Thalia tertidur sangat pulas di atas ranjangnya yang terlihat begitu nyaman, padahal waktu sudah menunjukan pukul setengah tujuh. Seharusnya dia sudah bersiap untuk pergi ke sekolah. Namun berhubung hari ini adalah hari yang paling enggan Thalia temui, maka bagaimanapun cara agar matanya terbuka, itu hanyalah hal yang sia – sia. Hari senin ini adalah hari menyebalkan, dimana dia harus berangkat lebih awal untuk melaksanakan upacara dan pulang lebih akhir untuk menjalankan hukuman akibat seringnya dia bolos kelas.
"Non bangun non! Sudah jam setengah tujuh. Nanti non bisa terlambat ke sekolah." Pembantu rumah tangga, eh ralat pengasuh Thalia dari kecil mencoba untuk membangunkan Thalia dengan cara mencipratkan sedikit demi sedikit air dari gelas yang dia bawa menggunakan jari tangannya. Memang bi Asih sudah tidak sungkan pada Thalia, karena bi Asihlah yang merawat Thalia dari bayi sampai detik ini.
"Ih apaan sih Bi!" Thalia mengubah posisinya menjadi duduk dengan mata yang masih sedikit menutup.
"Bangun non, nanti kesiangan sekolah. Lebih parah lagi, nanti non bakalan dimarahi sama nyonya dan tuan kalau sampai mereka tahu kalau non belum bangun. Ayo mandi!" Ucap bi Asih menarik tangan Thalia sampai Thalia bangkit dan mendorongnya untuk masuk ke dalam kamar mandi, menyuruhnya mandi, atau paling tidak mencuci muka dan menggosok gigi.
15 menit Thalia akhirnya keluar dari kamar mandi, dan di atas kasur sudah tersedia seragam sekolah yang bi Asih siapkan untuk Thalia. Di atas nakas sudah tersedia susu dan roti untuk Thalia sarapan, karena bi Asih tahu, Thalia tidak akan mau sarapan bersama keluarganya.
Thalia tersenyum kecut, setitik air mata turun dari matanya, tapi dia langsung mengusapnya kasar. Thalia benci menjadi lemah!
Thalia kemudian memakai seragam sekolahnya, menghabiskan sarapannya, dan berangkat sekolah. Saat kakinya menuruni tangga, dia langsung disuguhi pemandangan yang sangat menyakitkan untuknya. Bunda, ayah, dan kakaknya sedang berbagi tawa di meja makan sambil menyantap sarapan yang Thalia yakin bunda lah yang membuatkannya.
Thalia sudah biasa melihat pemandangan seperti ini setiap pagi, tapi kenapa hatinya tetap merasa sakit? Bahkan Thalia tidak pernah duduk bersama di sana, walau hanya sekedar untuk berbagi cerita. Kenapa orang tuanya sangat pilih kasih sekali?!
"Thalia? Kok baru berangkat? Inikan sudah jam tujuh? Kamu masuk bukannya jam tujuh?" Suara bunda membuat Thalia tersadar dari lamunannya, suara dingin itu, membuat hati Thalia seakan teriris.
Semenjak Devan meninggal, bundanya sama sekali belum menunjukkan sosok lembut seorang ibu lagi, kepadanya. Thalia menghiraukan pertanyaan yang terlontar dari bundanya, dia terus berjalan dengan memasang tampang datar. Di depan, supir pribadi Thalia sudah menunggunya.
Bukannya Thalia tidak bisa mengendarai mobil, hanya saja dia tidak difasilitasi mobil oleh kedua orang tuanya. Alasannya, Thalia masih dibawah umur untuk mengendarai mobil sendiri. Padahal Thania sudah diperbolehkan mengendarai mobil sejak awal masuk SMA, alasan kedua yang diberikan orang tuanya pada Thalia adalah Thalia kurang jenius, tidak seperti kakaknya.
🍀🍀🍀
"Mang, nanti pulang sekolah jangan jemput Thalia, ya?" Ucap Thalia saat sudah sampai di depan gerbang sekolah.
"Gak bisa atuh neng. Mamang teh sudah disuruh nyonya buat antar jemput neng Thalia tepat waktu. Kalau mamang tidak menurut, nanti mamang teh bisa dipecat atuh neng." Jawab Mang Agus, supir Thalia dengan tidak enak. Thalia menghembuskan nafas kasar, dan memasang wajah sebal.
"Aduhh mamang gak usah khawatir. Bunda gak bakalan marah, Thalia janji gak akan pulang malem, hari ini Thalia ada janji sama temen Thalia buat kerja kelompok!"
"Atuh ngomong dari tadi mau kerja kelompok gitu neng. Muhun atuh mamang teh gak bakalan jemput neng kalau neng Thalia kerja kelompok mah."
"Gitu kek dari tadi mang." Sorak Thalia sambil memukul bahu mang Agus lumayan kencang, saking kencangnya, mang Agus sampai mengaduh.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Far Away ✔✔✔
Teen FictionMencintaimu adalah hal yang paling menyakitkan. Setiap hari aku selalu membayangkanmu dan menangis, tanpamu aku tidak bisa melakukan apapun. Aku selalu mengawasimu dari kejauhan. Seperti angin dan debu, yang tak bisa ku tangkap walau kau sedekat nad...