[ 5 ]

29.6K 2.4K 53
                                    

.: Chapter 5 :.

Amanda menekan kode pintu di apartemennya. Menyalakan lampu hingga seluruh ruangannya menjadi terang. Seperti apa yang sering ia lakukan.

Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan mengamati letak pulpen yang ia taruh di depan pintu.
Ia sedikit menunduk. Mengamati bahwa letak pulpen itu tidak berubah. Pada akhirnya, ia menghela napas lega. Dirinya aman. Untuk saat ini.

Berjalan ke kamarnya, ia mulai membuka satu persatu bajunya. Menukarnya dengan kaos berukuran XL yang terjatuh hingga ke lututnya. Ia lalu menggunakan pants yang tertutupi kaosnya, sehingga orang yang melihatnya menyangka bahwa hanya terdapat celana dalam dibalik kaos yang Amanda gunakan.

Ia lalu melemparkan tubuhnya di atas sofa. Menyeduh mie cup instan sembari menyalakan televisi dengan volume yang ia kecilkan. Ia tidak tertarik melihatnya, hanya menginginkan agar apartemennya tidak terlalu sunyi.

Setelah itu, ia membersihkan diri. Kembali ke ruang tengah dengan lampu yang masih menyala terang benderang, dan televisi yang menampilkan acara prime time yang ia abaikan.

Amanda meringkuk di atas sofa. Membuat tubuhnya seperti janin dan berusaha memejamkan mata.

Hari ini sangat melelahkan. Ditambah dengan satu sesi pertemuan bersama dokter Garret, psikiater yang dua tahun belakangan ini rutin ia temui.

"Kau mengalami serangan lagi, Nak?"
Amanda mengangguk. Bola matanya tidak berhenti bergerak ke kanan dan ke kiri. Dokter Garret yang menyadari kegelisahan Amanda mengernyit.

"Apa yang dia lakukan kepadamu?" tanyanya lagi dengan suara dalamnya yang menenangkan.

"T-tidak. Di-dia bahkan tidak menyentuhku, Dokter," gumam amanda panik.

"Tetapi mimpi-mimpi itu kembali datang. D- dan," Amanda menelan ludahnya susah payah. "Itu sangat nyata!" keluhnya dengan suara bergetar menahan tangis.

Amanda bisa merasakan tangan-tangan yang seolah menggerayanginya ketika ia terjaga. Napas berbau alkohol yang menerpa wajahnya. Suara musik itu.

Oh, itu sangat menyiksanya!

Terhitung sudah tiga hari saat Logan Heathman merayunya. Dan untunglah ya Tuhan, dia tidak menyentuhnya. Atau lebih tepatnya, dia belum menyentuhnya. Namun akibat dari perbuatannya, keisengan maupun rasa penasaran Logan kepada Amanda membuat mimpi buruknya kembali hadir.

Amanda sudah lama tidak lagi memimpikan itu. Terhitung dari dua tahun yang lalu sehingga dirinya berani untuk meninggalkan Atlanta, dan terbang ke New York. Berusaha membuktikan kepada ayah dan kakaknya, bahwa dirinya sudah baik-baik saja.

Amanda pikir, tidak lama lagi ia bisa menemui mereka dengan keadaan yang utuh. Namun benturan takdir dengan Logan Heathman yang hanya memakan waktu beberapa menit itu seolah membuyarkan semua kerja kerasnya.

Ya Tuhan, Amanda benci pria itu.

Ia lalu membuka matanya. Menutup kedua wajahnya dengan bantal dan berteriak keras. Suara teriakkannya teredam oleh bantal. Dan itu bisa mengurangi sedikit kegelisahannya. Sangat sedikit.

Ia akhirnya memilih untuk duduk. Melihat telepon rumah yang berkedip dan tahu bahwa ada pesan di dalamnya.

Sangat sulit bagi Amanda untuk pergi dari Atlanta dan ia harus memenuhi syarat-syarat yang ayahnya, Jackson Morris, tekankan kepadanya. Salah satunya adalah keberadaan telepon rumah meski sekarang sudah ada teknologi ponsel pintar yang lebih praktis.

Ia lalu menekan tombol pesan. Dan setelah bunyi pip yang panjang. Ia mendengar suara berat ayahnya.

"Hei Sweetheart," suara tawa lalu terdengar dan gumamam seorang perempuan --yang Amanda yakin adalah suara kakaknya, Samantha-- terdengar samar. "Aku mencoba menghubungi ponselmu dan menemukan tidak tersambung. Aku baru saja akan terbang ke sana ketika Samantha berpendapat bahwa kau lupa menaruh ponselmu, atau kehabisan baterai dan malas untuk mengisinya."

"Pop. Kau berlebihan," gumam suara Samantha lagi yang terdengar dari kejauhan.

Terdengar suara mendengkus yang keras. Membuat sudur bibir Amanda terangkat membentuk senyum tipis. Ia bisa membayangkan kedua orang terkasihnya sedang beradu argumen dan biasanya, Samantha yang akan memenangkannya.

"Baiklah, telepon aku begitu kau mendengar pesan ini, oke? Kami menyayangimu."

Dan pesan suara itu berakhir. Amanda melihat jam yang tertera dan itu adalah saat Amanda sedang bersama Garret. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia mengunjungi psikiater karena yang ayah dan kakaknya tahu, ia sudah terbebas sepenuhnya dan tidak lagi membutuhkan bantuan Garret sejak setahun yang lalu.

Ia mengembuskan napas panjang. Mengambil ponselnya yang ia letakan di dalam tas tangan dan mulai menghidupkannya.

Ia harus secepatnya menghubungi ayahnya atau ayahnya benar-benar akan datang ke tempatnya.

Satu nada tunggu terdengar ketika pada akhirnya telepon Amanda tersambung.

"Hai Sweetheart. Pop mulai bersiap-siap untuk menghubungimu atau terbang ke sana," katanya dengan kekehan.

Amanda mengulas senyum. Perasaannya membaik ketika ia mendangar suara ayahnya yang ramah dan penuh dengan kasih sayang.

"Hai Pop. Aku merindukanmu..."

***

















What do you think?
Love.

Raadheya 😘

TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang