TRENTE ET UN

61 14 1
                                    

Akhirnya Tami menyelesaikan tugas Dimi dengan baik dan sangat rapih.

Tami segera melihat ponselnya.

03.18

Ia pun segera berdiri, menggunakan kembali sweater berwarna merah maroon-nya dan hendak keluar.

"Gue anterin," kata Dimi tiba-tiba.

"Eh? Nggak usah, Grab masih ada kok jam segini," jawab Tami.

Sebenarnya Dimi tidak mau lagi berhubungan dengan wanita tersebut, tapi ia juga manusia yang tahu diri.

Tami sudah membantunya menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik.

"Udah cepetan, lo mau diperkosa sama orang jahat yang berkeliaran malem gini?"

Mendengar itu, Tami pun menciut. Meskipun ia jantan, tetapi ia juga hanyalah seorang wanita, yang kekuatannya tidak melebihi pria.

Dimi berdiri dan segera berjalan keluar, Tami mengikutinya.

Lalu mereka masuk ke dalam mobil Dimi.

Canggung.

Sangat. Canggung.

Tidak ada satupun dari mereka yang berbicara.

"Lo sekarang sama Ivana?" tanya Tami tiba-tiba, ia tidak dapat menahan rasa penasarannya.

Dimi menengokan kepalanya ke arah kiri, menatap Tami lalu tersenyum sinis.

"Kalo lo nggak bikin Abel sama gue ngejauh, nggak akan gue sama Ivana," jawab Dimi.

Hati Tami terasa digerogoti rasa bersalah kembali karena jawaban Dimi.

Ia masih tidak bisa memaafkannya.

"Lo udah tonton CD yang Abel ka-"

"Nggak. Lo mau melihat gue tersiksa lebih dari ini?"

Tami membuang nafasnya kasar, "Dim, gue tau gue salah. Tapi tolong, lo percaya kalo ini Abel yang mau. Dan lo sama Ivana itu salah."

Dimi tertawa dan mengerem mobilnya secara mendadak di pinggir jalan raya yang sepi hingga posisi tubuh Tami hampir membentur kaca depan mobil.

"Lo apa-apaan sih?" tanya Tami.

"Lo yang apa-apaan. Harus berapa kali gue bilang, mau lo mau membela diri depan gue sampe mulut lo berbusa, lo tetap salah di mata gue," ujar Dimi dengan nada yang tinggi.

"Dan tahu darimana lo kalo gue sama Ivana salah? Lo Tuhan? Sampai bisa menentukan semua jalan hidup gue salah atau benar?" tanya Dimi sambil memukul setirnya.

Tami takut, ia diam, ia menundukan kepalanya.

Tidak lama, terdengar hembusan nafas yang kasar.

Tami memberanikan diri menatap ke kanan, tangan Dimi bersandar di atas setir lalu kepalanya terdapat di atas sana, menutupi wajahnya.

"Sorry, Dim," ujar Tami dengan suara bergetar.

"Gue nggak mau, Tam. Nyalahin lo. Tapi nggak tahu kenapa, semua kenyataan ini, membuat semua yang gue tahu dan lihat adalah salah lo," jawab Dimi.

"Lo tahu? Gue punya adik cewek," ujarnya tiba-tiba.

Tami sempat terkejut, tetapi ia diam menunggu Dimi melanjutkan.

"Dia mirip banget sama Abel. Namanya Naya. Tapi dia udah nggak ada."

"Dulu nyokap gue orang kaya, sampai nikah pun, dia nggak pernah ngurus gue ataupun Naya, gue sama Naya di urus sama babysitter masing-masing, sedangkan mama gue kerjaannya main, disaat papa gue susah cari uang."

IMPRÉVUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang