Verfϋhren 3

6.9K 992 153
                                        

||•||


Menggelung rambut ke atas, aku menekan tombol lift. Dengan navy dress A-line yang panjangnya hampir seatas lutut, aku bergegas menuju ruanganku. Ada banyak data dari bagian quality insurance yang musti kuperiksa, sehingga tak ada waktu bagiku barang sekadar merias wajah─kecuali memakai lipstick berwarna merah darah.

Sesibuk apa pun pekerjaanku, penampilan itu perlu.

Bukan, bukan karena aku adalah wanita-wanita high sociality, hanya saja ini karena tuntutan pekerjaan yang mewajibkanku tampil semenarik mungkin. Apalagi aku ini kerjanya sering sekali menghadiri meeting atau bertemu dengan klien. Jadi, ya ... musti tampil cantik dan menarik.

Menaruh elizabeth black-ku di atas meja, aku lantas mengoperasikan komputer yang berada di mejaku. Buru-buru kubuka e-mail, mengecek pesan masuk yang mungkin sudah dikirim oleh pihak quality insurance.

Kalau boleh jujur sih, aku lebih senang bekerja jadi sekretaris saat berada di Korea. Namun, mau bagaimana. Bekerja sebagai tim pengembangan juga menyenangkan, kok; sayangnya, yang namanya bawahan ya ... tetap saja bawahan─alias kacung.

"Nggak sarapan, Ta?"

Nah, suara merdu itu. Aduh, menenangkan jiwa banget memang mendengarnya. Tunggu, tadi kan, ruangan ini kosong─bujang-bujang yang biasa bekerja bersamaku mustahil datang jam segini kecuali──

"Mau dicariin sarapan, Ta?"

──benar kan, itu Seok Jin. Ya Tuhan, pakaian kerjanya hari ini modis banget. Rambut klimis dengan pomade, kemeja putih pas badan dengan kedua kerah digulung sampai lengan, dan celana hitam serta sepatu hitam yang sering ia kenakan. Gusti Allah, wanita mana yang tidak mendamba pria macam Seok Jin.

"Nggak, Mas. Tugas gue banyak."

Namanya juga Christa, sesuka-sukanya aku dengan Seok Jin, aku masih punya harga diri untuk bersikap tak acuh kepada mantanku yang satu ini. Iya, mantan terindah. Mantan yang masih sangat kucintai.

Mantan yang juga ... membuangku.

"Jangan dibiasain, Ta. Lo emang kalo nggak dipaksain makan mah, mana mau."

Nah, ini nih salah satu alasan kenapa kaum hawa yang terjebak satu pekerjaan bersama mantan jarang bisa move on. Perhatian-perhatian kecil yang menggetarkan jiwa kayak gini, nih. Bahaya banget memang. Dasar makhluk berjakun; yang bisanya bikin anak perawan jumpalitan.

Tak menjawab, aku memilih memfokuskan diri pada angka-angka yang tertera di layar komputer. Masya Allah, untung aku punya basic di bidang management, kalau tidak. Duh ....

"Mbak Tata, ke ruangan Pak Nam Joon." Itu suara Mingyu yang tiba-tiba masuk ke dalam ruanganku. Kelihatan sekali anak itu baru datang.

"Pak Nam Joon udah dateng, Gyu? Tumben."

"Udah, Mbak," ujar Mingyu mengangguk. "Nggak tahu deh, Mbak. Penting kayaknya."

"O yaudah, deh."

Akhirnya aku menyusul Mingyu yang masih berdiri di depan pintu. Diam-diam kulirik Seok Jin yang terlihat serius di depan komputernya─entah apa yang ia kerjakan. Sedikit kesenangan tersirat di dalam hatiku; karena alasan aku putus adalah Mingyu. Seok Jin yang cemburu pada Mingyu.

"Ayo Gyu, temenin Mbak."

Hahaha ... sekalian saja menggoda Seok Jin; dan iblis-iblis di sebelah kiriku menggangguk kegirangan sedang malaikat yang berada di sebelah kananku justru mencibir dan berkata: nggak boleh Ta, dosa.

© ikvjou ©


"Jadi, Pak Nam Joon mau saya jadi sekretarisnya teman bapak yang kemarin?"

