Ivana hendak berlari dan memisahkan kedua orang yang berpelukan di depan matanya tersebut, tetapi tangan kanannya di tahan oleh seseorang di belakangnya.
Ivana menoleh dan mendapati Bima yang menahannya, "Lepasin nggak?"
"Van, lo dan bokap lo udah cukup bikin hidup Dimi sulit. Biarin sekarang Dimi mencari kebahagiaannya lagi," ucap Bima.
"Nggak bisa, Dimi bahagia kok sama gue!" Ivana berusaha melepaskan lengan Bima yang menahannya.
Bima pun memegang kedua pundak Ivana dan mengguncangnya, "Nggak gini caranya. Sayang sama obsesi itu beda, Van. Lo mikir nggak, sekarang dia sehancur apa? Disaat mama kandungnya sendiri milih papa lo? Di mata dia, lo dan bokap lo udah rebut semua yang dia punya. Gue mohon, tolong kasih Dimi waktu."
Ivana-pun berhenti, ia menunduk.
Dan mulai berpikir tentang semua yang telah Bima katakan.
"Lo salah kalau mau mendapatkan Dimi dengan cara itu. Cewek nggak seharusnya kayak gitu," ucap Bima tiba-tiba.
Ivana memandang Bima yang sedang menatap pemandangan di depannya.
"Terus?"
"Mau gue ajarin?"
--------------------
Subuh-subuh sekali, Tami berusaha memberikan semangat kepada dirinya sendiri yang baru terlelap selama 3 jam.
Terdengar suara grasak-grusuk sehingga membangunkan Erin.
"Tam, berisik! Besok gue ujian. Lo ngapain sih?" ujar Erin dengan matanya yang masih setengah terbuka.
"Nyari kecoa," jawab Tami asal-asalan.
Lalu ia keluar dan menuju dapur.
Tami mengikat rambutnya dan menarik nafasnya dalam, "Let's do this."
Ia-pun mengeluarkan semua bahan yang ada untuk membuat bubur.
Ya, untuk Dimi.
Diminya?
Ia selalu tersenyum jika mengingat hal itu.
Padahal ia selalu mengatakan teman-temannya lebay jika seperti itu.
Tami sebenarnya khawatir, karena ia belum pernah membuat bubur sebelumnya.
Tami tidak mau membeli, karena dari apa yang Tami tahu, Abel selalu memasakan makanan untuk Dimi.
Tami ingin Dimi tahu, bahwa Tami pun bisa memasak untuknya.
Beberapa jam kemudian ia telah siap dengan bubur spesialnya.
"Rin, gue cabut dulu ya."
Erin yang baru saja bangun dari tidur nyenyaknya berusaha membuka matanya, "Hah? Jam berapa nih?"
Lalu Erin menatap jam di ponselnya.
08.00 AM
"Lo mau kemana nyet biasa juga jam segini masih ngorok," ucap Erin.
"Dimi sakit."
Erin yang hendak menguap dengan sigap bangun dari tempat tidurnya, "Terus?"
"Ya gue bawain makanan lah, sinting."
"Kan lo... Udah baikan?"
Lalu Tami tersenyum, mengingat kejadian kemarin malam. Perutnya bagai dipenuhi kupu-kupu terbang dan pipinya pun memerah.
"Heh, jawab tuli!"
"Kepo lo. Udah gue cabut dulu ya, btw softex lo belum lo buang tuh nyet," Tami pun keluar dan menaiki Gojek yang sudah dipesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPRÉVU
Teen Fiction"Was it hard?" I ask. "Letting go?" I nodded. "Not as hard as holding on to something that wasn't real." --- Pertemuan dan waktu? Siapa yang tahu? Mereka semua dipertemukan dan disatukan sehingga menjadi takdir. Dengan waktu yang salah maupun benar...