Mata Tami masih bengkak karena menangis, hari ini ia akan pulang bersama kedua orang tua Abel untuk menguburkan Abel di Jakarta.
Ketika itu juga Dimi mengetahui keberadaan Abel, tapi tidak megetahui keadaan Abel.
Dimi tersenyum sesampainya di bandara.
"Tami? Kok lo ada disini?"
Belum sempat Tami menjawab, Dimi kembali berkata,
"Mana ya Abel. Gue gak sabar ketemu sama dia. Dia kok ga bilang ke gue mau liburan doang."
Lalu terlihat kedua orang tua Abel, dengan wajahnya yang pucat karena lelah dan juga sedih.
Dimi tersenyum dengan lebar, "Hallo, Om, Tante. Apa kabar?"
"Baik, Dim," jawab Papa Abel.
"Tante lagi sakit, Om?" tanya Dimi yang melihat penampilan Ibunda Abel begitu kacau.
"Iya. Tante kurang istirahat kemarin-kemarin," jawab Papa Abel.
"Tante mau Dimi beliin yang anget-anget?"
"Enggak usah, Dim. Makasih ya."
"Mm... Abelnya dimana, Om?"
"Abelnya lagi tidur, Dim. Abel capek."
"Oh, ya udah gak apa-apa. Nanti Dimi ke rumah deh kalo Abel udah bangun."
Masalahnya, Abel gak akan pernah bangun lagi, Dim.
"Kalo gitu Dimi duluan ya, Om, Tante. Ada urusan dulu."
Lalu Dimi pergi begitu saja.
"Tante, kalo Dimi nanya gimana? Tapi gak sanggup jelasinnya," tanya Tami.
Lalu Ibunda Abel membuka tas tangannya dan memberikan CD.
"Abel yang buat. Pesan Abel, kasih ke Dimi disaat dia udah tau semuanya."
Sesudah itu, kami-pun berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
Pikirannya masih melayang.
Semuanya terasa cepat, dan ia belum siap.
Sakit melihat wajah Dimi berseri seperti itu disaat selama ini ia tidak pernah melihatnya.
Sesudah bebersih Tami harus cepat pergi kembali karena Abel akan dimakamkan hari ini juga.
Tami bercerita kepada Erin dan Anya. Mereka-pun ingin ikut dan hendak membantu.
Sesampainya dirumah Abel mereka-pun masuk, tidak banyak orang, hanya kerabat dekat saja karena sepertinya hanya sekecil orang yang tahu bahwa Abel telah berpulang.
"Tami, sekarang kita mau menuju ke pemakamannya, karena sudah mendung dan takut hujan. Tapi disini masih ada beberapa tamu, bisa tolong bantu tante? Ada bibi juga, kalau sudah beres kamu boleh nyusul sama Pak Asep ya," kata Ibunda Abel.
Lalu Tami menganggukan kepalanya.
"Ya udah Tante pergi dulu ya. Yuk mari semuanya," katanya sembari tersenyum.
"Tam, Abel anak tunggal?" tanya Anya.
"Iya."
"Kasian ya. Pasti sedih banget, gue jadi mamanya udah gila kali kehilangan anak gue satu-satunya."
Jangankan mamanya, Dimi aja yang bukan ngelahirinnya pasti udah gila.
10 menit berlalu, tamu silih berganti datang dan menyusul ke tempat Abel akan dikubur.
Mereka hendak pergi ketika tiba-tiba Dimi datang.
Ia tidak sendiri...
Ia bersama Ivana.
"Apa maksudnya bendera kuning? Siapa yang meninggal?" tanya Dimi dengan sorot marah di matanya.
"..."
"Gue nanya. Jawab!"
"..."
"Lo semua budek atau bisu?"
"Abel yang meninggal. Dan kamu selama ini percuma nyari Abel sama Tami. Karena guess what? Orang munafik itu selama ini tau dimana Abel berada. Kamu cek aja hp-nya. Dia punya kok kontak Abel, suka teleponan malah. Betul, Tamara?" tanya Ivana dengan senyum liciknya.
"Bener Tam?" tanya Dimi.
Tami tidak berani menjawab, ini adalah waktu yang paling ia takutkan.
Dimana Dimi mengetahui segalanya...
"Sorry, Dim. Gue sama sekali gak ada maksud tapi in-"
"Tapi apa? Lo mau bilang Abel yang minta? Dibayar berapa sih lo sama Abel? Coba aja kamu kasih uang, Dim. Dia pasti ngasih tau Abel dimana," Ivana tiba-tiba menjawab.
Anya sudah hendak menghampiri Ivana tapi di tahan oleh Erin.
"Gue gak pernah dibayar sepeser pun sama Abel. Gue melalukan ini karena dia yang minta, dan gue tulus bantu dia. Sorry gue boongin lo, Dim. Abel bilang ini demi kebaikan kalian."
"Gak ada yang namanya bohong demi kebaikan. Baik apanya kalo bener Abel meninggal? Coba lo jelasin apa baiknya." sahut Ivana.
"Makanya, lo gak usah masuk-masuk ikut campur sama hubungan orang. Lo sadar gak sih lo tuh bukan nolongin orang tapi lo penghalang cintanya Abel sama Tami," lanjutnya.
"Heh provokator goblok. Lo ngaca! Gak usah jadi kompor. Memperkeruh masalah. Daritadi ngomooong aja. Napa? Mulut lo gatel? Sini gue garukin," teriak Anya sambil hendak menghampiri Ivana.
"Udah! Gue gak mau tau dan gak mau denger. Sekarang Abel dimana?"
"D..Di pemakamannya, Dim."
Lalu Dimi pun berlari tanpa memikirkan Ivana yang tadi bersamanya.
"Emangnya enak ditinggal?" ejek Anya dengan nada sarkistiknya.
"Kenapa lo kasih tau, Dimi?" tanya Tami kepada Ivana.
"Dimana-mana kebenaran itu harus ditegak-an, Tamara Shearen. Orang mau sedalam apapun bersembunyi pasti ketahuan juga."
"Oh, termasuk kebenaran bahwa papa lo lah selingkuhan mamanya Dimi?"

KAMU SEDANG MEMBACA
IMPRÉVU
Fiksi Remaja"Was it hard?" I ask. "Letting go?" I nodded. "Not as hard as holding on to something that wasn't real." --- Pertemuan dan waktu? Siapa yang tahu? Mereka semua dipertemukan dan disatukan sehingga menjadi takdir. Dengan waktu yang salah maupun benar...