Jakarta lagi", jelas Ibunya Ferdy yang selesai memasukan barangnya. "Tante pergi dulu ya".

"Ia Tante, hati-hati", kataku. "Oya Tante ini ada titipan dari Mamaku".

"Ohh yang kemaren, taruh aja di ruang tamu", kata Ibu Ferdy yang bersiap masuk ke dalam mobil.

"Ok Tante", kataku mengacungkan jempolku.

"Sering-sering aja main, kasian tuh Ferdy merana ngga jelas gitu, kayak orang yang putus cinta", kata Ibu Ferdy yang masuk ke dalam mobil bersama sopirnya.

"Dah Tante", kataku melambaikan tangan melihat kepergian Ibu Ferdy. Kalau disimak perkataan Ibunya Ferdy, tentang "orang yang putus cinta", apa yang terjadi sama Ferdy. Apa gara-gara aku dia jadi kayak gitu? Emm, aku mungkin terlalu ge-er kali mikir sampai seperti itu.

Aku segera memarkirkan motorku tepat di garasi rumah Ferdy. Aku berjalan masuk ke dalam rumahnya. Benar-benar sepi, rumah sebesar ini masih saja yang tinggal sedikit. Seengganya Ferdy bawa keluarganya lagi biar rumah yang besar ini jadi ramai.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah Ferdy. Sudah lupa-lupa ingat dengan dekorasi rumah Ferdy. Tapi kelihatannya masih sama seperti dulu. Sembari melihat rumahnya, aku berjalan terus menuju belakang rumah, karena kata Ibunya, Ferdy ada di halaman belakang, berartikan belakang rumah ini.

Hingga akhirnya aku sampai di ruang tengah yang besar sekali. Ada sofa hijau dan meja besar. TV LCD berlayar raksasa menurutku. Lalu dihiasi lampu ala kerajaan di Eropa. Memang keren sekali. Lalu aku lihat di sampingnya. Ada foto seorang nenek bersama seorang cowok. Aku perhatikan baik-baik, nenek itu terlihat merangkul cowok yang bukan lain adalah Ferdy. Wah, Ferdy ternyata punya seorang nenek, tapi kenapa jarang kelihatan.

Lalu aku berjalan kembali dan menemukan pintu slot kaca yang besar. Aku lihat seseirang sedang menata dinding tanaman yang dihiasi lampion di sisinya.

"Ferdy...", panggilku setelah membuka pintu slot kaca besar itu.

"Eh Adit", jawab Ferdy membersihkan keringatnya. Dia terlihat kotor sekali seperti orang yang baru membersihkan kebunnya. Pakaiannya yang putih terlihat banyak noda-noda tanah. Begitu juga dengan celana putih panjangnya. Membuat Ferdy terlihat seperti seorang tukang kebun yang keren.

"Sudah lama?", tanya Ferdy yang melepaskan sarung tangannya yang kotor dan menaruh di ember biru sampingnya.

"Baru aja", jawabku. "Memang mau buat apa ini?".

"Buat acara ntar malam".

"Acara apa?", selidikku. Karena yang aku lihat tatanan tumbuhan di dinding pagar dan lampionnya serta lampu kecil menggambarkan nanti malam bakal ada acara romantis. Kayak di restoran-restoran mewah yang super romantis.

"Nanti juga bakal tahu, kita ke atas yuk", ajak Ferdy. "Ada yang mau aku omongin".

"Hemm", aku berguman dan masih penasaran dengan apa yang dibuat Ferdy ini.

........................................

Kami berdua pun masuk kembali ke rumah. Aku terus saja mengikuti Ferdy dari belakang. Ferdy terus saja membawaku hingga ke lantai dua. Di situ ada teras kecil dengan dua kursi.

Terasnya memang kecil karena letaknya di lantai dua. Dari situ bisa melihat pemandangan di sekeliling rumah Ferdy. Di samping sisi terasnya ada dinding pemisah buat dua kamar kosong. Sedangkan kamar Ferdy ada di dekat tangga tadi.

Di atas terasnya ada dua lampu. Sepertinya teras ini tepat menghadap ke arah pintu masuk rumah Ferdy. Aku ngga nyangka saja, rumah Ferdy ternyata luas juga. Keren lagi.

"Duduk".

"Ia", jawabku yang duduk di kursi kayunya dan mengangkat kedua kakiku ke kursi. Karena kursinya yang besar, jadi kakiku muat untuk ditaruh menyilang di kursi. Ferdy pun ikut duduk di kursi sampingku.

"Memangnya ada apa? Kok tiba-tiba kita harus di sini?", tanyaku heran.

"Ya biar suasananya adem", jawab Ferdy yang masih mengenakan baju tukang kebunnya.

"Ga ganti baju dulu?".

"Ga usah", balas Ferdy.

"Tapi kan bau", keluhku berpura-pura menutup hidungku.

"Aku lepas kalo gitu", kata Ferdy yang kemudian melepas bajunya dihadapanku.

"Kamu ini.......", jawabku geram.

"Protes?", Ferdy malah berbalik bertanya.

"Udah, ngga apa-apa, ngga usah galak gitu", kataku takut.

"Haahaha", tawa kecil Ferdy keluar melihat aku takut. "Emangnya aku monster?".

"Uhh", aku memalingkan mukaku. Sebel juga. "Oya, itu tadi buat acara apa?".

"Romantis ga?", Ferdy malah berbalik nanya lagi.

"Yaa, romantis sih, tapi emangnya buat acara apa?", aku mulai geram.

"Ya acara cinta-cintaan lah", jelas Ferdy.

"Cinta? Siapa yang cinta", tanyaku heran.

Ferdy kemudian mengeluarkan hp-nya dari saku kirinya. Dia mulai terlihat membuka hp-nya dan memperlihatkan gambar seorang cowok yang manis, sudah gitu cakep lagi.

"Cakep ga?", tanya Ferdy.

Aku melihat foto yang ada di hp Ferdy. Entah kenapa rasanya aku malah panas. Apa selama ini Ferdy bukan sayang sama aku?

"Kenapa bengong?", tanya Ferdy membuyarkan lamunanku.

"Ngga apa-apa kok, cakep", jawabku mencoba menahan gejolak di dadaku.

"Maaf ya, selama ini aku sibuk ngurusin ini", ucap Ferdy yang kemudian menarik kembali hp-nya. "Yah, kamu tahulah dari Kak Felix kalo aku ini.....gay".

"Trus? Yg acara cinta itu ada hubungannya dengan itu?", kataku mencoba tegar padahal hati sedang bergejolak.

"Ya lah", jawab Ferdy.

"Gitu.......".

"Kamu kenapa malah jadi ngga semangat?", Ferdy menatap heran aku.

"Ga semangat? Ngga apa-apa kok", kataku yang mencoba mengelak. Tapi dipikiranku terus saja berputar memikirkan, acara, cinta, foto cowok, apakah Ferdy bakal nyatakan cintanya? Jadi Ferdy selama ini, jauh dariku karena dapat cowok lain. Jadi benar kata Ibunya tadi, Ferdy terlihat galau kayak orang putus cinta, tapi kenapa putus cinta? Mungkin Ibu Ferdy salah mengartikannya, mungkin saja Ferdy sedang galau karena jatuh cinta. Aku......aku....aku ternyata salah mengira apa yang dirasakan Ferdy.

"Terus? Kamu mau aku ngapain?", aku kembali bertanya tentang perjanjian kemaren.

"Nah, aku perlu bantuan kamu buat acara ntar malam itu", jelas Ferdy. "Pokoknya ntar malam ke rumahku lagi lah".

"Ohh gitu, ok, aku akan nepatin janjiku", aku beranjak dan langsung pergi tanpa pamit. Karena aku sudah ngga kuat berhadapan dengan Ferdy. Aku ngga mau Ferdy melihat aku menangis, menangis karena aku tahu Ferdy sudah berganti hati.

"Dit!! Kok main pergi aja!", teriak Ferdy yang tidak berusaha mengejarku.

Aku terus saja berlari dan menjauh dari Ferdy. Hatiku remuk, berantakan tahu semua ini, inikah rasanya perasaan Dika saat itu? Aku mungkin tidak bisa bertahan setegar Dika. Tapi........aku tidak yakin bisa setegar Dika.

...........................................

Dan malam itu pun tiba, aku masih saja malas bergerak. Aku tidak mau berada disaat Ferdy menyatakan cintanya ke orang lain, tapi aku penasaran siapa orang yang dekat sama Ferdy. Harusnya aku tahu dari dulu soal hubungan baru Ferdy. Tapi ini semua salahku. Aku terlalu cuek dengan Ferdy, aku tidak pernah menanggapinya. Aku terlalu egois memikirkan diriku. Aku kecewa sama diriku, aku tidak rela Ferdy jadi milik orang lain.

Tiba-tiba teleponku berdering. Aku ambil teleponku yang aku letak di meja. Aku lihat, ternyata Ferdy yang telepon. Dengan kuatkan hatiku aku mencoba mengangkatnya.

"Halo".

"Malam Dit, jadi ke sini ga?", tanya Ferdy di telepon.

"Jadilah, aku ke sana sekarang".

"Tapi kamu ngga apa-apakan?", tanyanya lagi.

"Ngga kok, tenang aja", balasku.

"Ya sudah aku tunggu di halaman belakang, cepat ya ke buru datang orangnya".

"Ia", aku tutup teleponnya dan bersiap-siap pergi ke rumah Ferdy. Aku berusaha untuk tegar dan menerima kenyataan ini.

Mungkin ini adalah hal pertama buatku menerima kekalahan dalam percintaan. Harusnya aku sadar semenjak Ferdy menolakku. Bahwa baginya sampai sekarang aku hanya "teman". Apakah semua yang dikatakan Kak Felix itu bohong? Aku mungkin hanya termakan ilusi bahwa Ferdy suka sama aku.

..........................................

Suasana di rumah Ferdy begitu terang. Banyak lampu kecil yang berarak ke halaman belakang. Lampunya mulai dari halaman depan dan berjalan mengitari samping rumah. Tepat di samping, ada lorong besar yang dihiasi dengan lampion merah, biru dan hijau di sisinya. Menurutku suasananya begitu romantis. Orang yang beruntung bisa mendapatkan Ferdy.

Aku lalu berjalan mengikuti lorong itu hingga muncul di halaman belakang. Tepat ada dinding pagar di sisinya yang ditumbuhi tanaman pagar. Lalu disisipi dengan lampu kecil dan lampion yang berbentuk hati. Di tengahnya ada gazebo kecil layaknya gazebo istana di film-film. Aku begitu kagum, Ferdy yang membuat ini semua.

Lalu aku mendekati Ferdy yang tengah memainkan gitarnya di dalam gazebo kecilnya.

"Fer....", sapaku.

"Ohh Adit sudah datang".

"Kamu mau aku apa?", tanyaku.

"Ini, aku mau kamu bawain musik gitar, ini kertas nadanya", perintah Ferdy yang langsung memberikan gitarnya dan secarik kertas.

"Tapi kan aku ga bisa main gitar", aku mencoba mengelak.

"Ahh sudah, ngga apa-apa kok", kata Ferdy. "Aku mau siap-siap, orang ntar lagi datang".

"Terus?",

"Ya kamu ke samping dinding pagar", Ferdy menunjuk salah satu pagar yang berdekatan dengan pintu belakang. Pintu pagarnya memang lumayan tinggi dan yang ditunjuk Ferdy nyari berbentuk seperti kotak. "Usahakan jangan ketahuan, bisa hancur acaranya".

"Iya", jawabku lesu.

"Kamu kok ngga semangat gitu?", tanya Ferdy.

"Ngga apa-apa kok, aku ke situ dulu", kataku yang mulai berjalan ke arah yang ditunjuk Ferdy. Yah, bisa di bilang pagar yang satu ini terlihat seperti kotak, hanya ada satu sisinya yang dibelakang yang berfungsi jadi tempat keluar masuk.

Aku mulai memasuki ke dalam ruang pagar itu. Aku lihat Ferdy juga berlari ke arah lorong tadi. Aku pun hanya tertunduk lesu. Aku lihat secarik kertas yang berisikan nada-nada lagu. Ternyata itu lagu Once dulu.

-Aku mau cintai kekuranganmu-
-Aku yang rela untukmu selalu........-
-Kujanjikan aku ada.....-

Tiba-tiba aku meneteskan air mata membaca bait-bait lagu itu. Secinta inikah Ferdy dengan cowok itu? Aku tidak rela dia bersama yang lain.

Entah berapa lama aku meneteskan air mata. Aku mendengar ada suara orang datang, apakah itu Ferdy?.

"Wah, romantis sekali", seorang cowok yang mungkin baru datang.

Aku mencoba melihat dari lubang-lubang pagar tanaman itu, tapi aku tidak berani untuk mendekatnya. Aku hanya melihat dari tempat dudukku. Aku berusaha tegar saat melihat dua orang berdiri tepat di depan pagar. Seandainya pagar itu tidak ada, mungkin sekarang mereka berdiri di depanku.

"Makasi ya..", seorang cowok yang terlihat lebih pendek mencoba memeluk cowok satunya. Aku perhatikan baik-baik apakah itu Ferdy, soalnya dari siluetnya kurang jelas hanya saja aku yakin itu dia.

"Sama-sama", jawab yang mungkin itu Ferdy. Suaranya terdengar agak berat.

"Terus?", tanya cowok yang badannya lebih pendek itu. Apa itu orang yang dikasih tahu Ferdy tadi siang. Melihat mereka cukup dekat dadaku semakin mendidih. Meskipun aku tidak bisa memainkan gitar, namun aku tidak bisa menyentuh senarnya. Badanku gemetar. Aku malah memeluk gitar itu, mencoba menahan tangisku.