Tanpa ada rasa bersalah, Nam Joon mengangguk. Sumpah ya, ingin sekali aku pukul kepalanya itu─jika saja tidak mengingat kalau ia adalah atasanku. Anak dari pemilik perusahaan ini. O, sungguh tidak adil sekali.

"Kamu bisa jemput dia. Apartemennya di daerah Permata Hijau. Nanti lengkapnya saya whatsapp ke kamu."

Tidak ada kata membantah sebagai seorang bawahan, itu memang sudah hukum alam, kan? Jadi, yang bisa aku lakukan adalah mengangguk lalu berkata, "Kalau gitu saya permisi."

For sake god, menyebalkan, kan? Ya, inilah realitanya berkerja dituntut profesionalitas. Sekalipun tugasmu itu konyol, kamu musti mengerjakannya. Demi lembaran uang yang mampu kau gunakan untuk membeli channel, prada, Gucci, h&m, dan new look.

"Sialan lo, Joon!"

© ikvjou ©


Bukan main gugupnya aku kala memasuki apartemen Pak Jimin yang berada di bilangan Permata Hijau. Duduk rikuh di atas sofa beludru merah marun miliknya, kulihat ia menaruh toast ke atas piring.

"Sudah makan?"

Terlonjak, aku buru-buru menjawab, "Belum, Pak."

Kulihat Pak Jimin berjalan ke arahku dengan membawa dua piring, kemudian dinyalakannya televisi beracara random─kau tahu spongebob? Ya, itu yang disetel oleh Pak Jimin. Lalu ia duduk di sebelahku sebelum menyerahkan salah satu piringnya.

"Temani saya makan."

Mengangguk, kupatuhi saja permintaannya itu. Kalau salah-salah bertindak, bukan tidak mungkin kan, Pak Jimin akan mengadu pada Pak Nam Joon dan berakhir aku yang diomeli habis-habisan oleh si sialan itu. Huft ... jangan sampai.

"Kamu sengaja memakai dress minim ke sini?"

"Apa?"

Dan sebelum sempat aku berjeda, Pak Jimin sudah lebih dulu mengelus pahaku. Ya Tuhan, bukan main gemetarnya hatiku.

Kuakui dress yang kukenakan memang agak minim, apalagi kalau duduk pasti akan sedikit terangkat. Sementara Pak Jimin malah dengan seenak jidat mengelus pahaku sembari memakan toast buatannya tanpa melirik ke arahku; kedua obsidiannya terarah pada kartun kuning itu.

Aku sungguh tak mampu lagi berkonsentrasi, apalagi tangan dingin Pak Jimin sudah mulai merambat naik. Dapat kurasakan ia makin masuk ke dalam area selangkanganku, mengelus paha bagian dalam. Tuhan ... aku ini perawan 25 tahun dan kenapa pula aku setakut ini?

"Tidak enak?"

Eh?

Kulihat Pak Jimin melirik pada piringku yang tidak tersentuh sama sekali. Sayangnya aku cukup peka terhadap pertanyaannya yang bukan merujuk pada toast yang ia buat. Licik sekali memang gay yang satu ini.

Ia boleh tidak bergairah padaku, tapi aku tentu bergairah padanya. Aku ini normal! Benar-benar normal.

Maka, menghilangkan kegugupan, kuraup toast buatannya sedikit. Rasanya makan sementara selangkanganmu terus digoda sungguh sebuah ujian tersendiri. Ada rasa aneh yang menjalar, dan tentu sebuah desahan. Astaga, aku ini bicara apa, sih?

Tanpa bisa kuduga, tangan Pak Jimin kini berada di areaku yang masih terbalut celana dalam. Aku terperenyak, sedang Pak Jimin justru mencoleknya lalu tertawa renyah. Maksudnya apa, itu?

"Kamu basah?" ejeknya tertawa, lalu meninggalkanku di sofa seorang diri. "Bahkan kamu bisa bergairah pada seorang gay? Miris sekali hidupmu."

Sungguh, Pak Jimin itu liciknya bukan main. Setelah dengan seenak jidat mengelus pahaku, mempermainkannya, dan sekarang ia mengejekku.

"Bukan begitu──"

Chu~

"Ayo berangkat!"

Rasanya ingin mati saja kalau harus bekerja dengan orang mesum dan tidak terduga seperti Pak Jimin.

"Yak, Kim Nam Joon! Pulangkan saja aku ke Korea!!!"









bersambung ....

How To Seduce Mr. Park ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang