Sudah hampir 2 bulan Dimi terus mencari Abel, dan Tami terus mengikutinya walau setiap harinya ia tahu ini semua hanya membuang waktu karena Abel tidak berada di negara ini.
"Dim, nanti pulangnya lo gak usah anterin gue ke kost-an."
"Emang lo mau kemana?"
"Kepo lo nyet."
"Apa? Turun lo sekarang di sini," kata Dimi mengancam sambil memberhentikan mobilnya.
"Eh iya-iya enggak! Ampun bossku. Gue mau cari sepatu running, sekalian beli kebutuhan nak kost-an."
"Buat apaan?"
"Buat olahraga lah. Gue mau diet."
Lalu Dimi tertawa, "Banyak gaya lo. Palingan makin gendut yang ada."
"Ngomong!" Tami melotot
'Padahal gue mau diet gara-gara lo bilang gue makan mulu 2 hari lalu nyet'
Lalu Tami memainkan ponselnya, dan kadang tertawa sendiri melihat jokes receh yang tidak penting.
"Sampe," sahut Dimi tiba-tiba.
Tami melihat sekitarnya, "Kok kesini?"
"Katanya lo mau beli tetek bengek yang tadi lo sebut?"
"Ya, kan gue sendiri. Lo ngapain ikut?"
"Lah siapa juga yang ikut? Orang lo turun gue pulang kok. Geer banget lo nyet. Mau banget gue temenin?"
Tami melotot sambil mengomel.
"Gak usah!" katanya keras sambil menutup pintu mobil Dimi dengan dibanting.
Lalu ia masuk ke dalam mall tersebut dengan kesal, wajahnya memerah karna malu mengharapkan Dimi ikut menemaninya.
Lalu ia masuk ke dalam salah satu toko olahraga.
Terdapat banyak sepatu disana tetapi sepatu berwarna hijau army dan maroon begitu menarik perhatiannya, keduanya disenangi Tami, hanya saja yang hijau army berbahan bludru sehingga susah dicuci, tetapi cocok untuk dipakai jalan-jalan santai. Tami suka yang dapat banyak tentunya. Yang maroon ada diskon sebesar 10%
Lalu ia menatap kedua sepatunya lekat-lekat bergantian, agar tidak menyesal.
"Udah yang army aja, lebih cocok," kata suara dibelakang.
Tami segera menengok ke belakang.
"Ngapain lo?!"
"Kasian masnya kalo gue gak kesini nungguin lo milih bisa 3 hari 2 malem. Yang army aja."
"Gak nanya pendapat lo!"
"Banyak omong lo ah, sini."
Secara tiba-tiba Dimi berjongkok dan memasangkan sepatu tersebut di kaki Tami.
Tami tersentak, tidak menyangka apa yang telah dilakukan oleh Dimi.
"Tuh kan, bagus. Cocok. Udah yang itu aja."
Pipi Tami bersemu merah lalu ia menundukan wajahnya agar Dimi tidak melihatnya.
"Mmm... Ya udah mas yang ini aja."
Lalu Tami segera membayar dan keluar dari toko tersebut.
"Ngapain lo nyusul?!" tanya Tami sewot.
"Kan lo mau ditemenin."
"Dih geer. Siapa juga yang ngomong gitu."
"Bener? Ya udah deh gue balik aja," kata Dimi hendak berbalik menuju lift.
"Ih!"
"Ih apaan?" tanya Dimi.
"Ya..."
"Ya apaan?"
"Ya...udah sono."
"Alah bilang ya jangan doang ribet bener sih lo ah. Udah kuy," kata Dimi sambil menarik tubuh Tami dengan merangkul pundaknya.
Mereka-pun menghabiskan waktu di mall tersebut. Menemani Tami berbelanja, sampai bermain di Game Master karena sudah bosan.
Tiba-tiba ponsel Tami berbunyi.
"Bentar gue angkat dulu."
Dimi yang sedang fokus bermain basket mengangguk.
"Hallo, tante?"
"..."
"Lagi di luar. Kenapa tante?"
"..."
"Jam berapa tante?"
"..."
"Oke. Oke. Aku pulang sekarang."
Tami memasukan kembali ponselnya dan segera menarik lengan Dimi.
"Dim, ayo pulang."
"Hah? Kenapa? Ini belom beres."
"Udah nanti lagi. Ayo cepetan."
Lalu mereka keluar dan menuju tempat parkir.
Tami terus sibuk dengan ponselnya, wajahnya serius.
"Gue nanya daritadi gak lo jawab," kata Dimi tiba-tiba.
"..."
"Tami!"
"Hah? Apaan sih Dim? Bentar-bentar."
"Au ah," kata Dimi, kezel.
10 menit kemudian mereka sampai dan Tami dengan buru-buru keluar.
"Makasih, Dim."
Dimi belum sempat bertanya ketika Tami sudah berlari ke dalam.
Tami memasuki kost-kostan dengan cepat dan memasukan beberapa pakaiannya ke dalam tas.
"Lo ngapain dah?"
"Gue mau pergi."
"Hah? Kenapa? Lo masih marah sama gue?"
Tami tidak menjawab karena ia telah dikejar waktu.
"Tamiiiiii! Maafin gue," kata Erin memeluknya tiba-tiba.
"Ih apaan sih ah lepasin. Gue gak marah sama lo!"
"Terus lo mau kemana?"
"..."
"Jawab kalo gue ngomong!" kata Erin.
"Yaelah ribet banget deh lo setan. Bentar dulu. Gak liat gue lagi buru-buru?"
Lalu setelah Tami yakin sudah tidak ada yang tertinggal ia keluar, melihat taxi yang tadi ia pesan sudah datang atau belum.
Erin masih menunggu Tami bercerita.
Suara klakson berbunyi dari luar dan muncul sebuah taxi berwarna biru.
"Dah. Gue cabut dulu, Rin."
Erin segera berdiri mengejar Tami.
"Lo mau kemana?" teriak Erin.
Tami membuka jendela taxi tersebut dan menjawab, "Bandara. Dadaaah."
Lalu taxi tersebut berlaru dari hadapannya.
"Hah? Bandara? Apaan sih gak jelas," tanya Erin pada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPRÉVU
Teen Fiction"Was it hard?" I ask. "Letting go?" I nodded. "Not as hard as holding on to something that wasn't real." --- Pertemuan dan waktu? Siapa yang tahu? Mereka semua dipertemukan dan disatukan sehingga menjadi takdir. Dengan waktu yang salah maupun benar...