"Mau ga kamu jadi pacarku?", sontak saja aku yang mendengarnya langsung mengeluarkan air mata yang begitu derasnya. Aku tahan bibirku agar tidak mengeluarkan suara. Ternyata benar Ferdy ingin menyatakan cintanya ke seseorang. Hatiku menjadi remuk, jiwaku rasanya pergi entah kemana. Aku tidak sanggup berada sedekat ini.

"Gimana?".

"Emm, aku mau kok jadi pacarmu",

"Kalau gitu aku boleh nyium kamu?",

Aku tidak mau menatap lagi adegan itu. Aku menutup mataku dan memeluk erat gitar Ferdy. Aku sudah kehilangan dirinya. Aku benar-benar sakit hati. Kenapa aku harus berada di sini. Aku....aku sudah ngga kuat.

Entah berapa lama aku menangis hingga tidak mengetahui kepergian dua orang itu mungkin satunya Ferdy. Aku usap kedua mataku. Aku merasa sepi di sini. Ferdy mungkin berjalan dengan pacar baru atau mungkin mereka memadu kasih berdua. Memikirkan hal itu membuatku menangis lagi, hingga.

"Dit? Kamu nangis?", Ferdy muncul di belakangku.

"Ferdy!", aku kaget dan menjatuhkan gitar yang aku peluk tadi.

"Kamu kenapa?", Ferdy tambah bingung melihatku. Tanpa banyak kata aku peluk dia biar tidak pergi lagi.

"Jangan pergi huuaaaaaaa.......", suara tangisku pecah. Aku menangis dipelukan Ferdy sembari memeluk erat badannya.

"Aku ngga kemana-kemana kok".

"Tapi tadi kamu pergi".

"Ohh pasti kamu salah sangka ini", kata Ferdy yang melepaskan pelukanku dan menatap mukaku. Sesekali dia mengusap air mataku.

"Teruus sapa itu?", tanyaku berusaha menenangkan diri.

"Sapa lagi kalo bukan Kak Felix dan Tristan?", jelas Ferdy.

"Jangan bohongg".

"Bener, jadi kamu ngira itu aku?", tanya Ferdy.

"I....iya", jawabku. Hatiku sedikit lega ternyata itu bukan Ferdy. "Lalu yang tadi siang foto sapa?".

"Ohh itu, foto artis bokep lah", kata Ferdy yang menahan tawa.

"Jangan bohong! Mana ada artis bokep cakep gitu?!", aku mencoba menyelidikinya.

"Bener sayang", kata Ferdy yang membawaku keluar dari ruang pagar itu. "Sini kita duduk digazebo".

Aku keluar bersama Ferdy dan duduk di gazebo. Tapi aku ngga percaya kejadian tadi, apa benar itu Kak Felix dan Tristan? Aku jadi bingung.

"Ngapain duduk dipinggir sana, sini samping aku", perintah Ferdy dan aku menurut duduk di sampingnya.

"Sebenarnya kemaren aku sama Dika ngga kelahi", jelas Ferdy. "Kami hanya pengen ngerjain kamu".

"APA!!! Ngerjain??", kataku kaget.

"Ia, cuma Dika ngga setuju, ya sudah aku paksa kelahi saja".

"Paksa? Gila kamu!", aku mulai sadar dan memukul tangan Ferdy.

"Hahahahahaha", Ferdy tertawa terbahak. "Nah, itu juga dibantu sama Kak Felix".

"Ihhhh", aku merengut.

"Ga usah cemberut gitu", Ferdy mengelus daguku tapi aku hempas balik.

"Terus yang tadi?", tanyaku sedikit emosi.

"Karena Kak Felix sudah bantu, makanya sekarang aku bantu Kak Felix buat nyatain rasa cintanya ke Tristan", jelas Ferdy yang bersandar di kursi gazebo.

"Tapi kan Kak Felix pacaran sama Rika, adeknya Dika".

"Itu alibi doang, makanya Dika sedikit menjauh dari Kak Felix, tujuannya sih buat cari tahu tentang Tristan".

"Ahhh, jadi ngga masuk akal", aku menggaruk kepalaku. Tiba-tiba Ferdy menyambarku dari samping dan menciumku.

Aku terdiam dan memegang bibirku. Aku tatap Ferdy melihat apa ini mimpi?

"Aku sayang kamu Dit", ucap. "Aku selalu berharap kamu ada di sini".

Ferdy memegang tanganku dan mengarahkannya tepat didada kirinya. Aku tidak tahu mau menjawab gimana lagi. Rasa haru, senang, bahagia menjadi satu.

"Aku sayang kamu Fer", jawabku memegang erat tangannya dan dada kirinya

Damn! I wish you were here.

END

I'll Be Your Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang