Biarlah aku menerima hukuman yang tidak aku perbuat. Tapi, satu keyakinan yang pasti akan terjadi. Tuhan maha adil. Aku yakin akan ada hukuman yang lebih berat dari hukumanku kelak menimpa sang pelaku sebenarnya. Entah itu di akhirat atau di dunia. Mungkin kini Tuhan sedang memberikan pemanasan pada pelaku untuk menerima hukuman nanti.
Gelap, dingin, menaku tkan. Semuanya dapat dirasakan oleh Thalia saat ini. Di dalam kurungan ber sel bersama dengan para narapidana lainnya. Para narapidana wanita yang selalu menatapnya sinis dan tajam. Walaupun Thalia bersikap cuek, dan masa bodo, namun hatinya berkata lain. Siapa yang tidak takut satu ruangan bersama dengan para penjahat yang bisa kapan saja menindas kita?
"Heh anak kecil!" Ucap salah satu napi kepada Thalia. Thalia langsung menengokkan kepala kearahnya, karena memang dialah satu-satunya remaja di dalam sel ini.
"Saya?" Tanya Thalia dengan dingin sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Siapa lagi anak kecil yang berada di sini, hah?!" Ucap napi itu lagi kini dengan sinis.
"Mau jadi apa kamu masih muda sudah masuk penjara? Saya yakin kamu masih pelajar, kan?" Lanjutnya membuat Thalia tersinggung dan kini berani menatap ibu – ibu itu dengan tajam.
"Lantas kenapa anda masuk penjara? Apakah anda tidak memikirkan keluarga anda? Saya hanya difitnah atas perbuatan yang tidak saya laku kan. Saya yakin, sebentar lagi saya akan keluar dari ruangan mengerikan ini karena saya memang tidak bersalah." Jawab Thalia sinis.
Napi tersebut tersulut emosinya, namun segera ia redam karena ia akan mengucapkan kalimat yang membuat Thalia bungkam. Karena itu, kini senyuman sinis tersungging di bibirnya.
"Baguslah jika begitu. Karena kalau dalam 2 hari kamu masih di sini, itu berarti kamu akan mati."
Deg
"Saya dengar dari polisi, bahwa anda membunuh saudara kandung anda sendiri, maka mereka memutuskan untuk menghukum mati nona yang bernama Thalia."
Deg
Thalia menatap terkejut ke arah napi yang kini tersenyum remeh ke arahnya karena puas membuat Thalia diam seribu bahasa.
"Tahanan nomor 1652!" Seru polwan membuat Thalia berdiri, karena memang dialah tahanan yang bernomor 1652.
"Saya!" Jawab Thalia.
Polwan tampak sedang membuka gembok pintu sel.
"Ada keluarga kamu yang sedang menunggu."
Senyum Thalia mengembang, ia akan segera keluar dari tempat mengerikan ini, dan dia tidak akan dihukum mati lusa. Thalia langsung mengikuti polwan ke tempat dimana keluarga yang dimaksud polwan tersebut menunggunya.
Benar saja, senyum Thalia terkembang saat melihat bunda dan ayahnya sedang duduk di sana, Thalia tahu, dari awal kedua orang tuanya sangat menyayanginya hingga mereka rela meninggalkan pekerjaan mereka diluar kota untuk membebaskan dirinya.
Senyumnya luntur saat Thania masuk ke dalam ruangan itu dan dengan santainya duduk di sebelah Anjani. Rahangnya tampak mengeras, tapi walaupun begitu, ia tetap duduk di depan mereka. Walaupun terhalang oleh kaca, tapi Thalia senang bisa melihat wajah kedua orang tuanya.
"Sayang, gimana kabar kamu ?" Anjani mengawali percakapan dengan bertanya kabar Thalia.
"Lia baik – baik saja bun, yah, jangan khawatir."
Bohong. Thalia tidak baik – baik saja. Ia merasa tertekan tinggal di dalam sel. Ia hanya ingin terlihat baik – baik saja di depan kedua orang tuanya, ia tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Far Away ✔✔✔
Novela JuvenilMencintaimu adalah hal yang paling menyakitkan. Setiap hari aku selalu membayangkanmu dan menangis, tanpamu aku tidak bisa melakukan apapun. Aku selalu mengawasimu dari kejauhan. Seperti angin dan debu, yang tak bisa ku tangkap walau kau sedekat nad...