[ 12 ]

19.6K 2.1K 37
                                    

Note: Cerita ini belum tamat dan belum dibukukan yah. Moga bisa tamat di sini. Aamiin.


.: Chapter 12 :.

Amanda menghela napas panjang. Bersiap turun dari pesawat setelah pengumuman bahwa dirinya sudah kembali mendarat di New York. Masa cuti yang dirinya ambil sudah habis. Sudah seminggu dirinya berada di Atlanta dan dirinya siap untuk menyongsong hari esok.

Dibandingkan dengan keadaan dirinya, nyatanya Pop lebih terluka daripada apa yang dirinya duga. Kemudian, seolah ia mendapatkan kekuatan dari kelemahan yang dialami Jackson, dirinya dan Samanta saling berangkulan. Membawa Pop ke makam mungil dan menangis bersama.

Semuanya bukan salah Pop. Pun bukan salah Amanda.

Segala kemalangan yang menimpa mereka, adalah karena takdir yang membenarkan untuk terjadi di dalam hidup mereka. Dan bersama Garret yang dengan sengaja datang, mereka bertiga melakukan konseling secara intens selama lima hari terakhir dan mendapatan hasil yang lebih dari cukup bagi Amanda, untuk meneruskan hidupnya.

Ia lalu keluar dari bandara dengan kepala terangkat. Amanda yang kikuk dan gugup telah mati, dan kini sosok baru dirinya yang lebih kuatlah yang akan menghadapi dunia. Dirinya bisa. Dirinya pasti bisa, kan?

Mengangkat dagunya, ia menyetop taksi yang lewat di depannya, bersamaan dengan satu sosok perempuan dengan jeda waktu satu detik sebelum dirinya.

"Maaf Miss, tapi aku lebih dulu berada di sini!" sentak Amanda dengan tegas. Tak luput ia memberikan tatapan yang selama ini hanya bisa disematkan oleh Samanta dan diam-diam berusaha Amanda tiru. Amanda sangat mengagumi Samantha. Dan ia, ingin menjadi sekuat Sam.

"Oh, maaf," ujar sang wanita di depannya.

Melihat tidak ada perlawanan dari wanita itu membuat Amanda merasa bersalah. Setidaknya ia mengharapkan akan ada perkelahian untuk menunjukkan siapa yang berkuasa. Namun jika begini...

Amanda menggigit bibirnya, "Ke mana kau akan pergi?"

Wanita itu, yang Amanda taksir lebih muda beberapa tahun darinya mendongak. Iris biru mudanya terlihat terkejut, namun bibirnya tetap menggumamkan sebuah tempat.

"Tempat tujuanmu searah denganku. Jika kau mau, kita bisa berbagi," cetus Amanda lembut.

Wanita itu lalu tersenyum lebar. Memperlihatkan lesung di kedua pipinya dan mengangguk dengan antusias. "Thanks. Kau tidak tahu betapa kau sangat membantuku," ujarnya seraya memasukkan tas di bagasi sementara sang sopir melakukan hal yang sama untuk tas milik Amanda.

"Marcia."

"Huh?"

Wanita itu tertawa. Amanda melihat ke arahnya dan melihat sebelah tangannya yang terjulur ke arahnya. "Namaku Marcia," katanya lagi.

Amanda mengulas senyum sopan. Menjabatnya dan memberikan namanya.

"Apa kau berasal dari New York?" ujar Marcia lagi ketika taksi telah melaju meninggalkan bandara. Amanda menoleh setelah sebelumnya pandangannya menyapu jalanan. Ia tidak berniat untuk berbincang atau melakukan obrolan apapun. Ia menginginkan ketenangan dan sepertinya, pilihannya untuk berbagi taksi saat ini adalah keputusan yang salah.

"Bukan."

"Aku sudah menduganya. Kau tidak terlihat seperti orang New York," ucapnya lagi.

Amanda sedikit tertarik dengan perkataannya. Seperti orang New York? Memangnya seperti apa rupa mereka?

Marcia lalu tertawa, "Jangan tersinggung. Tapi teman-temanku tidak akan ada yang mau berbagi taksi dengan orang asing."

Begitu juga denganku.

"Tapi kau mau," ucapnya lagi seolah Marcia tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran Amanda. "Dan aku menyukaimu," tambahnya lagi.

Amanda mengernyit. "Aku bersumpah aku bukan lesbian," Marcia kembali tertawa. "Kau tidak perlu memperlihatkan wajah ngeri seperti itu."

"Tidak," jawab Amanda datar. Ia lalu berdeham. Menolehkan kepalanya ke arah jendela dan berusaha memberi kode untuk wanita di sampingnya bahwa dirinya sedang tidak ingin diusik.

Setengah jam berikutnya, taksi mereka sampai di gedung apartemen 432 Park Avenue. Amanda menahan dirinya untuk berdecak karena tahu bahwa haya para milyader yang sanggup untuk tinggal dibangunan itu.

"Terima kasih, Amanda. Aku harap kita akan bertemu lagi," kata Marcia sembari memberikan lembaran dolar kepada supir taksi yang lebih dari cukup untuk membayar biaya taksi hingga ke apartemen Amanda.

Amanda sudah ingin memprotes ketika Marcia dengan suara pekikkan keras berlari menyongsong sebuah sosok yang terlihat seperti menunggunya di lobi, dan memeluknya erat-erat.

"Ya Tuhan! Aku merindukanmu Logan!"

***






Tawaran main diselingi dengan kondisi yang tidak sehat datang silih berganti.

Terima kasih sudah menunggu. Logan saya datangkan lebih cepat dari rencana awal.

Love,

Raadheya.

TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang