Thalia menatap jendela dengan hambar. Air matanya sedikit demi sedikit meluncur bebas merambat melalui pipi kanan dan kirinya yang sudah memerah. Dia terduduk di atas dinginnya lantai dengan kedua tangan yang menutupi kedua telinganya rapat. Bibirnya sedikit mengeluarkan isakan – isakan kecil.
"Makanya kamu gak usah kerja! Saya kan sudah bilang! Urus saja anak – anak di rumah! Lihat sendiri, kan? Thalia jadi anak yang buruk gara-gara kamu !"
"Jangan hanya menyalahkan saya! Kamu juga tidak memberikan perhatian sepenuhnya pada anak-anak!"
PLAKKK'
Thalia tambah mengeratkan tangan di telinganya, dan semakin menangis. Rasanya Thalia sudah tidak kuat berada di rumah ini, dia ingin pergi saja, jika bisa dia ingin pergi dari dunia ini untuk selamanya. Mengakhiri rasa sakit yang orang – orang sekitar berikan padanya, dia ingin kembali tersenyum dengan senyum tulus yang kini tidak pernah ia perlihatkan pada orang lain termasuk dirinya sendiri. Selama ini dia memang tersenyum, namun senyuman itu tidak setulus sebelum kejadian naas yang menimpa kakak laki – lakinya.
Jika saat ini ada Thania, pasti dia yang akan memisahkan kedua orang tuanya yang sedang bertengkar itu. Namun, apa daya sekarang? Thalia hanya bisa menangis sendiri dikamar, mendengar kata demi kata yang terlontar dari mulut kedua orang tuanya secara kasar, karena dia. Thania masih berada di kampusnya dan masih sangat lama untuk pulang karena dia sedang mengurus skripsi akhirnya dengan dosen pembimbing.
Cukup! Thalia sudah tidak kuat. Ia berdiri, dan langsung menggebrak pintu kamarnya secara kasar. Di depannya kedua orang tua itu menatapnya tajam, walaupun mata bunda penuh dengan air mata, namun tatapannya tetap tajam pada Thalia seolah mengatakan bahwa "kamu mau kemana? Tidak lihat kami bertengkar karena perilaku burukmu?".
Thalia tidak menanggapi atau mempedulikan tatapan itu, dia menatap balik mereka dengan dingin seraya melengang pergi tanpa sepatah katapun.
"MAU KEMANA LAGI KAU THALIA?!" Suara berat nan besar ayahnya menggelegar di telinga Thalia. Namun, ia tetap berjalan keluar rumah walaupun di luar sedang hujan deras disertai petir yang menggelegar memecah langit gelap dengan awan hitam pekat menggantung padat. Malam ini tidak ada bulan yang memancarkan sinarnya yang indah, langit pun ikut bersedih atas apa yang terjadi pada hidup Thalia. Seakan ikut merasakan kesedihan yang Thalia rasakan, saat Thalia memecah derasnya hujan, air mata langit semakin deras menghujami tubuh Thalia dengan disertai suara gemuruh petir yang saling bersahutan memecah keheningan malam.
Kata orang, jika ingin menangis, menangislah di bawah hujan deras, agar siapapun tidak akan tahu bahwa kau sedang menangis. Itulah Thalia saat ini, dia berada di bawah guyuran air hujan deras sambil menangis tanpa suara. Sang rembulan malam ini tidak menampakkan diri di atas sana, bersembunyi dibalik awan hitam pekat yang mengeluarkan air ke permukaan bumi.
Thalia terus berjalan dan terus melangkah, sampai akhirnya kakinya berhenti untuk melangkah. Tepat di depan gerbang rumah besar milik Axal.
Dengan nekad, dia memencet tombol bel rumah Axal. Tidak peduli, mau mamah atau papah Axal ngomong apa tentang dirinya karena berani bertamu ke rumah laki – laki di malam hari saat cuaca sedang hujan dengan kondisi basah kuyup dan mata sembab.
"Thalia?!" Ucap seseorang terdengar kaget. Thalia tau itu Axal, maka ia langsung menabrakan tubuhnya, memeluk Axal dan menangis dalam pelukannya.
Axal yang kaget akan hal itu hanya terdiam dipeluk oleh Thalia. Jujur, dia tidak tahu harus bagaimana. Dia bahkan tidak tahu kenapa Thalia. Ternyata Thalia si biang onar ini memiliki sisi yang rapuh seperti ini.
Axal tersadar dan melepaskan pelukan Thalia, dia terkejut saat melihat wajah Thalia yang sedikit pucat dan sembab oleh air mata. Entah dorongan dari mana, Axal membawa Thalia ke dalam rumahnya, dan mendudukan Thalia di sofa yang berada di ruangan khusus yang selalu Axal pakai bersama Amelia. Dia pun duduk di sebelah Thalia, tangan kanannya merangkul pundak Thalia, mencoba menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Far Away ✔✔✔
Novela JuvenilMencintaimu adalah hal yang paling menyakitkan. Setiap hari aku selalu membayangkanmu dan menangis, tanpamu aku tidak bisa melakukan apapun. Aku selalu mengawasimu dari kejauhan. Seperti angin dan debu, yang tak bisa ku tangkap walau kau sedekat nad...