[ 16 ]

18K 1.9K 21
                                    

.: Chapter 16 :.


Marcia mengedikkan bahunya tak acuh. "Aku hanya berbicara asal. Jangan terlalu mendrngarku, oke?" Ia tertawa renyah. Berputar di kursi kerjanya seolah dirinya adalah anak kecil berusia lima tahun.

"Kau bisa merusak fasilitas kantor," gumam Amanda lebih karena dirinya merasa harus menghentikkan tingkah kekanakan dari Marcia.

Marcia terkekeh senang. Melompat dari kursi yang masih berputar dan mendarat dengan sempurna.

"Hey, ayo makan. Traktir aku ya, Bos?" Marcia menggandeng, setengah menyeret Amanda. Membuat dirinya mau tidak mau harus mengikutinya. Tingkah laku Marcia, sedikit banyak mengingatkannya kepada kakaknya. Samantha Morris. Orang yang selalu ceria dan terlihat hidup.

"Kau harus banyak bergaul denganku!" katanya yakin setelah menelan satu suapan besar oglio olio. "Kau terlalu datar dan terlihat membosankan. Namun, biasanya di balik hal tersebut tersimpan sesuatu yang luar biasa. Nah, aku tertarik untuk melihat hal-hal luar biasa itu darimu, Mandy."

Amanda tetap bergeming di tempatnya. Membiarkan Marcia mendominasi obrolan mereka sementara ia hanya menjawab seperlunya. Sudah setengah jam mereka di sana, dan Amanda mulai berpikir untuk mencari tombol on off yang mungkin saja terdapat di satu bagian tubuh Marcia.

Mungkin jika Amanda menekan tombol off, Marcia akan berhenti berkicau.

"Wow! Itu Logan!" bisik Marcia pelan. Dirinya menunduk dan bersembunyi di balik buku menu.

"Bukankah kau sahabatnya? Mengapa kau sembunyi?" tanya Amanda bingung.

"Karena dia sedang bersama dengan bajingan Fernandez. Pria yang bersamanya bahkan lebih bajingan dari Logan. Dia pernah hampir memperkosaku jika saja Logan tidak menolongku," ujar Marcia masih bersembunyi. "Sejak itu hubungan mereka sangat buruk. Karena itulah ketika aku melihat mereka, aku tahu bahwa Logan memiliki rencana," lanjutnya tanpa melihat bahwa wanita di depannya sudah terlihat pucat pasi.

Mendengar bahwa Marcia pernah, atau hampir mengalami tindakan yang sama dengannya di masa lalu memunculkan sekelebat bayangan di dalam kepalanya.

Tarik napas, Ammy. Setidaknya, Marcia tidak mengalami hal tersebut. Dia masih beruntung.

Tetapi...

Kau sudah melewatinya. Tidak akan ada yang terjadi. Kau sudah lebih kuat, Ammy.

Ya... Dan...

Dan kau bisa melewatinya. Tidak akan ada serangan panik yang akan melandamu.

Amanda menarik napas panjang berberapa kali. Berjengit ketika Marcia menepuk bahunya dengan wajahh yang terlihat khawatir.

"Kau tidak apa-apa? Tubuhmu bergetar," ujar Marcia dengan kilat mata yang terlihat peduli.

Dengan cepat, Amanda meraih gelas air minum. Namun menyadari bahwa tangannya masih gemetaran, ia akhirnya menyerah.

"Aku harus ke toilet. Permisi," ujarnya cepat. Dan dengan langkah panjang, menuju ke toilet dan mengurung diri di balik biliknya.

Astaga. Bagaimana ia bisa seperti ini.

Membutuhkan waktu hampir setengah jam sampai akhirnya kondisi tubuhnya berangsur baik. Ia lalu mencuci wajahnya. Bercermin di kaca wastafel dan melihat rona merah mulai kembali dari kulitnya yang pucat.

Marcia pasti akan bertanya-tanya. Tetapi itu urusannya nanti. Dan juga, ia tidak berkewajiban untuk menjawab pertanyaannya, bukan?

Namun ketika ia sudah mendekati meja mereka dan menemukan Logan yang duduk di salah satu kursi kosong di meja mereka, Amanda seharusnya berpikir untuk mengunci diri lebih lama di dalam bilik toilet.

"Logan akan mengantar kita kembali ke kantor, Mandy. Aku rasa kondisimu kurang memungkinkan untuk menyetir mobil sementara aku sendiri lupa bagaimana caranya menyetir," Marcia terkekeh pelan. Menertawakan dirinya dan berusaha tidak terlalu penasaran dengan keadaan Amanda. Wanita itu bukanlah orang yang mudah terbuka kepada orang lain. Dan jika Marcia ingin menjadi temannya, ia tahu bahwa dirinya tidak boleh terlalu menekannya.

***

TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang