Sambil dengerin mulmed yaks biar kerasa getoh feelnya!
Enjouuuy!Dimi tidak dapat berkata-kata, Tami berada di sebelahnya.
Ia menatap tanah kubur di hadapannya.
Disitulah tempat Abel berada sekarang.
Dimi terlambat. Melihat kekasihnya untuk yang terakhir kalinya.
Seketika beribu-ribu kenangan bersama wanitanya bermunculan secara bersamaan.
Yericha Samantha Abella, tertera namanya di kayu tersebut.
10 Mei 1996 - 10 April 2017Sehari sebelum hari ini.
Dimi mengepalkan tangannya, ia tidak percaya dengan apa yang ada di depan matanya sekarang. Apakah ini benar kekasihnya? Ia berharap bukan. Ia berharap ini mimpi.
Tahan...
Ia tidak mau terlihat lemah.
Tetapi pertahanannya sia-sia, runtuh begitu saja, mengingat hal ini terulang lagi, orang yang ia sayang pergi, tanpa akan kembali.
Bahkan ia tidak sempat mengucapkan kata perpisahan.
Dimi terduduk di depannya, ia menangis.
Menangis dalam diam.
"Bel."
"Kenapa kamu gak ngasih aku kesempatan untuk ketemu sama kamu? Sebentar aja."
"..."
"10 detik pun cukup asalkan kamu tau aku sayang sama kamu."
Diam. Sepi. Seperti hatinya sekarang.
"Kamu bilang kamu bakal selalu ada untuk jadi bahagianya aku. Bukan gini caranya, Bel."
Dimi mulai terbata-bata karena ia benar-benar sudah tidak dapat menahan kesedihannya.
Ia hanya diam, menatap nama Abel disana, masih berharap bahwa ini hanyalah sebuah mimpi.
Tami mendekati Dimi, menyentuh pundaknya secara perlahan, berharap energi dari dirinya dapat menguatkan Dimi yang sedang rapuh.
Dimi berpaling, menatap Tami.
"Kenapa lo ngebiarinin Abel buat pergi dari gue? Gue nyari Abel, dan gue baru sadar kalo adanya lo bikin Abel semakin jauh bahkan hilang dari gue. Kenapa?" Dimi mengguncang pundak Tami dengan kedua tangannya sambil berteriak.
"Kenapa lo harus jadi tembok gue dan Abel? Bahkan gue gak ada buat Abel disaat dia berjuang terakhir kalinya untuk hidup! Gue gak ada disaat dia butuh gue! Gue gak ada disana untuk megang tangannya! Bahkan gue gak di kasih kesempatan untuk liat dia terakhir kali!"
Tami menunduk, air matanya mulai jatuh, seolah ia merasakan alam dan Dimi yang bersedih sore itu.
"G.. Gue minta maaf, Dim." Tami berkata dengan gemetar hebat di suaranya.
Dimi tertawa sarkastik, "Gampang ya lo minta maaf. Maaf lo gak akan bikin Abel hidup lagi, gak bakal bisa bikin Abel ada disamping gue lagi!"
Tami diam, tidak memiliki keberanian untuk menjawab. Karena sekarang ia tahu apa yang telah dilakukannya salah dan memperburuk suasana.
"Gue gak sempet ngomong sama dia untuk yang terakhir kali. Bahkan untuk bilang gue sayang sama dia aja gak bisa. Kalo gue ngomong sekarang, emang dia denger? Enggak, Tam."
Dengan ini Tami mengerti bahwa Dimi benar-benar mencintai Abel, dan tidak ada yang dapat mengelak fakta tentang hal itu.
"Gue janji untuk selalu ada buat dia, tapi gue gak bisa menepati janji yang udah gue buat sendiri," kata Dimi dengan suara yang parau.
"Abel adalah alasan gue mau buat menjalani hidup ini. Sekarang, dia udah pergi. Untuk sekedar gue bangun menjalani hari esok aja gue gak mau, Tam. Gue gak bisa," lanjutnya.
Ia menyentuh tanah yang telah tercampur dengan bunga diatasnya itu.
"Kalo gue bisa kembali ke masa lalu, you know I will. Gue gak siap dan gak akan pernah siap untuk kehilangan Abel."
Lalu Dimi kembali menatap kuburan didepannya.
"Maaf, Bel. Aku gak bisa jagain kamu, dan nepatin janji aku."
"Lo gak akan pernah bisa ngerti, seberapa cinta gue sama Abel. Seberapa kuat gue untuk selalu ngelindungin dia. Dan sekarang, hati gue hanya digerogoti rasa bersalah tau kenyataan ini," kata Dimi lagi, mencurahkan perasaannya.
Iya, lo bener Dim. Gue gak akan pernah ngerti, gue pura-pura buta. Dan gue juga salah udah berharap bisa gantiin posisi Abel dihati lo.
Tami hanya bisa mencurahkan perasaannya di hatinya, tanpa dapat mengeluarkan tumpahan isi hatinya, semua kata yang tidak dapat terucap, yang tidak dapat disampaikan, dan Dimi juga tidak akan pernah peduli akan perasaannya.
"Gak ada hal yang paling menyakitkan selain terpisah secara terpaksa. Cinta beda alam. Gue bisa apa? Merubah takdir yang udah diatur? Gue bukan Tuhan, gue gak bisa bikin Abel kembali sama gue. Minimal gue tau, Tam. Keadaan cewek gue sendiri, dimana cewek gue berada. Karena itu udah hak gue," Dimi menatap Tami dengan tatapan kekecewaannya.
"Lo tau, gak ada benernya sama sekali lo turutin permintaan Abel karena lo sama aja misahin gue sama dia."
Dimi marah kepada dirinya sendiri, sangat marah.
Ia selalu bertanya mengapa Tuhan membawa Abel? Ia menyalahkan Yang Maha Esa atas semua ini.
Ia benci ditinggalkan...lagi.
"Bisa lo pergi?" tanya Dimi kepada Tami.
"Iya. Gue bakal pergi kok, Dim," jawab Tami.
Pergi untuk seterusnya karena gue udah melakukan kesalahan besar yang gak bisa lo maafin lagi. Iya kan, Dim?
Hmm, gimana nih?! Kependekan ya?!?!?!?!!? Kok jadi begini.
Ya... tunggu saja episode selanjutnya.
Maaf ya kalo feelnya masih belom dapet :(
Boobye!❤

KAMU SEDANG MEMBACA
IMPRÉVU
Teen Fiction"Was it hard?" I ask. "Letting go?" I nodded. "Not as hard as holding on to something that wasn't real." --- Pertemuan dan waktu? Siapa yang tahu? Mereka semua dipertemukan dan disatukan sehingga menjadi takdir. Dengan waktu yang salah maupun benar...