VINGT

75 13 4
                                    

Mulmed: Nichol jajan basreng di warung depan.




Hujan angin melanda Jakarta hari ini karena cuaca berganti secara tidak jelas.

Tami baru saja selesai menutup toko tempatnya bekerja setengah hari, wajahnya pucat.

Perutnya sangat sakit seperti di tusuk-tusuk.

Dan ia baru ingat, bahwa ia belum makan dari pagi, padahal ini sudah pukul 6 sore dan langit sudah mulai gelap.

Lalu Tami mengeluarkan ponselnya dan memencet sebuah nomer, lalu ia menempelkan ponsel ke telinganya dengan tangan kiri memegang perutnya yang sakitnya semakin menjadi-jadi.

Tuttt... tuttt... tuttt...

"Kenape?"

"Lo dimana, Rin?"

"Di cafe, masih part-time."

Erin merasa nada suara Tami berubah.

"Lo kenapa?" tanyanya kepada Tami.

"Lo bisa jemput gue? Maag gue kambuh, disini ujan angin."

"Gue tanya dulu ya, Tam. Takutnya gak boleh, soalnya gue kebagian shift malem hari ini. Lo sekarang dimana?"

"Masih di toko. Baru tutup."

"Oke."

Lalu telepon terputus.

Tami terus memegangi perutnya yang dirasa tertusuk-tusuk.

Lalu 10 menit kemudian terdapat mobil hitam berhenti di depan toko tersebut.
Jendelanya terbuka dan menampilkan bapak-bapak berusia kira-kira empat puluhan dengan seragam hitam khas supir pribadi.

"Mbak Tamara?"

"Iya?"

Lalu bapak tersebut turun dengan payung ditangan-nya menghampiri Tami.

"Saya Aji, ditugasin jemput mbak Tamara disini."

"Ditugasin sama siapa ya pak?"

"Sama mbak Erin."

Karena perut Tami semakin sakit, ia percaya, tidak dapat berpikir jernih. Ia berpikir itu adalah Uber yang dipesan oleh Erin, yang penting sekarang ia dapat sampai kost-an dan mengistirahatkan tubuhnya.

Pak Aji dan Tami berjalan beriringan dengan payung yang dipegang oleh Pak Aji menuju mobil tersebut.

Lalu Tami berusaha terlelap agar sakitnya tidak terlalu terasa, dan ia pun terlelap.

--------------------

Tami terbangun karena merasa dahinya basah, kepalanya begitu berat dan perutnya semakin terasa ditusuk-tusuk.
Ia mengerjapkan matanya berkali-kali sampai matanya jelas melihat.

"Rin? Kok lo udah pulang?"

Lalu beberapa saat ia sadar dan berusaha duduk karena jika tiduran perutnya semakin terasa sakit, bahkan sekarang jika bernafas saja semakin terasa sakit.

"Terakhir kan gue di Uber? Kok udah di sini?"

Secara tiba-tiba pria berkaos biru dongker masuk dengan badan dan bajunya yang basah karena kehujanan.

"Ngapain lo kesini?" tanya Tami sinis.

"Ng... gue ke dapur dulu ya guys," kata Erin beranjak melewati Nichol yang berdiri di pintu.

Nichol menghampiri Tami dengan tatapan khawatir dan hendak memegang jidat Tami, tetapi Tami segera menghindar dan menatap Nichol dengan tatapan sinis.

"Masih sakit?"

"Bukan urusan lo."

Sakit.

Tetapi Tami tidak mau menunjukan rasa sakitnya di depan pria ini.

Nichol tersenyum, "Tadi aku beliin obat maag sama nasi soto, maaf ya bubur Mang Dodo hari ini gak buka. Makan dulu ya She," kata Nichol lembut dengan senyum tulusnya.

"Gak butuh."

"She. Kamu mau kayak waktu itu? Sampe harus masuk IGD? Sedikit aja, biar bisa minum obat."

Tami berdiri dan mendorong Nichol untuk keluar.

"Lo bisa ga sih gak ganggu gue lagi?"

"Aku cuma beliin ini, khawatir kamu harus cek darah lagi gara-gara ini."

Tami mendorong Nichol sampai keluar pagar.

"Denger ya. Lo udah ngehancurin segalanya! Jangan pernah ganggu gue lagi!"

Tami masuk dan menutup pintu kost-annya.

Tanpa menghiraukan Nichol yang kehujanan disana dan terus memanggil namanya.

Erin yang muncul dari dapur menghampiri Nichol yang sudah akan masuk mobilnya dengan sekujur tubuh yang basah.

"Chol!"

Nichol menengok, tersenyum, tetapi ada sorot kesedihan disana, selalu ada sejak hari pertama Tami membenci pria itu.

"Obat sama makanannya gue gantung di pager, Rin. Tolong bujuk Tami ya biar mau makan. Oh ya ada permen juga buat Tami soalnya dia suka kepahitan kalo abis menelan obat kaplet. Gue titip Tami. Gue balik dulu Rin."

Erin menatap kepergian Nichol.

Lalu membawa keresek berisi obat, makanan, dan bahkan permen untuk Tami dan masuk ke dalam.

"Tam! Lo apa-apaan sih?!"

"Lo yang apa-apaan Rin? Ngapain lo ngebolehin dia kesini?"

"Maksud dia baik. Masa orang mau bermaksud baik harus gue usir dan larang?"

"Gue udah berkali-kali ngomong ke lo percuma mau segimana-pun dia berjuang gue udah gak bisa sama dia. Percuma ya mau gue ngomong sampe berbusa, lo tetep bakal bela dia."

"Lo jangan keterlaluan do-"

"Elo yang keterlaluan!" bentak Tami tiba-tiba dengan air mata yang menggunung di ujung matanya, ia sangat kesal.

"Lo gak mau sama dia gak apa-apa, maksud dia baik, khawatir sama lo. Susah banget ya lo buat maafin orang?"

"Gak segampang yang lo pikirin, Rin!"

"Lo tau yang tadi jemput lo bukan Uber. Tapi supirnya Nichol, dia nyuruh gue tetep di cafe, terus abis pembukaan cabang baru dia, dia langsung kesini karna tau lo belum makan dan maag lo kambuh, bahkan acaranya belom selesai. Dia yang nge-gendong lo dari mobil kesini."

Tami mendengarkan dalam tangis diamnya.

"Dia bela-belain hujan-hujanan lari karena bubur Mang Dodo ada di gang, dan ternyata gak buka karna hujan angin. Gak kasian lo sama dia?"

"..."

"Dia sayang banget sama lo, Tam."

IMPRÉVUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang